Selasa, 16 April 2013

TEORI REALISME Jackson, R., &. Sorensen

I. Penadahuluan Sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan tentunya studi Ilmu Hubungan Internasional memiliki banyak perspektif di dalamnya, mengingat studi Ilmu Hubungan Internasional merupakan sebuah studi yang bersifat teoritis. Perspektif-perspektif ini berguna sebagai penjelas yang ada dalam sebuah fenomena. Perspektif-perspektif tersebut melihat suatu fenomena dengan cara pandang mereka masing-masing. Misalnya saja realism yang melihat sifat dasar manusia sebagai acuan dalam melihat suatu fenomena. Realisme bisa dikatakan sebagai salah satu prespektif paling tua, tradisional, dan klasik yang ada dalam Hubungan Internasional. Realisme juga berusaha melihat sebuah persoalan dari sudut perang damai, kompetisi dan konflik II. Pokok bahasan 1. Bagaimanana Pengertian realisme 2. Sejarah teori realisme dan perkembangannya III. Pembahasan A. Pengertian Realisme Salah satu perspektif yang masih dan paling sering digunakan dalam Hubungan Internasional adalah realisme. Realisme muncul sebagai reaksi adanya perspektif liberalisme yang dinilai oleh para realis sebagai perspektif yang terlalu utopis dan idealis. Liberalisme menganggap positif sifat-sifat manusia, begitu pula negara dapat menciptakan perdamaian dengan adanya koordinasi. Sedang realisme memiliki pandangan sebaliknya. Realisme memandang pesimis sikap alami manusia. Realis juga memandang negara sama dengan manusia. Negara itu cenderung berkonflik, segala permasalahan diselesaikan dengan perang. Negara sangat menjunjung tinggi keamanan nasional dan bagaimana caranya agar bisa survive. Selain itu, realisme juga memandang hubungan internasional itu statis, tidak mungkin terjadi koordinasi. Dalam bukunya, Robert Jackson dan Georg Sorensen mengatakan bahwa studi HI dalam masa-masa awalanya banyak dipengaruhi oleh perspektif liberalisme. Namun, sesungguhnya perspektif realisme telah digunakan berbagai tokoh sejak lama. Sun Tzu, seoarang jenderal perang pada masa perang di Tiongkok, menggunakan perspektif realisme dalam menyusun strateginya berperang. Sun Tzu mengatakan, “moral reasoning was not very useful to the sate rulers facing armed & dangerous neighbor states; rulers were advised to use power to advance interests & protect survival”. Sun Tzu menekankan nilai yang sama seperti yang ditekankan realis, yakni keamanan dan menjaga eksistensi. Realisme dibagi menjadi beberapa periode sebetulnya, yakni realisme klasik, neo-klasikal realisme, realisme, dan neo-realisme. Namun, yang akan dijabarkan disini hanyalah periode pemikiran klasikal realime sampai realisme saja. Adalah Thucydides seorang sejarawan pada masa Yunani Kuno, memandang hubungan internasional sebagai, “ the inevitable competitions and conflicts” (Robert Jackson dan Georg Sorensen, 1999. pp. 70). Thucydides menagambil kesimpulan ini atas pengamatannya terhadap perang antar city-state yang terjadi pada masa itu, dimana ada dua kekuatan besar pada masa itu, Athena dan Sparta, dan city-state lain yang kekuatannya lebih lemah. Yang dimaksudkan dengan adil oleh Thucydides adalah jika setiap city-state mengerti dimana seharusnya dia berada dan power yang dimiliki. Thucydides mengatakan bahwa city-state yang kuat menggunakan powernya untuk melakukan yang dia mau, sedang city-state yang lemah menerima apa yang sudah ia terima. Menurut Nicolo Machiavelli, untuk menjalankan politik luar negeri, seorang penguasa harus mempunyai power (the Lion) dan tipu muslihat (the Fox) sekaligus. Tanggung jawab utama dari penguasa adalah selalu mencari keuntungan, mempertahankan kepentingan, dan menjamin keberadaan eksistensi (Robert Jackson dan Georg Sorensen, 1999. pp. 72). Untuk itu, seorang penguasa haruslah menjadi the Lion dan the Fox. Sedang Thomas Hobbes mengatakan bahwa setiap orang berbahaya bagi tiap orang lainnya. Karena itu setiap orang merasa takut dan tidak aman. Untuk mengatasi rasa tidak aman itu, dibentuklah suatu institusi bernama Negara dan kesepakatan politis di antara semua untuk saling menjaga keamanan. Namun, ”the achievement of personal security and domestic security through the creation of a state is necessarily accompanied by the condition of national and international insecurity that is rooted in the anarchy of the state system” (Robert Jackson dan Georg Sorensen, 1999. pp. 75). Kondisi ini disebut Security Dilemma. Bagi Hobbes, seperti halnya juga Machiavelli dan Thucydides, keamanan dan survival adalah nilai penting yang fundamental, tetapi nilai inti dari realisme Hobbesian adalah keamanan domestik (Robert Jackson dan Georg Sorensen, 1999. pp. 75). Tokoh-tokoh di atas adalah yang tokoh yang dikelompokkan dalam realisme klasik menurut Robert Jackson dan Georg Sorensen. Dari beberapa pendapat para tokoh tersebut ada beberapa kesamaan. Pertama, bahwa kondisi manusia berada dalam kondisi tidak aman dan cenderung berkonflik. Kedua, mereka setuju bahwa ada suatu badan politis atau kebijakan yang dapat menyelesaikan masalah tersebut yang mereka semua berusaha untuk mencarinya, namun akhirnya, mereka setuju bahwa tidak ada jalan keluar final bagi kondisi manusia tersebut (Robert Jackson dan Georg Sorensen, 1999. pp. 76). Morgenthau yang disebut bapak Realisme dalam ilmu HI mengatakan bahwa manusia itu adalah animus dominandi, bahwa manusia haus akan power (Robert Jackson dan Georg Sorensen, 1999. pp. 76). Kondisi ini yang membawa manusia kepada konflik. Morgenthau berpendapat, hubungan internasional merupakan upaya untuk mendapatkan dan mempertahankan power yang dimiliki. Morgenthau mengasumsikan negara seperti manusia, yang haus akan power dan berusaha memenuhi interestnya, yang didefinisikan sebagai power juga. Jadi, beberapa poin penting yang bisa diambil dari realisme adalah, bahwa Negara adalah aktor utama dalam hubungan internasional yang selalu berusaha mempertahankan dan memperoleh power. Isu utama dalam realisme adalah kemanan nasional dan mempertahankan eksistensi. Probem sentral dari hubungan internasional adalah kondisi anarki, dimana tidak ada kekuatan supranasional. Tidak seperti liberalis, realis tidak percaya adanya koordinasi, segala sesuatu diselesaikan dengan perang. B. Realisme Pesimis Terhadap Sifat Manusia Sebenarnya realisme sudah ada sejak jaman dahulu, namun ‘menghangat’ lagi antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Realisme sebenarnya sudah muncul sejak jaman Thucydides (The Melian Dialogue 460-406BC), N. Machiavelli (1496-1527), T. Hobbes (1588-1679) dan J.J. Rosseau (1712-78) yang dikenal dengan classic-realism. Asumsi dasar dari teori ini menurut Robert Jakson dan George Sorensen dalam buku Pengantar Studi Hubungan Internasional ada 3, yaitu Pandangan Pesimis dan selalu khawatir terhadap sifat Manusia, Hubungan Internasional bersifat konfliktual dalam anarki internasional dan Power negara fokus pada pengembangan militer, karena bagi mereka perang adalah jalan utama. Yang ketiga mereka menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan kelangsungan Negara, serta mempunyai sikap skeptisisme terhadap politik internasional. Dengan asumsi dasar seperti ini, dapat dipastikan bahwa untuk mencapai apa yang ia butuhkan, kaum realis rela melakukan segala cara. Cara-cara yang salahitu dapat merubah atau mengganggu dunia internasional. Menurut realis, sistem internasional yang ada berbentuk anarkhi dengan negara sebagai tokoh utama Negara-negara yang ada, baik negara berkembang atau maju, mempunyai kedudukan yang sama. Negara dipandang sebagai pelindung bagi, wilayah, penduduk, dan cara hidup. Yang menjadi dasar untuk berhubungan dengan dunia internasional adalah kepentingan-kepentingan yang ingin dicapai. Kepentingan-kepentingan tersebut diwujudkan melalui kebijakan luar negeri. Kemudian aktor non-negara hanya dianggap sebagai tokoh sampingan dan tidak mempunyai pengaruh yang significant bagi dunia internasional. Menomor sekiankan aktor non-negara ini adalah salah satu kelemahan dari teori ini yang kemudian dikritik oleh banyak ahli, salah satunya Steven Smith. Agenda utama dari perspektif ini adalah mencapai kekuasaan (struggle of power). Menurut Morgenthau, secara alamiah manusia memiliki kecenderungan untuk selalu berkuasa. Menurut realis secara umum, manusia adalah makhluk cemas akan posisinya. Baik keselamatan maupun hubungan dengan para pesaingnya. Semua serba dalam tekanan karena konflik terjadi dimana-mana. Manusia tidak menemukan suatu kondisi yang benar-benar “nyaman”. Keadaan seperti ini kemudian akan melahirkan beragam kesepakatan damai. Namun, kesepakatan damai tersebut hanyalah kedamaian semu. Dikatakan demikian karena kesepakatan hanyalah tinta diatas kertas, kesepakatan akan dilaksanakan jikalau hal tersebut sesuai dengan kepentingannya. Kesepakatan yang terjadi hanyalah sebuah keformalan, bukan suatu kewajiban. Kesepakatan yang terjadi bisa dilanggar tergantung situasi dan kondisi. Hal-hal seperti ini kemudian melahirkan security dilemma, dimana tidak ada satu negara yang percaya dengan negara lain. Seperti yang kita tahu, ada berbagai jenis realisme, mulai dari realisme klasik hingga neo-realisme. Namun ada beberapa esensi yang selalu tetap, beberapa diantaranya antara lain, statism, survival, dan self-help. Statism merupakan focus dari relisme dimana negara sebagai actor utama yang dimana actor lain tidak memiliki signifikansi yang sama dengan state dan kedaulatan negara sebagai komunitas politik mandiri. Dalam statism, negara menjadi aktor utama yang paling dominan dalam dunia internasional dan proses dalam HI. Selain itu statism menyangkut pula pada otoritas yuridis yang membawahi suatu wilayah. Survival adalah tujuan pengorganisasian negara adalah keteraturan dalam mempertahankan kehidupan masyarakat. Survival merupakan yang hakiki dalam dunia internasional dan dalam proses HI, dimana setiap negara harus dapat bertahan ditengah arus dunia internasional. proses survival ini yang sering mendapat tantangan oleh negara lain. Sedangkan Self – help adalah anggapan bahwa tidak ada satu negarapun yang berani menjamin eksistensinya secara struktural baik dibidang domestik maupun internasional. Artinya, tidak ada musuh atau teman yang abadi, yang ada hanya kepentingan nasional negara. Para realis juga menganggap perdamaian akan sulit diwujudkan. Menurut mereka, untuk mencapai perdamaian harus ada kekuasaan yang berimbang (Balance of Power). Balance of Power pernah terjadi saat perang dingin. Saat itu, Rusia dan Amerika Serikat adalah negara adidaya yang saling menebar pengaruh, kemampuannya pun saling mengimbangi. Untuk mengukur Power bisa melalui berbagai aspek, mulai ekonomi, militer hingga kestabilan dalam negeri. Tidak dapat dipungkiri, realisme menjadi salah satu perspektif yang sangat berpengaruh dalam perkembangan Studi Hubungan Internasional selain liberalism Runtuhnya LBB mengakibatkan timbulnya pandangan baru yaitu pandangan realisme yang mengedepankan konflik/pertikaian dalam memperoleh kepentingan. Itu dikarenakan prespektif liberlisme yang selama ini ada dianggap gagal dalam mencapai perdamaian dunia. Salah satu tokoh pengkritik pandangan liberalis adalah E.H Carr, penstudi HI di Inggris. Menurut Carr, Hubungan Internasional pada dasarnya adalah tentang perjuangan antara kepentingan dan keinginan yang bertentangan. Itulah mengapa HI selalu digambarkan sebagai konflik daripada sebagai kerjasama (Jackson & Sorensen 2009, 54). Penganut realisme lainnya yaitu Morgenthau menjelaskan bahwa sifat manusia merupakan dasar Hubungan Internasional tidak lebih dari hubungan manusia lain yang manapun, dan manusia mementingkan diri sendiri serta mengejar kekuasaan, dan itu dapat dengan mudah mengakibatkan agresi (Jackson & Sorensen 2009, 54). Terdapat 2 (dua) teori realisme yang ada di dunia ini, yang pertama adalah teori realisme klasik yang dianut oleh Niccolò Machiavelli, Thucydides, dan Thomas Hobbes. Thucydides berasusmsi bahwa perang merupakan jalan terbaik karena dianggap hal yang paling masuk akal dalam menjaga kelangsungan hidup suatu negara dan tidak ada jalan lain selain mengandalakan politik dan kekuasaan. Bahkan ada istilah yang mengatakan sivis pacem parra bellum yang berarti jika ingin damai maka berperanglah (Wardhani, 2013). Teori realisme yang kedua adalah teori realisme neo-klasik yang dianut oleh Hans Morgenthau. Morgenthau mengatakan “animus dominandi” yang berarti bahwa manusia adalah binatang politik yang haus akan kekuasaan. Morgenthau berusaha menjelaskan bahwa manusia pada dasarnya adalah mahluk yang egois dan akan selalu menghalalakan berbagai macam cara dalam mencapai kepentingannya. Ada istilah lain menyebutkan “homo hominilupus” yang berarti bahwa manusia adalah pemakan manusia yang lain (Wardhani, 2013). Sedangkan Giplin mengatakan bahwa ada dua penekanan utama pada perspektif realis. Yang pertama adalah adanya pemaksaan politis yang didasari oleh egoisme manusia dan yang kedua adalah ketiadaan pemerintahan internasional yang menyebabkan anarki berlaku sehingga kemudian membutuhkan keunggulan power dan keamanan (Gilpin 1987, 305) Ada 4 asumsi dasar dalam relisme terhadap studi Hubungan Internasional. Yang pertama adalah pandangan pesimisme, dimana realisme melihat suatu fenomena berdasarkan sifat dasar manusia. Asumsi yang kedua mengatakan bahwasanya Hubungan Internasional bersifat konfliktual, mengingat manusia adalah mahluk yang selalu haus akan kekuasaan dan tidak pernah puas. Asumsi yang ketiga mengatakan bahwasannya disini aktor dari Hubungan Internasional, yaitu negara ; menjujung tinggi keamanan nasional dan survival state. Asumsi yang terakhir berpendapat bahwasannya kemajuan dalam politik internasional merupakan tujuan yang sebenarnya. Ada 7 hal penting dan utama yang dimiliki realisme sebagai prespektif yang memandang sesuatu fenomena dengan konflik. Yang pertama adalah state system yang berlaku adalah anarki (anarchy), dimana negara merupakan pemilik kekuasaan tertinggi dan tidak ada kekuasan yang lebih tinggi di atas negara, jadi negara bisa dikatan bisa berkendak sesuai kemauannya dalam mencapai national interest mereka (Wardhani, 2013). Yang kedua mengatakan state are the principal actors, dimana dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional, ada banyak aktor yang dipelajari, tetapi bagi realisme, fokus utama aktor Hubungan Internasional adalah negara karena keamanan negara tetaplah menjadi prioritas. Poin yang ketiga adalah state are unitary and rational, Maksudnya unitary adalah segala tatanan negara dan perbedaan pandangan politis diselesaikan menjadi satu suara sedangkan rasional di sini maksudnya adalah negara dapat memperkirakan bagaimana cara mencapai national interest secara baik supaya hasilnya maksimal. Poin selanjutnya menjelaskan bahwasanya “main concern” dari Hubungan Internasional yang dilakukan oleh para aktor didalamnya adalah survival. Contohnya saja, bahwa Indonesia tidak akan membiarkan sejengkal tanah yang dimiliki diklaim atau bahkan direbut oleh Malaysia, karena jika dibiarkan maka kita lama-kelamaan akan kehilangan tanah yang harus kita pertahankan dan disisi lain tanah yang kita miliki merupakan simbol dari kedaulatan (soveregnity) dari negara kita (Wardhani, 2013). Poin selanjutnya mengatakan bahwa dalam pandangan realisme moralitas memiliki tempat terbatas dalam politik internasional. Maksudnya adalah legal bagi negara menggunakan semua cara demi mencapai kepentingan nasionalnya tanpa melihat sisi moralitas. Poin selanjutnya menjelaskan bahwa kaum realis percaya nilai relatif atas keuntungan absolut, maksudnya adalah kaum realis lebih percaya kepada kemengan relatif daripada kemenangan muthlak, karena kemenangan relatif dianggap bisa bertahan lebih lama. Poin terakhir menjelaskan bahwasanya politik internasional yang dilakukan oleh aktor negara lebih penting daripada politik dalam negeri negara itu sendiri. Setidaknya ada tiga tipe pandangan realis, yaitu structural realism, historical realism, dan liberal realism. Structural realism merupakan pandangan tentang konflik yang permanen atau prakiraan konflik di masa mendatang. Structural realism dibagi menjadi dua, structural realism I dan II. Structural realism I lebih menekankan kepada perilaku manusia sebagai strukturnya sedangkan structural realism II menekankan kepada perilaku negara yang bersifat anarki karena otoritas kedaulatan negaranya yang mutlak. Kemudian historical realism yang menggap bahwa realisme merupakan sebuah izin bagi suatu negara untuk melakukan semua hal demi kelangusangan negara tersebut. Yang terakhir adalah liberal realism yang menolak pandang realisme bahwa konflik merupakan jalan satu-satunya dalam menyelesaikan masalah, karena pada dasarnya banyak hal yang lebih bijak dilakukan dalam menyelesaikan masalah selain berkonflik, contohnya saja dengan bernegosiasi. IV. Kesimpulan 1. Masyarakat internasional mengaanggap teori realisme sebagai teori HI satu dimensi yang fokusnya terlalu sempit. 2. Masayarakat internasional mengklaim bahwa realisme gagal menangkap perluasan politik internasional yang merupakan dialog aliran-aliran dan persepektif persepektif HI yang berbeda. Teradisi masyarakat internasional ttidak kritis terhadap aspek-aspek pemikiran kaum realisme , sebaiknya pensetudi masyarakat internasional menggakui bahwa realisme klasik – neo klasik memberikan sudut pandang penting pada politik global/dunia. 3. Para kaum realisme sepakat bahwa ada tekanan dalam sifat manusia yaitu mementingkan diri sendiri dan suka berperang. Mereka meiliki focus dimana Negara dimunculkan secara besar-besaran dan konsepsi hubungan internasional yang anarkis. Mereka sepakat bahwa kekuatan itu penting dan HI secara signifikan terdiri dari politik kekuatan. Mereka sepakat teori internasioanal dalam beberapa hal penting diantaranya teori keamanan dan kelangsungan hidup mereka mengakui bahwa kepentingan nasional merupakan nilai penting dalam politik dunia. 4. Kaum non realisme menganggap bahwa teori realisme tidak mencakup aspek penting HI atau bahkan aspek yang paling penting. Mereka berpendapat bahwa kaum relisme merendahkan, mengabaikan atau mengurangi sendi-sendi penting kehidupan internasional. Realisme memandang rendah tekanan bersifat koopratif dalam sifat manusia. Realisme mengabaikan actor-aktor lain disamping Negara seperti LSM dan manusia. Realism membentuk masyarakat yang anarkis dan Negara- Negara tidak hanya berada dalam konflik. Mereka memilki kepentingan bersama dan mematuhi peraturan bersama yang memberikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbale balik. Realisme menganggap rendah terhadap hubungan –hubungan Negara yang diatur dalam hukum internasional. Realisme menganggap politik internasional bersifat progresif. V. Penututup Demikianlah makalah ini kami paparkan. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Kami sadar masih bayak kekurangan dalam makalah ini saran dan kritik yang konstuktif kami harapkan guna memperbaiki makalah kami selanjutnya Daftar Pustaka: Jackson, R., &. Sorensen, G. (1999) Introduction to International Relations, Oxford University Press.

3 komentar: