Rabu, 22 Desember 2010

Ada kalanya progresif menjadi trobosan hukum

DIAKUI, "kekalahan" kita dalam memenangkan supremasi hukum, untuk sebagian,
disebabkan kekuatan-kekuatan hukum progresif yang masih tercerai-berai. Belum
disadari bahwa kekuatan-kekuatan itu membutuhkan satu platform yang akan
membangun sinergi dan amat menguntungkan usaha (effort) yang ingin mereka
lakukan. Saling bergandeng tangan dalam ide, aksi, dukungan, dan lainnya akan
memperbesar peluang kemenangan kekuatan itu.
Secara singkat bisa dikatakan, kekuatan hukum progresif adalah kekuatan yang
menolak dan ingin mematahkan keadaan status quo. Mempertahankan status quo
adalah menerima normativitas dan sistem yang ada tanpa ada usaha untuk melihat
aneka kelemahan di dalamnya lalu bertindak mengatasi. Hampir tidak ada usaha untuk
melakukan perbaikan, yang ada hanya menjalankan hukum seperti apa adanya dan
secara "biasa-biasa" saja (business as usual).
Mempertahankan status quo seperti itu makin bersifat jahat saat sekaligus diiringi
situasi korup dan dekaden dalam sistem. Praktik-praktik buruk menjadi aman dalam
suasana mempertahankan status quo.
Hakim yang menolak berbuat tidak baik akan diisolasi sampai akhirnya tunduk dan mau
"bekerja sama". Di sinilah letak sifat jahat (mal content) mempertahankan status quo
itu.
Hukum itu amat rentan terhadap keadaan status quo. Bagi para penegak hukum
mempertahankan status quo lebih mudah dan aman daripada berinisiatif melakukan
perubahan dan pembaruan. Bekerja secara "biasa-biasa" sambil menunggu pensiun
lebih aman daripada "bertingkah" melakukan perbaikan.
Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto telah merasakan pahitnya akibat yang menimpa
seorang hakim progresif anti-status quo. Hanya karena ingin mengangkat kualitas
Mahkamah Agung, dengan membongkar kolusi di kalangan korps sendiri, Adi Andojo
harus terdepak. Ironisnya, bukan kekuatan progresif yang menang, justru sebaliknya,
mereka yang pro-status quo yang menang. Begitulah Adi Andojo, begitu pula nasib
kekuatan progresif lain, Lopa dan Hoegeng.
Kekuatan hukum anti-status quo tidak asal main tembak sana-sini, tetapi memiliki ideal
yang dan kokoh (firm), seperti disebutkan di muka. Kekuatan itu tersebar di manamana
di sekalian institusi yang berhubungan dengan hukum dan penegakan hukum.
Mereka ada di pengadilan, kejaksaan, kepolisian, dunia akademi, LSM, dan media.
Mereka menjalankan peran berbeda- beda sesuai dengan profesinya, tetapi disatukan
oleh ikatan yang tidak kasatmata (invisible) berupa semangat dan pikiran sama, yaitu
ingin mengakhiri keadaan status quo yang buruk, dekaden, dan korup.
Progresivisme
Kekuatan hukum progresif akan mencari berbagai cara guna mematahkan kekuatan
status quo. Ini adalah paradigma aksi, bukan peraturan. Dengan demikian, peraturan
dan sistem bukan satu-satunya yang menentukan. Manusia masih bisa menolong
keadaan buruk yang ditimbulkan oleh sistem yang ada.
Di sini semangat memberikan keadilan kepada rakyat (bringing justice to the people)
dirasakan amat kuat. Inilah yang menyebabkan munculnya sikap kritis terhadap sistem
normatif yang ada.
Hakim-hakim progresif biasanya bertindak berdasarkan semangat itu. Bismar Siregar
berkali-kali mengatakan, keadilan itu di atas hukum dan ia benar-benar bertindak,
memutus atas dasar semangat itu. Namun, oleh komunitas hukum yang didominasi
pikiran positivistik, Bismar sering disebut sebagai hakim kontroversial.
Begitu juga saat Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, embrio Komisi
Pemberantasan Korupsi sekarang, ingin membawa beberapa hakim agung ke
pengadilan, justru Tim yang akhirnya dibubarkan oleh sebuah putusan judicial review
MA.
Progresivisme membutuhkan dukungan pencerahan pemikiran hukum dan itu bisa
dilakukan oleh komunitas akademi yang progresif. Karena itu, bila dunia akademi tak
segera berbenah diri, secara berseloroh ia bisa ditunjuk sebagai bagian "mafia status
quo" juga (Dimanakah Pendidikan Hukum?, Kompas, 8/4/2004). Fakultas-fakultas
hukum hendaknya selalu resah dan gelisah melihat nasib keterpurukan bangsanya dan
segera mengubah siasat pembelajaran dan teori-teorinya agar secara progresif dan proaktif
mengubah kultur komunitas profesi hukum di masa datang yang dekat.
Kekuatan hukum progresif tidak sama sekali menepis kehadiran hukum positif, tetapi
selalu gelisah menanyakan "apa yang bisa saya lakukan dengan hukum ini untuk
memberi keadilan kepada rakyat?". Singkat kata, ia tak ingin menjadi tawanan sistem
dan undang-undang semata. Keadilan dan kebahagiaan rakyat ada di atas hukum.
Belajar dari Padang
Keberhasilan kekuatan progresif di Padang untuk menjatuhkan hukuman kepada
anggota DPRD yang didakwa melakukan korupsi bisa memberikan inspirasi kepada
kekuatan progresif di bagian lain negeri ini. Penegakan hukum di Padang telah
menjalankan pekerjaannya dengan baik, bukan semata-mata karena peran kejaksaan
dan pengadilan di daerah itu, tetapi merupakan hasil kerja sama dari banyak unsur
kekuatan progresif di situ.
Cerita sukses dari Padang amat menarik karena tidak dimulai dari masalah hukum,
tetapi dari menyebarnya penyakit busung lapar di Sumatera Barat, khususnya di
Padang Pariaman dan Agam. Pada saat bersamaan DPRD Sumbar sibuk menyusun
APBD yang ironisnya tidak berpikir untuk mengalokasikan dana guna mengatasi busung
lapar yang disebabkan kekurangan gizi, tetapi untuk "mengisi saku" anggota sendiri.
Inilah pemicu yang mengawali long march kekuatan-kekuatan progresif yang
melayangkan tuduhan ketidakadilan yang dibuat DPRD.
Dinamika lokal di Padang mulai bergulir. Dinamika itu bertumpu pada aneka kekuatan
progresif yang "beranggotakan" LBH Padang dan LSM-LSM lain. Perjuangan mereka
tidak berjalan mulus, tetapi bergerak dari kegagalan satu ke yang lain. Mereka cepat
belajar, diperlukan penggalangan kekuatan lebih besar. Maka, diperluaslah lingkaran
dengan mengajak dunia akademi, mahasiswa, praktisi, pelaku ekonomi, dan publik.
Akhirnya kejaksaan tinggi menyerah, proses hukum pun bergulir.
Sungguh suatu perjalanan (2001-2004) yang melelahkan, tetapi penuh dengan
kekokohan semangat dan ideal. Daerah- daerah lain di negeri kita seyogianya belajar
dari pengalaman Padang itu. Pesan amat penting yang mereka kirimkan terdiri dari tiga
kata kunci: (1) jangan putus asa, (2) perluas kerja sama dan partisipasi sekalian
komponen dalam masyarakat sebesar dan seluas mungkin, dan (3) aktif membentuk
opini publik.
Kekuatan Hukum Progresif
Meski Indonesia sudah terkenal sebagai salah satu negara dengan sistem hukum yang
amat buruk, tetapi kita tak dapat menutup mata bahwa masih ada kekuatan-kekuatan
progresif di negeri ini. Mereka ada di kejaksaan, pengadilan, kepolisian, advokat,
akademi, LSM, birokrasi, pelaku ekonomi, dan banyak lagi. Para pengamat, baik dari
dalam maupun luar negeri, telah bersikap tidak adil dan jujur bila mengabaikan
kenyataan dinamika lokal, seperti di Padang.
Hal lain yang amat menarik adalah pelaku-pelaku hukum progresif, sedikit (maaf)
ditemukan di tingkat nasional, tetapi lebih banyak di tingkat lokal, di kalangan manusia
dan pelaku kecil. Hakim-hakim progresif, seperti Amiruddin Zakaria, Teguh Prasetyo,
dan Benyamin Mangkudilaga (saat ikut membatalkan pencabutan Siupp Tempo),
bukanlah "hakim-hakim besar". Sayang, mereka orang-orang marjinal dan kian
dipinggirkan bila tidak bersatu dan dipersatukan.
Penelitian Bank Dunia "Village Justice in Indonesia" (2004) yang mengoprek manusiamanusia
kecil di tingkat lokal menemukan sejumlah idealis dan para vigilante (pejuang).
Ada jaksa yang dengan inisiatif sendiri melakukan terobosan untuk mempercepat proses
peradilan. Ada hakim yang tidak mau diajak korupsi meski akhirnya harus dikucilkan.
Bagaimana bila mereka bersatu atau disatukan? Kekuatan mereka akan menjadi lebih
besar karena adanya keyakinan bahwa mereka tidak berjuang sendiri sehingga bukan
tergolong "manusia aneh" lagi. Anda tidak sendiri!
Menyatukan kekuatan progresif tak perlu menunggu waktu lama karena esok hari pun
sudah bisa terlaksana. Ia tak perlu menunggu lahirnya perhimpunan formal. Kekuatan
mereka sudah terbangun melalui jaringan informal, getok tular (dari mulut ke mulut)
melalui pembacaan media yang progresif. Boleh juga sesekali berkumpul untuk tukar
pengalaman, saling berhubungan guna menambah sinergi.

Selasa, 07 Desember 2010

selamat atas lahirnya sijabang bayi blog

dalam dunia cyber memang banak permasalahan yang harus agan hadapi, yakni permasalahan dalam pembuatan blog baru, nah disini akan memperinci syarat-syarat wajib dalam dunia cyber blog.
  1. niattan didalam membuat blog, karena "Allah"
  2. harus menuntun kreatifitas intelektual didalam pembuatan blog
  3. jangan memasukkan sesuatu yang berbau maksiyat (boleh ketika pada saat diperuntukkan untuk berdakwah)
  4. gunakan blog untuk hal-hal "amar makruf nahi munkar"
  5. konsentrasi dalam suatu ide yang harus dicetuskan.
  6. tertib.
  7. doa.
nah disinilah terdapat kode etik dalam dunia cyber blog yang harus kita tanamkan pada jiwa-jiwa bangsa.