Senin, 06 Juli 2015

UPAYA PENGEMBANGAN UIN WALISONGO SEMARANG DALAM MENINGKATKAN LULUSAN AKADEMIK YANG BERKUALITAS

A. Pendahuluan Dewasa ini pendidikan perguruan telah merebak hingga dipelosok negeri, namun memang tidak semua telah merasakan apa itu pendidikan. Pembangunan infrastruktur sekolah yang telah dilakukan oleh pemerintah maupun swasta semakin membantu perkembangan pendidikan, bahkan dikota-kota besar semakin banyak bermunculan sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta. Pembangunan infrastruktur yang pesat juga harus di imbangi oleh terpenuhinya kualitas sumber daya manusia yang ada, sumber daya manusia yang dimaksud dapat meliputi komponen-komponen pendidikan yaitu dosen, rektor, tenaga administrasi, mahasiswa dan lainnya. Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa ini kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi. Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Untuk itu perlu peran serta seluruh masyarakat dan pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut. Hal tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan sumber daya manusia. Berdasarkan data hasil survei tentang Human Development Index (HDI) oleh United Nation Development Program atau UNDP Brodjonegoro, dalam Pikiran Rakyat, 28 Oktober, 2005, menyatakan bahwa Indonesia menempati peringkat 113 dari 177 negara didunia. Rendahnya sumber daya manusia Indonesia berdasarkan hasil survei UNDP tersebut sebagai akibat rendahnya mutu pendidikan diberbagai jenis dan jenjang pendidikan karena itu salah satu kebijakan pokok pembangunan pendidikan nasional sesuai dengan amanah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 yaitu mengarah pada peningkatan mutu dan relevansi pendidikan. Keberhasilan program pendidikan nasional, akan sangat ditunjang dari berbagai sumber daya yang memiliki daya saing global dalam rangka menghadapi tantangan-tantangan di masa depan sebagai akibat terjadinya globalisasi dari berbagai aspek kehidupan, khususnya dalam dunia pendidikan. Menciptakan sumber daya, khususnya sumber daya manusia yang memiliki daya saing global dapat diciptakan melalui proses pendidikan yang memenuhi harapan dan tuntutan para pengguna atau penggelola jasa pendidikan. Oleh karena itu, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang dalam menghasilkan lulusan yang berdaya saing global, maka pengelola pendidikan selayaknya harus melakukan penyempurnaan-penyempurnaan di dalam intern organisasinya baik yang berkenaan dengan keadaan sumber daya manusia yang harus selalu dilakukan peningkatan kinerja dan pengetahuannya, program-program pembelajarannya, fasilitas sarana prasarana pembelajaran, dan keuangan yang mampu untuk memfasilitasi persaingan global. Berdasarkan hal tersebut, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang perlu memperhatikan dan menempatkan mutu sebagai alat untuk memperoleh manfaat terhadap persaingan global yang dapat memperbaiki dan menyempurnakan kegitan pendidikan. Dalam hal peningkatan mutu pendidikan perguruan tinggi, fokus yang terpenting dan perlu dilaksanakan adalah berkenaan dengan “content and delivery” proses pendidikan tersebut sehingga mempunyai nilai yang bermanfaat bagi setiap pengguna jasa pendidikan, khususnya bagi lembaga dan individu yang mengikuti proses pendidikan. Dosen memegang peran sangat penting bagi kemajuan suatu Perguruan Tinggi. Hal ini sangat disadari oleh dosen itu sendiri yang ditunjukkan dengan upaya-upaya pribadi untuk manjadikan dirinya memiliki kompetensi dan kepakaran yang sesuai dengan minat dan bidang yang ditekuninya. Jika dia menjadi terkenal di masyarakat karena kepakarannya tersebut dan banyak presentasi di berbagai seminar yang semakin menunjukkan kepakarannya sehingga dikenal luas di masyakarat, adakah sumbangan dosen tersebut terhadap kualitas pembelajaran di perguruan tinggi tempat dosen tersebut bernaung? Tentu jawabnya ada karena perguruan tinggi tempat dosen berasal jadi semakin dikenal luas oleh masyarakat, yang berdampak banyak mahasiswa bangga jika diajar oleh dosen yang sangat terkenal dan dikenal di masyarakat luas tersebut. Semakin banyak perguruan tinggi memiliki dosen-dosen pakar yang terkenal, maka akan banyak mahasiswa yang termotivasi. Kuliah selalu penuh, banyak seminar dan diskusi terjadi, atmosfir akademik berkembang di perguruan tinggi tersebut, mahasiswa pun terbawa dalam suasana akademik yang terbina baik tersebut. Sungguh situasi tersebut sangat membanggakan, namun dimanakah letak keberhasilan dosen tersebut dalam meningkatkan kompetensi mahasiswanya? Disadasari atau tidak seorang dosen memiliki ego-akademik yang tinggi, salah satu wujud dari sikap ini adalah adanya “mimbar kebebasan akademik”. Jika banyak keluhan karena mengatur dosen itu sangat sulit, maka itulah jawabannya karena dosen memilki ego-akademis yang tinggi. Kepakaran kadang membuat kotak-kotak yang sulit disatukan, walau bernaung dalam perguruan tinggi yang sama. Tidak terjadi goal-congruent, sehingga tidak ada keselarasan antara visi, misi, dan tujuan pribadi dengan visi, misi, dan tujuan institusi. Disinilah muncul permasalahan mutu perguruan tinggi,visi, misi, dan tujuan institusi yang diturunkan dalam sasaran mutu institusi tidak dipahami dan dimengerti sehingga tidak menjadi acuan dan arah dari seorang dosen dalam menggunakan kepakarannya, namun untuk memahamkan menyamakan persepsi tentang visi,misi, dan tujuan tadi tidaklah mudah, sehingga sering menjadi perdebatan panjang, menguras banyak energi, dan sangat melelahkan. Pembelajaran yang selama ini fokus pada teacher center learning telah beralih ke student center learning. Telah banyak perguruan tinggi yang telah melalukan perubahan proses pembelajarannya dari teacher center learning ke student center leaning, namun belum semua perguruan tinggi secara nyata melakukannya. Botol telah berbeda tapi isinya tetap sama, itulah yang terjadi karena ternyata paradigma para dosennya belum berubah. Hal ini banyak dijumpai dalam praktek-praktek mengajar dikeseharian, dosen masih mendominasi dalam proses pembelajaran dan evaluasi pembelajaran ditentukan oleh hasil akhir ujian. Student center learning membutuhkan perubahan paradigma para pelaku pembelajaran baik dosen maupun mahasiswa. Dosen berperan sebagai fasilitator dan motivator, sedangkan mahasiswa berperan sebagai pelaku pebelajar aktif yang mandiri. Kedudukan dosen bukan satu-satunya sumber belajar namun hanya sebagai salah satu sumber belajar, sedangkan mahasiswa berkedudukan sebagai pengguna sumber belajar. B. Pokok Pembahasan Kualitas mutu kelulusan sangat ditentukan oleh keberadaan sumber daya manusia yang cakap dan handal dalam melaksanakan tugas serta fungsi sebagai pelaksana kegiatan dalam proses pendidikan. Berdasarkan uraian di atas, fukus permasalahan yang akan di bahas dalam makalah ini adalah berkenaan dengan bagaimana standar sistem proses kegiatan pendidikan yang bermutu sehingga dapat memberi manfaat dan meningkatkan daya saing global. Adapun pembahasan masalah dalam makalah ini sebgai berikut 1. Bagaimana standar sistem mutu yang dapat diaplikasikan pada organisasi Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang? 2. Bagaimana pengembangan sistem manajemen mutu dalam organisasi Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang? C. Pembahasan Manajemen mutu merupakan konsep yang telah diperdebatkan oleh berbagai pihak dalam upaya meningkatkan pendidikan tinggi. Berbagai upaya tersebut dapat terlihat dari lahirnya kajian teoritik mengenai mutu pendidikan, seperti manajemen terpadu dalam pendidikan (total quality management in education), jaminan mutu dalam pendidikan (Quality Anssurance in education), gugus kendali mutu, manajemen peningkatan mutu perguruan tinggi. Perkembangan konsep tersebut merupakan suatu hal yang menggembirakan, karena hal tersebut menunjukkan adanya keseriusan untuk memikirkan bagaimana mutu kelulusan pendidikan perguruan tinggi dapat dicapai. Quality is similar in nature to goodness, beauty, and truth; and ideal with there can be no compromise. Quality products are things of perfection made with no expense. They are valuable and convey prestige to their owner. Deming (1986) menyatakan bahwa implementasi konsep mutu dalam sebuah organisasi memerlukan perubahan dalam filosofi yang ada di sekitar manajemen. Deming mengusulkan empat belas butir pemikiran yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan mutu dan produktivitas suatu organisasi juga dalam bidang pendidikan. Keempat belas butir pemikiran tersebut adalah 1. Ciptakan tujuan yang mantap demi perbaikan produk dan jasa. Universitas memerlukan adanya tujuan akhir yang mampu mengarahkan mahasiswa menghadapi masa depan yang lebih baik. Jangan membuat mahasiswa sekedar memiliki nilai bagus tetapi juga harus mampu membuat kemauan belajar seumur hidup. 2. Adopsi filosofi baru. mahasiswa berhak mendapatkan pembelajaran yang berkualitas dengan kata lain, mereka tidak lagi sebagai siswa yang pasif dan rela diperlakukan seburuk apapun tanpa dapat berkomentar. 3. Hentikan ketergantungan pada inspeksi masal. Dalam bidang pendidikan tinggi, evaluasi yang dilakukan jangan hanya pada saat u ataupun ujian akhir, tetapi dilakukan setiap saat selama proses belajar mengajar berlangsung. Selain itu, dalam menetapkan standar uji, maka perlu diperhatikan teori- teori kepemimpinan yang berkembang dalam Total Quality Management dan lainnya, seperti teori sifat, teori lingkungan, teori perilaku, teori humanistik, dan teori kontigensi. Kualitas dalam pengertian di atas mengarah kepada sesuatu yang terbaik, bagus, dan terpercaya, sesuatu yang ideal dimana tidak ada kompromi sama sekali. Layanan jasa yang diberikan atau barang yang dihasilkan adalah suatu bentuk yang dirasakan oleh konsumen sangat baik dan terpercaya, sehingga ada nilai yang dirasakan jasa dan produk itu sangat baik dan tidak mungkin mengecewakan. Kualitas yang melekat pada produk adalah barang yang dihasilkan sangat sempurna. Produk tersebut sangat bernilai dan mengarah pada harga diri pemiliknya; Apakah mengarah pada rasa bangga ataupun menaikan gengsi pemiliknya. Mutu dari sudut pandang produsen adalah sebagai derajat pencapaian spesifikasi rancangan yang telah ditetapkan. Sedangkan dari sudut pemakainya sendiri adalah diukur dari kinerja produk, suatu kemampuan dari produk untuk memuaskan kebutuhannya. Penjelasan di atas menempatkan kualitas sebagai sesuatu yang absolut. Sedangkan dalam pengertian yang relatif, kualitas diartikan sangat sederhana yaitu bagaimana produk dan jasa dihasilkan sesuai dengan tujuannya. Secara relatif tidak hanya sekedar mahal atau memiliki nilai mewah tetapi lebih baik, merupakan hal yang umum, sederhana, bagaimana produk atau jasa tersebut dinilai dari standar yang ditentukan. Dalam pengertian relatif mengarah pada dua aspek, yaitu : (1) sesuai dengan spesifikasi produk/jasa, (2) sesuai dengan harapan penggunanya. Gambar di bawah ini memperlihatkan titik temu dalam pengertian kualitas, disatu sisi bagaimana produk/jasa itu dihasilkan; disisi lain bagaimana penilaian pengguna terhadap produk/jasa yang dihasilkan. Gambar : Pertemuan Mutu antara produsen dan konsumen (diadopsi dari Sallis : 1993) Mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam proses pendidikan yang bermutu terlibat berbagai input, seperti: bahan ajar (kognitif, afektif, psikomotor), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana serta sumber daya lainnya, juga penciptaan suasana kondusif. The term “quality is widely used as a measure of excellence. It is not a new concept and has been used to measure the quality of product and houses that were built the ancient times (Madu:1998), Garvin (1991). However, identified eight key attributes that a product or service must have to be considered of high quality. These attributes, referred to as dimensions of quality, are: Peran dosen dalam student center learning lebih banyak sebagai penyedia jasa (provider) pembelajaran, sedangkan mahasiswa sebagai pelanggan (customer) pembelajaran. Oleh karena itu seorang dosen harus mengubah paradigma lama, agar provider tidak ditinggal oleh customernya maka harus mampu memenuhi kepuasan dan kebutuhan pelanggannya. Jasa layanan yang mampu memenuhi kepuasan dan kebutuhan pelanggan disebut jasa yang bermutu. Agar mutu layanan terjaga secara sinambung, maka semua proses harus terbakukan (berstandar) dalam sebuah sistem. Mutu jasa pendidikan dan pembelajaran di perguruan tinggi dapat dilihat dari tingkat keterserapan lulusan (alumni) di masyarakat. Jika dosen mampu menyediakan sumber belajar dan mampu menjaga mutu proses pembelajaran secara konsisten sehingga mampu memenuhi kepuasan dan kebutuhan mahasiswanya sesuai yang dijanjikan, maka dosen tersebut dianggap bermutu dan profesional. Oleh karena itu, seorang dosen harus memiliki paradigm customer focus, process systems dan corporate management result institution. Corporate management result institution, maksudnya seorang dosen tidak hanya berfokus pada hasil yang diperoleh secara individu tetapi harus berpikir ke arah capaian hasil secara institusi (corporate). Prestasi seorang dosen tinggi secara individu tidak ada artinya jika tidak searah dengan visi, misi, dan tujuan institusi. Demikian pula dalam hal pembelajaran, seorang dosen harus mampu mengelola mata kuliah yang jadi tanggungjawabnya yang hasilnya diorientasikan kepada capaian sasaran mutu program studi, sasaran mutu fakultas dan pada akhirnya pada sasaran mutu universitas. Langkah-langkah yang perlu dilakukan agar dapat merealisasikan ini adalah dengan memperbaiki rancangan kurikulum, proses pembelajaran, dan standar penilaiannya. Penyusunan rancangan kurikulum diarahkan untuk pemenuhan kepuasan dan kebutuhan pungguna. Pelaksanaan pembelajaran dapat dibagi dalam beberapa tahapan aktivitas belajar, di setiap tahapan aktivitas belajar ditetapkan indikator capaiannya, dan indikator-indikator capaian ini menjadi komponen dasar penilaian. Berdasar komponen penilaian ini, maka dapat ditentukan dan ditetapkan nilai akhir mahasiswa bertujuan untuk mengukur tingkat keberhasilan seorang dosen dalam proses pembelajaran, maka diperlukan sasaran mutu pembelajaran dari mata kuliah yang diampunya. Jika setiap dosen pengajar menyusun sasaran mutu pembelajaran yang dilakukan di setiap semester maka secara keseluruhan proses di suatu program studi dapat diketahui. Berdasar sasaran mutu pembelajaran ini maka program studi akan dapat menilai tingkat keberhasilan proses pembelajaran semua mata kuliah yang diselenggarakan. Bila semua dosen telah melakukan demikian, sasaran mutu pembelajaran ini dapat ditingkatkan lagi menjadi sasaran mutu pembelajaran untuk program studi. Selanjutnya, ke tingkat fakultas dan pada akhirnya ke tingkat universitas. Di sinilah letak peran dosen dalam meningkatkan capaian mutu universitas atau perguruan tinggi. Dengan kata lain, peran dosen dalam meningkatkan capaian mutu universitas diawali dengan menyusun sasaran mutu pembelajaran mata kuliah yang diampunya. Sasaran mutu pembelajaran ini perlu dituangkan dalam pedoman perkuliahan untuk mahasiswa, hal ini dimaksudkan agar mahasiswa pun mengetahui dan mampu melakukan kontrol terhadap dosen dalam mengajar. DAFTAR PUSTAKA Depdiknas. 2010. Manajemen Berbasis Sekolah. www.mgp-be.depdiknas.go.id. Diakses dari alamat www.mgp-be.depdiknas.go.id/cms/upload/publikasi/m01u02a. pdf. Hadis, Abdul (eds). Manajemen Mutu Pendidikan. Bandung: Penerbit AlfaBeta. 2010. Kristianty, Theresia. Peningkatan Mutu Pendidikan Terpadu. Jurnal Pendidikan Penabur. 2005. Sallis, Edward. Alih Bahasa Ali Riyadi (eds). Total Quality Management in Edecation: Manajemen Mutu Pendidikan. Yogyakarta: Irchisod. 2006. M Ihsan Dacholfany M.Ed & Evi Yuzana SKM. 2009. Manajemen Mutu Pendidikan. Jurnal Pendidikan tanggal 20 September 2009. Usman, Husaini, Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 2009.

Sabtu, 11 April 2015

FUNGSI UANG DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM

A. PENDAHULUAN Moneter dalam konsep ekonomi didefinisi-kan kebijakan moneter adalah mengenai peranan uang dalam perekonomian, baik mengenai teori-teori tentang uang, pengelolaan, kebijakan, instrumen maupun institusi yang menjadikan uang sebagai objek aktifitasnya. Peranan uang dalam perekonomian merupa-kan materi yang sangat penting dalam perekonomian modern, uang ibarat detak jantung dalam tubuh manusia, tanpa uang, perekonomian tidak dapat berjalan sebagai-mana mestinya. Secara sederhana uang didefi-nisikan segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat bantu dalam pertukaran. Secara hukum, uang adalah sesuatu yang dirumuskan oleh undang-undang sebagai alat tukar. Jadi segala sesuatu dapat diterima sebagai uang jika ada aturan hukum yang menunjukkan bahwa sesuatu itu dapat digunakan sebagai alat tukar. Fungsi utama uang dalam teori ekonomi konvensional adalah: 1. Sebagai alat tukar (medium of exchange) uang dapat digunakan sebagai alat untuk mempermudah pertukaran. 2. Sebagai alat kesatuan hitung (unit of Account) untuk menentukan nilai/ harga sejenis barang dan sebagai perbandingan harga satu barang dengan barang lain. 3. Sebagai alat penyimpan/penimbun kekayaan (Store of Value) dapat dalam bentuk uang atau barang. Dalam konsep ekonomi Islam uang adalah milik masyarakat (money is goods public). Barang siapa yang menimbun uang atau dibiar-kan tidak produktif berarti mengurangi jumlah uang beredar yang dapat mengakibatkan tidak jalannya perekonomian. Jika seseorang sengaja menumpuk uangnya tidak dibelanjakan, sama halnya dengan menghalangi proses kelancaran jual beli dan berdampak pada terhambatnya proses pertukaran dalam perekonomian di masyarakat. Di samping itu penumpukan uang/ harta juga dapat mendorong manusia cenderung pada sifat-sifat tidak baik seperti tamak, rakus dan malas beramal (zakat, infak dan sadaqah). Sifat-sifat tidak baik ini juga mempunyai dampak yang tidak baik terhadap keberlang-sungan perekonomian secara makro maupun mikro. Oleh karenanya Islam melarang umatnya melakukan penumpukan/penimbunan harta, dengan istilah lain memonopoli kekayaan, “al kanzu” sebagaimana telah di-sebutkan dalam Al-Qur’an:artinya “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (Q.S at Taubah: 34). Di samping itu, uang yang di simpan tidak dimanfatkan di sektor produktif (idle asset) jumlahnya akan semakin berkurang karena adanya kewajiban zakat bagi umat Islam. Oleh karena itu uang harus berputar (Money as flow consept). Islam sangat menganjurkan bisnis/ perdagangan, investasi disektor riil, uang yang berputar untuk produksi dapat menimbulkan kemakmuran dan kesehatan ekonomi pada masyarakat. Kuantitas waktu yang di miliki setiap orang sama yaitu 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu. Namun nilai dari waktu itu akan berbeda dari satu orang keorang lainnya, tergantung pada bagaimana seseorang meman-faatkan waktunya. Semakin efektif dan efisien, maka semakin tinggi nilai waktunya. Efektif dan efisien akan mendatangkan keuntungan dunia dan akhirat. Dengan demikian uang tidak memiliki nilai waktu, namun waktulah yang memiliki nilai ekonomis (economic value of time), dengan catatan bila waktu tersebut di-manfaatkan secara baik. Implikasinya, dalam bisnis akan selalu dihadapkan risiko untung dan rugi yang tidak dapat dipastikan di masa yang akan datang, usaha yang dilakukan oleh manusia dengan sungguh-sungguh akan men-dapatkan hasil yang terbaik. B. FUNGSI UANG DALAM PERSPEKTIF ISLAM Firman Allah SWT: “…… orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS.9/ At-Taubah: 34) Dalam masyarakat yang maju, dikenal alat pertukaran dan satuan pengukur nilai untuk melakukan sebuah transaksi. Islam telah mengenal alat pertukaran dan pengukur nilai tersebut, bahkan al Quran secara eksplisit menyatakan alat pengukur nilai tersebut berupa emas dan perak dalam berbagai ayat. Para fuqaha menafsirkan emas dan perak tersebut sebagai uang dinar dan dirham. Dalam sejarah perekonomian Islam, uang sebagai alat pertukaran dan pengukur nilai tersebut sudah ada sejak zaman Khalifah Umar dan Utsman, bahkan mata uang yang dicetak pada masa Khalifah Ali masih tersimpan dalam sebuah museum di Paris. Hal ini menunjukkan bahwa dunia Islam telah mengenal mata uang jauh sebelum Adam Smith, Bapak Ekonomi Konvensional, menulis buku “The Wealth of Nations” pada tahun 1766. Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” yang ditulis pada awal abad ke-11 telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, bahwa ada kalanya seseorang mempunyai sesuatu yang tidak dibutuhkannya dan membutuhkan sesuatu yang tidak dimilikinya. Dalam ekonomi barter, transaksi hanya terjadi jika kedua pihak mempunyai dua kebutuhan sekaligus, yakni pihak pertama membutuhkan barang pihak kedua dan sebaliknya pihak kedua membutuh-kan barang pihak pertama, misalnya seseorang mempunyai onta dan membutuhkan kain. Menurut al-Ghazali, walaupun dalam ekonomi barter, dibutuhkan suatu alat pengukur nilai yang disebut sebagai “uang”. Sebagaimana contoh di atas, misalnya nilai onta adalah 100 dinar dan kain senilai 1 dinar. Dengan adanya uang sebagai alat pengukur nilai, maka uang akan berfungsi sebagai media penukaran. Namun demikian, uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri, artinya uang diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan menetap-kan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut. Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna, yang maksudnya adalah uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua barang, atau dalam istilah ekonomi klasik disebutkan bahwa uang tidak memberikan kegunaan langsung (direct utility function), yang artinya adalah jika uang digunakan untuk membeli barang, maka barang itu yang akan memberikan kegunaan. Pembahasan mengenai uang juga terdapat dalam kitab “Muqaddimah” yang ditulis oleh Ibnu Khaldun pada abad ke-14. Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Apabila suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sektor produksi, maka uang yang melimpah tersebut tidak ada nilainya. Sektor produksi merupakan motor penggerak pembangunan suatu negara karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan (pasar) terhadap produksi lainnya. Menurut Ibnu Khaldun, jika nilai uang tidak diubah melalui kebijaksanaan pemerintah, maka kenaikan atau penurunan harga barang semata-mata akan ditentukan oleh kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand), sehingga setiap barang akan memiliki harga keseimbangan. Misalnya, jika di suatu kota makanan yang tersedia lebih banyak daripada kebutuhan, maka harga makanan akan murah, demikian pula sebaliknya. Inflasi (kenaikan) harga semua atau sebagian besar jenis barang tidak akan terjadi karena pasar akan mencari harga keseimbangan setiap jenis barang, karena jika satu barang harganya naik, namun karena tidak terjangkau oleh daya beli, maka harga akan turun kembali. Merujuk kepada al-Quran, al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang menimbun uang adalah seorang penjahat, karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran. Dalam teori moneter modern, penimbunan uang berarti memperlambat perputaran uang. Hal ini berarti memperkecil terjadinya transaksi, sehingga perekonomian menjadi lesu. Selain itu, al-Ghazali juga menyatakan bahwa mencetak atau mengedar-kan uang palsu lebih berbahaya daripada mencuri seribu dirham, karena mencuri adalah suatu perbuatan dosa, sedangkan mencetak dan mengedarkan uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang palsu itu dipergunakan dan akan merugikan siapapun yang menerimanya dalam jangka waktu yang lebih panjang. Menurut konsep ekonomi Syari’ah, uang adalah uang, bukan capital, sementara dalam konsep ekonomi konvensional, konsep uang tidak begitu jelas, misalnya dalam buku “Money, Interest and Capital” karya Colin Rogers, uang diartikan sebagai uang dan capital secara bergantian, sedangkan dalam konsep ekonomi Syariah uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept dan merupakan public goods, sedangkan capital bersifat stock concept dan merupakan private goods. Uang yang mengalir adalah public goods, sedangkan yang mengendap merupakan milik seseorang dan menjadi milik pribadi (private good). Islam, telah lebih dahulu mengenal konsep public goods, sedangkan dalam ekonomi konvensional konsep tersebut baru dikenal pada tahun 1980-an seiring dengan berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan yang banyak membicarakan masalah externalities, public goods dan sebagainya. Konsep publics goods tercermin dalam sabda Rasulullah SAW, yakni “Tidaklah kalian berserikat dalam tiga hal, kecuali air, api, dan rumput.” Persamaan fungsi uang dalam sistem ekonomi Syari’ah dan konvensional adalah uang sebagai alat pertukaran (medium of exchange) dan satuan nilai (unit of account), sedangkan perbedaannya ekonomi konvensi-onal menambah satu fungsi lagi sebagai penyimpan nilai (store of value) yang kemudian berkembang menjadi “motif money demand for speculation” yang merubah fungsi uang sebagai salah satu komoditi perdagangan. Jauh sebelumnya, Imam al-Ghazali telah memperingatkan bahwa “Memperdagangkan uang ibarat memenjarakan fungsi uang, jika banyak uang yang diperdagangkan, niscaya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai uang.” Dengan demikian, dalam konsep Islam tentang uang tidak termasuk dalam fungsi utilitas karena manfaat yang kita dapatkan bukan dari uang itu secara langsung, melainkan dari fungsinya sebagai perantara untuk mengubah suatu barang menjadi barang yang lain. Dampak berubahnya fungsi uang dari sebagai alat tukar dan satuan nilai mejadi komoditi dapat kita rasakan sekarang, yang dikenal dengan teori “Bubble Gum Economic”. Namun sebenarnya, dampak tersebut sudah diingatkan oleh Ibnu Taimiyah yang lahir di zaman pemerintahan Bani Mamluk tahun 1263. Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Majmu’ Fatwa Syaikhul Islam” menyampaikan lima butir peringatan penting mengenai uang sebagai komoditi, yakni : 1. Perdagangan uang akan memicu inflasi; 2. Hilangnya kepercayaan orang terhadap stabilitas nilai mata uang akan mengurungkan niat orang untuk melakukan kontrak jangka panjang, dan menzalimi golongan masyarakat yang berpenghasilan tetap seperti pegawai/ karyawan; 3. Perdagangan dalam negeri akan menurun karena kekhawatiran stabilitas nilai uang; 4. Perdagangan internasional akan menurun; 5. Logam berharga (emas & perak) yang sebelumnya menjadi nilai intrinsic mata uang akan mengalir keluar negeri. Perdagangan uang adalah salah satu bentuk riba yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Untuk itu, marilah kita kembali kepada fungsi uang yang sebenarnya yang telah dijalankan dalam konsep Islam, yakni sebagai alat pertukaran dan satuan nilai, bukan sebagai salah satu komoditi, dan menyadari bahwa sesungguhnya uang itu hanyalah sebagai perantara untuk menjadikan suatu barang kepada barang yang lain. Dengan demikian, maka dalam praktek sebuah Bank Syariah yang benar, Bank bukan menjual-belikan uang tetapi adalah menjual-belikan barang dan atau berbagi hasil dalam sebuah kemitraan usaha guna menghindari perubahan fungsi uang dari alat pertukaran dan satuan nilai menjadi komoditi. C. PANDANGAN AL-GAZALI DAN IBNU KHALDUN TENTANG FUNGSI UANG DALAM ISLAM Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, bahwa ada kalanya seseorang mempunyai sesuatu yang tidak dibutuhkannya dan membutuhkan sesuatu yang tidak dimilikinya. Dalam ekonomi barter, transaksi hanya terjadi jika kedua pihak mempunyai dua kebutuhan sekaligus, yakni pihak pertama membutuhkan barang pihak kedua dan sebaliknya pihak kedua membutuhkan barang pihak pertama, misalnya seseorang mempunyai onta dan membutuhkan kain. Menurut Al-Ghazali, walaupun dalam ekonomi barter dibutuhkan suatu alat pengukur nilai yang disebut sebagai “uang”. Sebagaimana contoh di atas, misalnya nilai onta adalah 1000 dinar dan kain senilai 1 dinar. Dengan adanya uang sebagai alat pengukur nilai, maka uang akan berfungsi sebagai media penukaran. Namun demikian, uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri, artinya uang diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut. Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna. Maksudnya adalah uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua barang. Dalam istilah ekonomi klasik disebutkan bahwa uang tidak memberikan kegunaan langsung (direct utility function), yang artinya adalah jika uang digunakan untuk membeli barang, maka barang itu yang akan memberikan kegunaan. Pembahasan mengenai uang juga terdapat dalam kitab “Muqaddimah” yang ditulis oleh Ibnu Khaldun. Beliau menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Apabila suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sektor produksi, maka uang yang melimpah tersebut tidak ada nilainya. Sektor produksi merupakan motor penggerak pembangunan suatu negara karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan (pasar) terhadap produksi lainnya. Menurut Ibnu Khaldun, jika nilai uang tidak diubah melalui kebijaksanaan pemerintah, maka kenaikan atau penurunan harga barang semata-mata akan ditentukan oleh kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand), sehingga setiap barang akan memiliki harga keseimbangan. Misalnya, jika di suatu kota makanan yang tersedia lebih banyak daripada kebutuhan, maka harga makanan akan murah, demikian pula sebaliknya. Inflasi (kenaikan) harga semua atau sebagian besar jenis barang tidak akan terjadi karena pasar akan mencari harga keseimbangan setiap jenis barang. Apabila satu barang harganya naik, namun karena tidak terjangkau oleh daya beli, maka harga akan turun kembali. Merujuk kepada Al-Quran, al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang menimbun uang adalah seorang penjahat, karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran. Dalam teori moneter modern, penimbunan uang berarti memperlambat perputaran uang. Hal ini berarti memperkecil terjadinya transaksi, sehingga perekonomian menjadi lesu. Selain itu, al-Ghazali juga menyatakan bahwa mencetak atau mengedarkan uang palsu lebih berbahaya daripada mencuri seribu dirham. Mencuri adalah suatu perbuatan dosa, sedangkan mencetak dan mengedarkan uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang palsu itu dipergunakan dan akan merugikan siapapun yang menerimanya dalam jangka waktu yang lebih panjang. D. FUNGSI UANG : ISLAMI VERSUS KONVENSIONAL Menurut konsep Ekonomi Islam, uang adalah uang, bukan capital, sementara dalam konsep ekonomi konvensional, konsep uang tidak begitu jelas. Misalnya dalam buku “Money, Interest and Capital” karya Colin Rogers, uang diartikan sebagai uang dan capital secara bergantian. Sedangkan dalam konsep ekonomi Syariah uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept dan merupakan public goods. Capital bersifat stock concept dan merupakan private goods. Uang yang mengalir adalah public goods, sedangkan yang mengendap merupakan milik seseorang dan menjadi milik pribadi (private good). Islam, telah lebih dahulu mengenal konsep public goods, sedangkan dalam ekonomi konvensional konsep tersebut baru dikenal pada tahun 1980-an seiring dengan berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan yang banyal membicarakan masalah externalities, public goods dan sebagainya. Konsep publics goods tercermin dalam sabda Rasulullah SAW, yakni “Tidaklah kalian berserikat dalam tiga hal, kecuali air, api, dan rumput.” Persamaan fungsi uang dalam sistem Ekonomi Islam dan Konvensional adalah uang sebagai alat pertukaran (medium of exchange) dan satuan nilai (unit of account). Perbedaannya adalah ekonomi konvensional menambah satu fungsi lagi sebagai penyimpan nilai (store of value) yang kemudian berkembang menjadi motif money demand for speculation, yang merubah fungsi uang sebagai salah satu komoditi perdagangan. Jauh sebelumnya, Imam al-Ghazali telah memperingatkan bahwa “Memperdagangkan uang ibarat memenjarakan fungsi uang, jika banyak uang yang diperdagangkan, niscaya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai uang.” Dengan demikian, dalam konsep Islam, uang tidak termasuk dalam fungsi utilitas karena manfaat yang kita dapatkan bukan dari uang itu secara langsung, melainkan dari fungsinya sebagai perantara untuk mengubah suatu barang menjadi barang yang lain. Dampak berubahnya fungsi uang dari sebagai alat tukar dan satuan nilai mejadi komoditi dapat kita rasakan sekarang, yang dikenal dengan teori “Bubble Gum Economic”. E. ANALISIS TERHADAP FUNGSI UANG DALAM EKONOMI ISLAM DAN KONVENSIONAL. Kesalahan besar ekonomi konvensional ialah menjadikan uang sebagai komoditas, sehingga keberadaan uang saat ini lebih banyak diperdagangkan daripada digunakan sebagai alat tukar dalam perdagangan. Lembaga perbankan konvensional juga menjadikan uang sebagai komoditas dalam proses pemberian kredit. Instrumen yang digunakan adalah bunga (interest). Uang yang memakai instrumen bunga telah menjadi lahan spekulasi empuk bagi banyak orang di muka bumi ini. Kesalahan konsepsi itu berakibat fatal terhadap krisis hebat dalam perekonomian sepanjang sejarah, khususnya sejak awal abad 20 sampai sekarang. Ekonomi berbagai negara di belahan bumi ini tidak pernah lepas dari terpaan krisis dan ancaman krisis berikutnya pasti akan terjadi lagi. Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar (medium of exchange), bukan sebagai barang dagangan (komoditas) yang diperjualbelikan seperti sekarang ini. Ketentuan ini telah banyak dibahas ulama seperi Ibnu Taymiyah, Al-Ghazali, Al-Maqrizi, Ibnu Khaldun dan lain-lain. Hal dipertegas lagi Choudhury dalam bukunya “Money in Islam: a Study in Islamic Political Economy”, bahwa konsep uang tidak diperkenankan untuk diaplikasikan pada komoditi, sebab dapat merusak kestabilan moneter sebuah negara. Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi. Islam juga sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena Rasulullah telah menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu yaitu barter (bai’ al muqayyadah), dimana barang saling dipertukarkan. Menurut Afzalur Rahman, Rasulullah Saw menyadari akan kesulitan-kesulitan dan kelemahan – kelemahan akan sistim pertukaran ini, lalu beliau ingin menggantinya dengan sistim pertukaran melalui uang. Oleh karena itu beliau menekankan kepada para sahabat untuk menggunakan uang dalam transaksi-transaksi mereka. Hal ini dapat dijumpai dalam hadits-hadits antara lain seperti diriwayatkan oleh Ata Ibn Yasar, Abu Said dan Abu Hurairah, dan Abu Said Al Khudri. Dari Abu Said r.a, katanya : “Pada suatu ketika, Bilal datang kepada Rasulullah saw membawa kurma Barni. Lalu Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Kurma dari mana ini ?” Jawab Bilal, “Kurma kita rendah mutunya. Karena itu kutukar dua gantang dengan satu gantang kurma ini untuk pangan Nabi SAW.” Maka bersabda Rasulullah SAW, lnilah yang disebut riba. Jangan sekali-kali engkau lakukan lagi. Apabila engkau ingin membeli kurma (yang bagus), jual lebih dahulu kurmamu (yang kurang bagus) itu, kemudian dengan uang penjualan itu beli kurma yang lebih bagus.” (H.R Bukhari Muslim). Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi Saw memerintahkan agar menjuall kurma (yang kurang bagus) terlebih dahulu, kemudian uang penjualan itu digunakan untuk membeli kurma yang berkualitas bagus tadi. Jadi Nabi saw melarang menukar secara langsung 2 sha’ kurma kurang bagus dengan 1 sha’ kurma yang berkualitas bagus. Rasulullah Saw tidak menyetujui transaksi-transaksi dengan sistim barter, karena itu beliau menganjurkan penggunaan uang sebagai alat tukar. Sementara itu, menurut Dr. Rif at al-‘Audi, dalam bukunya Min al-Turats al-Iqtishad li al-Muslimin, bahwa uang merupakan konsep aliran (flow concept) yaitu yang tidak bisa dijadikan komoditas, sedangkan capital bersifat konsep persediaan (stock concept). Dalam ekonomi konvensional terdapat beberapa pengertian seperti yang diungkapkan oleh Frederick Mishkin dalam bukunya Economiss of Money, Banking and Financial Institutionas. Islam tidak mengenal konsep time value of money (yang popular dengan istilah—time is money), tetapi Islam mengenal konsep economic value of time yang artinya bahwa yang bernilai adalah waktunya itu sendiri. Islam memperbolehkan pendapatan harga tangguh bayar lebih tinggi dari pada bayar tunai. Yang lebih menarik adalah dibolehkannya penetapan harga tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali bukan disebabkan time value of money, namun karena semata-mata karena ditahannya aksi penjualan barang. Sebagai contoh, bila barang dijual tunai dengan untung Rp.500,- maka penjualan dapat membeli lagi dan menjualnya kemudian sehingga dalam satu hari itu keuntungannya Rp.1000,- sedangkan bila dijual tangguh bayar maka hak Penjual jadi tertahan, sehingga ia tidak dapat membeli lagi dan menjual lagi, akibat lebih jauh itu, hak dari keluarga dan anak Penjual untuk makan malam tertahan pada pembeli. Alasan Inilah, yaitu tertahannya hak penjual yang telah memenuhi Kewajiban (penyerahan barang) maka Islam membolehkan harga tangguh lebih tinggi dari pada harga tunai. Adapun motif permintaan akan uang—dalam Islam—adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction). Dalam konsep Islam, tidak dikenal money demand for speculation, karena spekulasi tidak diperkenankan. Lain halnya dengan sistem konvensional yang tentunya membuka peluang lebar-lebar dengan kebolehan dalam memberikan bunga atas harta. Islam malah menjadikan uang (harta) sebagai objek zakat, uang adalah milik masyarakat sehingga menimbun uang dibawah bantal atau dibiarkan tidak produktif dilarang, karena hal itu mengurangi jumlah uang yang beredar dimasyarakat. Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan uang merupakan alat-tukar yang meringankan beban manusia dalam pelaksanaan tukar-menukar, sebab uang itu berguna bagi umum dan dapat digunakan oleh umum. Dengan redaksi lain bahwa uang merupakan segala sesuatu yang diterima umum diterima sebagai alat penukar. Dalam ekonomi konvensional uang ‘seolah-olah’ dijadikan manusia sebagai, “tuhan”, Dimana masyarakat memandang uang adalah segalanya, sebagai alat yang penting dan diletakkan sebagai nomor wahid. Manusia kian berpacu dalam mencari uang. Kekayaan diukur dengan banyak sedikitnya uang. Bahkan kesenangan seolah-olah dilukiskan dengan memiliki uang. Hal ini yang memacu ekonomi konvensional sebab memandang uang sebagai medium of exchange juga sebagai store of value / wealth. Lain halnya dimensi ekonomi Islam bahwa uang merupakan segala sesuatu yang umum diterima dan dinilai hanya sebagai alat penukar (medium of exchange) bukan sebagai alat penimbun kekayaan (store of wealth / value). Banyak lagi perbedaan yang prinsipil di antara kedua konsep ekonomi tersebut, antara lain : bahwa menurut Islam uang adalah public good, sedangkan dalam ekonomi konvensional adalah private goods. Uang sebagai public good, berarti bahwa uang pada dasarnya secara fungsional adalah milik umum, karena itu uang harus beredar di dalam perekonomian. Uang tidak boleh ditimbun (iktinaz); uang tidak boleh idle (menganggur), ia harus diproduktifkan dalam bisnis riil, seperti melalui investasi mudharabah atau musyarakah. Uang yang ditimbun akan membuat perekonomian lesu darah. Karena itu Imam Ghazali melarang menjadikan uang dinar dan dirham menjadi perhiasaan, karena menjadikannya sebagai perhiasaan berarti menarik uang dari peredaran dan memenjarakan uang. Bila uang terpenjara, itu berakibat buruk bagi perekonomian. Jadi, menurut ekonomi Islam, uang adalah flow concept, bukan stock concept sebagaimana dalam ekonomi konvensional. Dalam Islam, uang bagaikan air yang mengalir. Air yang tidak mengalir akan menimbulkan penyakit. Untuk itulah uang harus senantiasa terus berputar secara alami dalam perekonomian, semakin cepat uang berputar dalam perekonomian maka akan semakin tinggi pendapatan masyarakat, maka akan semakin baik perekonomian. Bagi mereka yang tidap dapat mengaktifkan hartanya, ‘lagi-lagi’ Islam sangat menganjurkan untuk melakukan investasi dengan perinsip mudharabah atau musyarakah. Dalam hal ini Nabi bersabda, Ketahuilah, Siapa saja di antara kamu yang memelihara harta anak yatim, sedangkan anak yatim itu memiliki uang (dinar-dirham), maka bisniskanlah, jangan dibiarkan idle, sehingga nanti uang itu habis dimakan sedeqah/zakat Persamaan dan perbedaan pandangan mengenai uang antara ekonomi konvensional dan ekonomi Islam di atas, tentu meninggalkan pertanyaan apakah masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Marilah kita mengkritisi peran dan fungsi uang yang pada akhirnya memunculkan ide bunga pada kasus yang terdapat di ekonomi konvensional, terutama fungsi uang sebagai alat penyimpan daya beli atau pengukur nilai kekayaan dan sebagai standar pembayaran yang ditangguhakan, sebab peran uang yang lain seperti sebagai alat tukar atau media pertukaran dan sebagai satuan hitung bisa diterima dalam ekonomi Islam. Menurut ekonomi Islam uang adalah sebagai fasilitator atau mediasi pertukaran atau medium of exchange dan bukan komoditas yang dapat dipertukarkan dan disimpan sebagai asset dan kekayaan individu. Persoalan timbul ketika uang dianggap sebagai alat penyimpan nilai atau store of value. Dengan demikian uang dianggap sebagai kekayaan yang dimiliki secara pribadi, padahal uang adalah milik umum atau public property yang harus selalu disirkulasikan. Bila uang sudah dianggap sebagai alat penyimpan nilai dan kekayaan, maka akan banyak sekali terjadi penimbunan-penimbunan dan pemegangan uang secara spekulatif yang berakibat kepada terhambatnya arus pertukaran komoditas, barang dan jasa di dalam perekonomian. Hal ini karena secara teoritis, pemegangan uang secara spekulatif mengatakan bahwa orang dapat berpekulasi mengenai perubahan tigkat bunga di waktu yang akan datang termasuk perubahan harga obligasi di pasar obligasi. Bila seseorang mengharapkan tingkat bunga yang akan datang turun, maka lebih baik baginya untuk membeli obligasi yang berarti megurangi uang tunai yang dipegangnya, dengan harapan ia dapat memproleh keuntungan berupa capital gain berupa kenaikan nilai atau bunga obligasi yang dibelinya. Sebaliknya bila ia mengharapkan tingkat bunga yang akan datang naik, maka lebih baik baginya untuk menjual obligasi yang yang ia panyai dan menyimpan kekayaannya dalam bentuk uang, dengan harapan ia dapat menghindari kerugian berupa capital loss yang mungkin terjadi akibat turunnya harga obligasi yang ia punyai. Kenyataan inilah yang menghambat fungsi uang yang sesungguhnya sebagai alat tukar atau medium of exchange dan pada suatu titik tertentu dapat membuat instabilitas nilai mata uang yang disebabkan tidak berimbangnya permintaan dan penawaran uang di pasar. Inilah kelemahan pandangan ekonomi konvensional yang mengatakan bahwa fungsi dan peran uang adalah sebagai alat penyimpan nilai dan kekayaan. Dalam pandangan ekonomi Islam fungsi dan peran uang hanya sebagai alat pertukaran dan sebagai alat pengukur nilai, karena itu dalam ekonomi Islam uang tidak boleh dijadikan sebagai penyimpan kekayaan apalagi ditimbun dan diendapkan. Pada suatu tingkat teoritis ekonomi Islam memberikan remedi mengenai hal ini dengna cara penghapusan system bunga dan dikenakannya zakat pada uang yang tidak digunakan, sehingga diharapkan dapat mengurangi nafsu pemegangan uang secara spekulatif. Mengapa hal itu dapat terjadi di dalam system perekonomian konvensional? Jawabanya adalah bahwa uang dipaksakan untuk menjadi alat penyimpan nilai yang stabil, sehingga membuat orang yang memegang uang tunai untuk meminta premi liquiditas atau bunga untuk meminjamkan uangnya. Seharusnya peminjaman uang yang digunakan untuk kegiatan ekonomi tidak dikenakan bunga, karena memang uang di-design untuk menjadi alat pertukaran yang memang harus selalu bersirkulasi dalam kegiatan ekonomi. Sekali lagi pemaksaaan fungsi uang sebagai alat penyimpan nilai yang stabil akan berakibat kepada timbulnya bunga yang merupakan beban ekonomi bagi para pelaku ekonomi yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi atau high cost economy. Dampak pemaksaan fungsi uang sebagai alat penyimpan nilai kekayaan yang stabil –dengan penimbunan dan pemegangan uang secara spekulatif yang menimbulkan bunga ini- adalah terjadinya instabilitas dalam nilai mata uang, karena peredaran uang terganggu sehingga supply uang di pasar atau di masyarakat juga berkurang, selain itu adalah terjadinya fluktuasi output dan tingkat penyerapan tenaga kerja yang berakibat kepada timpangnya distribusi pendapatan. Dalam ekonomi konvensional bunga dianggap sebagai harga dari uang atau modal yang digunakan untuk kegiatan investasi. Padahal investasi belum tentu mendapatkan keuntungan dan bahwa setiap usaha pasti menghadapi kemungkinan untung rugi atau kemungkinan resiko kegagalan itu ada, sehingga pengembalian terhadap uang modal bisa saja berupa positive return atau zero return atau negative return, sementara bunga bersifat positive return. Hal ini terjadi karena konsep ekonomi konvensional yang menganggap peran dan fungsi uang sebagi alat penyimpan kekayaan dan sebagai alat standar pembayaran di masa depan yang tentu saja memperhitungkan bunga. Dan dalam ekonomi konvensional uang adalah identik dengan modal yang apabila digunakan harus memperhitungkan rate of return dari penggunaan tersebut. Sekarang marilah kita membuat hipotesa. Seandainya kita berhipotesa bahwa bunga dilarang sama sekali di dalam suatu perekonomian. Apa yang akan terjadi? Dalam keadaan seperti ini tentunya pemilik uang akan menggunakan uangnya baik untuk kegiatan konsumsi atau investasi. Dalam hal ini system Mudarabah atau Qirad akan memainkan peran yang signifikan dalam perkonomian, banyak orang yang berinvestasi di pasar saham untuk mendapatkan keuntungan bagi hasil dan sebagian lainnya melakukan usaha bisnisnya sendiri. Dalam situasi yang demikian problem akan timbul disisi penawaran uang atau supply of money, dimana para pemilik uang akan menimbun uang sebagai kekayaan yang paling liquid atau menyimpannya berupa emas dan komoditas lainnya yang tahan lama yang tidak terlalu memakan biaya. Ketika terjadi penimbunan semacam itu, pemerintah terpaksa harus menyediakan uang dan kekayaan sebanyak uang dan kekayaan yang ditimbun ditambah dengan uang yang akan diciptakan. Keadaan ini diperparah lagi oleh banyaknya permintaan akan uang di lembaga perbankan dengan bunga nol, sehingga pemerintah melalui otoritas keuangan negara harus menyediakan permintaan ini. Dan jika permintaan uang melebihi penawarannya, maka yang terjadi adalah inflasi dikarenakan uang beredar terlalu banyak. Belum lagi mereka yang menimbun kekayaannya yang berupa saham dan emas yang siap menukarnya dengan uang menyebabkan peredaran uang di pasar begitu besar. Akibat dari semua ini adalah keterpurukan ekonomi dan masyarakat miskinlah yang paling banyak menanggung derita akibat dari keterpurukan ekonomi ini. Sekarang misalnya, otoritas keuangan (Bank Sentral) bekerja keras untuk menata kembali manajemen lembaga keuangan dan perbankan bebas bunga dengan misalnya, memberikan kontrol yang ketat, -kemungkinan gagal dalam mengontrol lembaga-lembaga tersebut akan berakibat kepada krisis keuangan disebabkan kredit macet dan moral hazard atau mungkin secara diam-diam mereka akan memberlakukan system bunga- atau misalnya otoritas keuangan mewajibkan kepada majemen keuangan dan perbankan untuk melakukan study feasibilitas sebelum memberikan kredit berdasarkan kriteria bahwa (1) debitur menyerahkan jaminan keamanan (dalam pengembalian kredit), (2) proyek atau usaha yang akan dilakukan debitur atau pengusaha harus sejalan dengan rencana pembangunan ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintah, hal ini belum tentu menjamin bahwa perekonomian akan berjalan dengan baik. Inilah mungkin kelemahan dari system perbankan bebas bunga atau bagi hasil, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa bila Islam dijalankan secara utuh dan keseluruhan atau kaffah, maka praktek-praktek yang tidak baik tersebut dapat dihindari Untuk itu penyelesaiannya bukan saja hanya dengan menghapuskan bunga dalam system perekonomian dan menerapkan system bagi hasil misalnya dengan prinsip Mudarabah atau yang lainnya, tetapi yang lebih penting adalah rule of the game dari pada Islam secara kaffah harus dilaksanakan oleh semua pihak dan terutama oleh pelaku ekonomi. Islam telah memberikan peraturan dasar yang menurut Mahmud Abu Saud adalah sebagai berikut: 1. Work and Reward. Artinya, setiap orang harus bekerja untuk memperoleh pendapatan. Tidak ada pendapatan tanpa bekerja dan tidak ada jaminan memperoleh keuntungan tanpa menghadapi resiko kerugian. 1. Hoarding and Monopoly. Artinya, tidak boleh seorangpun dalam kehidupan bermasyarakat untuk melakukan penimbunan terhadap barang yang dibutuhkan oleh masyarakat atau memonopolinya, tetapi hendaknya disirkulasikannya diantara masyarakat. 1. Depreciation. Setiap komoditas harus depresiasi termasuk uang. Untuk menghindari penimbunan uang sebagai asset atau kekayaan harus didepresiasi dengan pembebanan pajak atau zakat 2,5%. 1. Money as a Means of Exchange. Artinya, uang hanyalah sebagai alat tukar dan bukan yang lainnya, sehingga uang tidak boleh diperjual belikan, meskipun terbuat dari emas atau perak. 1. Interest is Riba. Artinya, dalam ekonomi Islam bunga adalah riba dan tidak diperbolehkan. 1. Social Solidarity. Artinya, solidaritas dan saling menolong harus ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga kebutuhan hidup dapat dipenuhi oleh semua pihak dan menjunjung tinggi moral dan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Inilah antara lain yang dapat dituliskan dari kelebihan dan kelemahan konsep uang dalam pandangan ekonomi konvensional dan ekonomi Islam. Dan sebagai pelengkap pembahasan mengenai uang ini, ada baiknya bagi kita mengetahui sifat dan karakter uang sebagaimana yang dituliskan oleh Mahmud Abu Saud sebagai berikut bahwa uang: 1. Uang memiliki properti artifisial yang memberikan pemegangya pendapatan dan kekayaan riil tanpa menukarnya dengan komoditas lainnya. 2. Uang tidak membebankan biaya bagi yang memegangnya atau menyimpannya, dan tidak ada asset lain yang lebih liquid dari uang. 3. Permintaan terhadap uang merupakan derivasi dari permintaan terhadap barang dan jasa. 4. Uang terlepas dari depresiasi sebagaimanan komoditas lainnya. Uang merupakan pproduk dari konvensi sosial yang mempunyai daya beli atau purchasing power hanya karena masyarakat percaya uang itu berlaku dan mempunyai nilai dan di back up oleh kekuasaan dibandingkan dengan komoditas lainnya. F. PENUTUP Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar (medium of exchange), bukan sebagai barang dagangan (komoditas) yang diperjualbelikan seperti sekarang ini. Ketentuan ini telah banyak dibahas ulama seperi Ibnu Taymiyah, Al-Ghazali, Al-Maqrizi, Ibnu Khaldun dan lain-lain. Hal dipertegas lagi Choudhury dalam bukunya “Money in Islam: a Study in Islamic Political Economy”, bahwa konsep uang tidak diperkenankan untuk diaplikasikan pada komoditi, sebab dapat merusak kestabilan moneter sebuah negara. Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi. Islam juga sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena Rasulullah telah menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu yaitu barter (bai’ al muqayyadah), dimana barang saling dipertukarkan. Menurut Afzalur Rahman, Rasulullah Saw menyadari akan kesulitan-kesulitan dan kelemahan – kelemahan akan sistim pertukaran ini, lalu beliau ingin menggantinya dengan sistim pertukaran melalui uang. Oleh karena itu beliau menekankan kepada para sahabat untuk menggunakan uang dalam transaksi-transaksi mereka. Islam tidak mengenal konsep time value of money (yang popular dengan istilah—time is money), tetapi Islam mengenal konsep economic value of time yang artinya bahwa yang bernilai adalah waktunya itu sendiri. Islam memperbolehkan pendapatan harga tangguh bayar lebih tinggi dari pada bayar tunai. Yang lebih menarik adalah dibolehkannya penetapan harga tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali bukan disebabkan time value of money, namun karena semata-mata karena ditahannya aksi penjualan barang. Sebagai contoh, bila barang dijual tunai dengan untung Rp.500,- maka penjualan dapat membeli lagi dan menjualnya kemudian sehingga dalam satu hari itu keuntungannya Rp.1000,- sedangkan bila dijual tangguh bayar maka hak Penjual jadi tertahan, sehingga ia tidak dapat membeli lagi dan menjual lagi, akibat lebih jauh itu, hak dari keluarga dan anak Penjual untuk makan malam tertahan pada pembeli. Alasan Inilah, yaitu tertahannya hak penjual yang telah memenuhi Kewajiban (penyerahan barang) maka Islam membolehkan harga tangguh lebih tinggi dari pada harga tunai. Adapun motif permintaan akan uang—dalam Islam—adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction). Dalam konsep Islam, tidak dikenal money demand for speculation, karena spekulasi tidak diperkenankan. Lain halnya dengan sistem konvensional yang tentunya membuka peluang lebar-lebar dengan kebolehan dalam memberikan bunga atas harta. Islam malah menjadikan uang (harta) sebagai objek zakat, uang adalah milik masyarakat sehingga menimbun uang dibawah bantal atau dibiarkan tidak produktif dilarang, karena hal itu mengurangi jumlah uang yang beredar dimasyarakat. Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan uang merupakan alat-tukar yang meringankan beban manusia dalam pelaksanaan tukar-menukar, sebab uang itu berguna bagi umum dan dapat digunakan oleh umum. Dengan redaksi lain bahwa uang merupakan segala sesuatu yang diterima umum diterima sebagai alat penukar. Dalam ekonomi konvensional uang ‘seolah-olah’ dijadikan manusia sebagai, “tuhan”, Dimana masyarakat memandang uang adalah segalanya, sebagai alat yang penting dan diletakkan sebagai nomor wahid. Manusia kian berpacu dalam mencari uang. Kekayaan diukur dengan banyak sedikitnya uang. Bahkan kesenangan seolah-olah dilukiskan dengan memiliki uang. Hal ini yang memacu ekonomi konvensional sebab memandang uang sebagai medium of exchange juga sebagai store of value / wealth. Lain halnya dimensi ekonomi Islam bahwa uang merupakan segala sesuatu yang umum diterima dan dinilai hanya sebagai alat penukar (medium of exchange) bukan sebagai alat penimbun kekayaan (store of wealth / value). Dalam Islam, uang bagaikan air yang mengalir. Air yang tidak mengalir akan menimbulkan penyakit. Untuk itulah uang harus senantiasa terus berputar secara alami dalam perekonomian, semakin cepat uang berputar dalam perekonomian maka akan semakin tinggi pendapatan masyarakat, maka akan semakin baik perekonomian. Bagi mereka yang tidap dapat mengaktifkan hartanya, ‘lagi-lagi’ Islam sangat menganjurkan untuk melakukan investasi dengan perinsip mudharabah atau musyarakah. Dalam hal ini Nabi bersabda, Ketahuilah, Siapa saja di antara kamu yang memelihara harta anak yatim, sedangkan anak yatim itu memiliki uang (dinar-dirham), maka bisniskanlah, jangan dibiarkan idle, sehingga nanti uang itu habis dimakan sedeqah/zakat DAFTAR PUSTAKA Chapra, Muhammad Umar, Money and Banking in Islamic Economy, MFEI. Chapra, Muhammad Umar, The Economic System of Islam, Karaci, University of Karaci, 1971. Chapra, Muhammad Umar, “The Nature of Riba and its Treatment in the Qur’an, Hadith and Fiqh” dalam An Introduction to Islamic Finance disunting oleh Sheikh Ghazali Sheikh Abod, Syed Omar Agil, dan Aidit Hj. Ghazali. Kuala Lumpur: Quill Publishers, 1992. Choudhury, Money in Islam: a Study in Islamic Political Economy, London: The Macmillan Press Ltd, 1996. Ghazali, Abu Hamid Muhammad Al, Ihya Ulum al-Din, Beirut: Dar al-Nadwah, tt. Ibn Taimiya, Taqi al-Din Ahmad, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiya. Disunting oleh al-’Ashimi, Riyadh: Kingdom of Saudi Arabia, tt. Khaldun, Ibnu, Muqaddimah, Kairo: Al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, tt. M. Nejatullah Siddiqi, “Teaching Economics in an Islamic Perspective.” Dalam Reading in Macroeconomics, an Islami Perspective. Ed. Sayyid Tahir et. al. Selangor: Longman Malaysia Sdn., Bhd., 1992. Mannan, M. A. Islamic Economic: Theory and Practice, Lahore: SH Muhammad Ashraf, 1970. Merza Gamal, Uang Perspektif Islam, http://www.halalguide.info, 19 Juli 2006. Paul S. Mills dan John R. Presley, Islamic Finance, Theory of Economy. Rif at al-‘Audi, Min al-Turats al-Iqtishad li al-Muslimin. Saud, MA, Money, Interest and Qirad, SIE.

Kamis, 02 April 2015

ASAL-USUL DAN TIPOLOGI PEMIKIRAN TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA

A. Awal Perdebatan Islam dan Negara di Indonesia. Wacana tentang makna, penafsiran dan fungsi pancasila telah menjadi perdebatan sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia, setidaknya sejak bangsa ini merdeka, perdebatan ini selalu menjadi aktual di kalangan akademisi dan politisi Indonesia sampai saat ini. Apalagi didorong dengan lahirnya beberapa Partai Islam, permintaan diberlakukannya syariat Islam di Aceh (NAD), munculnya teroris-teroris yang berkedok Islam, laskar serta organisasi yang bernafaskan Islam kanan, di antaranya Laskar Jihad, Hizbu Tahrer, Jaringan Islamiyah dan Front Pembela Islam (FPI). Selain itu yang paling jelas menjadi indikator perlunya kejelasan relasi Islam dan negara dalam kehidupan berbangsa terlihat pada menguatnya ide-ide pencantuman Syari‘at Isla>m dalam amandemen UUD 45 setiap ST MPR hasil pemilu 1999.[1] Hal ini juga sering terjadi dalam wacana politik Indonesia di penghujung tahun 1990-an yang juga sibuk memperdebatkan ideologi dan peristiwa-peristiwa politik yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini, di antaranya mengenai hubungan Islam dan negara, peran ABRI dalam politik, dan bentuk demokrasi yang sesuai dengan negara ini.[2] Dalam skripsi ini penyusun menitikberatkan pada masalah yang pertama yaitu mengenai hubungan Islam dan negara. Untuk memperjelas tahap-tahap perjuangan umat Islam Indonesia dalam merespon perdebatan Islam dan negara. M. Rusli Karim membagi menjadi empat tahap. Tahap pertama, 1912 hinggga proklamasi kemerdekaan, tahap kedua 1945-1955, tahap ketiga, 1955-1965 dan tahap keempat 1965 sampai sekarang.[3] Akan tetapi dalam bab ini penyusun akan memfokuskan asal-usul lahirnya perdebatan Islam dan negara sepanjang sejarah perpolitikkan Indonesia secara global. Perdebatan ini mulai aktual sejak dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai upaya persiapan kemerdekaan yang diharapkan,[48] dan telah disetujui oleh pemerintahan Jepang. Hal ini juga dinyatakan dalam pidato Perdana Menteri Kuniaki Koiso kepada Parlemen Jepang pada tahun 1944 yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia dalam "waktu dekat".[4] Akan tetapi kalau kita teliti lebih dalam bahwa persinggungan antara Islam dan negara di Nusantara ini sudah berlangsung lama sebelum Indonesia merdeka yakni di bawah tekanan kolonial Belanda dan Jepang, namun demikian untuk melacak isu tentang istilah negara Islam di Indonesia bukanlah suatu pekerjaan mudah, karena sejauh ini yang diketahui hanyalah pemimpin-pemimpin Sarekat Islam (SI) seperti Surjopronoto dan Dr. Sukiman Wirjosandjojo yang telah mewacanakan suatu kekuasaan atau pemerintahan Islam di akhir tahun 1920-an.[50] Saat itu Surjopronoto menggunakan tema een Islamietsche regeering (Suatu Pemerintahan Islam) sementara Sukiman memakai istilah een eigen Islamietisch bestuur onder een eigen vlag (Suatu kekuassan Islam di bawah benderanya sendiri) semua ini digunakan untuk menciptakan kekuasaan Islam di Indonesia yang substansinya sebagai alat mencapai kemerdekaan.[5] Barangkali wacana dan teori tentang Negara Islam ini belum banyak ditulis secara terperinci oleh pemimpin Islam pada saat itu, sehingga dalam sidang BPUPKI pada 1945 wacana ini terkesan begitu aktual diperdebatkan karena secara resmi peristiwa ini muncul pertama kalinya dalam panggung politik Indonesia. Anggota BPUPKI ini terdiri dari berbagai macam kelompok ideologi yang akhirnya mengalami kesulitan dalam mencari titik temu (Kalimah as-Sawa’) posisi masing-masing anggota tersebut, di antaranya. Pertama, mereka yang ingin menegakkan demokrasi konstitusional sekuler. Kedua, mereka yang menganjurkan negara integralistik, dan ketiga. Yang paling emosional dan konfrontasional adalah mereka yang menginginkan Islam dijadikan dasar negara.[6] Badan penyelidik ini mengadakan dua kali sidang, pada sidang pertama, dari 29 Mei - 2 Juni 1945 membahas masalah umum, dalam sidang ini Soekarno membuat pidato yang sangat berpengaruh tentang dasar negara dan kemudian dikenal dengan Lahirnya Pancasila.[53] Sedangkan pada sidang kedua, 10-14 Juni 1945 membahas tentang isi konstitusi negara yang akan dibentuk.[54] Dalam kedua pembahasan sidang ini menimbulkan perdebatan keras di antara para anggota penyelidik terutama kalangan Islam yang diwakili Abdoel Kahar Moezakkir dengan cita-cita ideologi Islamnya dan kalangan nasionalis diwakili oleh Soekarno yang cenderung netral terhadap agama. Masalah yang sangat krusial dan mengundang perdebatan dalam sidang ini adalah tentang “peletakkan dasar negara” sebab masalah ini berkaitan dengan integritas agama, budaya dan bangsa yang plural. Karena khawatir akan kegagalan Badan Penyelidik yang terus-menerus semakin memanas maka para anggota mengambil iniasiatif dengan membentuk panitia BPUPKI yang terdiri dari 9 orang.[7] Semula anggota BPUPKI ini berjumlah 62 orang, lalu ditambah enam orang yang kebanyakan berasal dari Jawa dan satu orang lagi dari Jepang yakni Ichibangase yang menjabat sebagai ketua yunior dan anggota luar biasa, untuk mengamati secara lebih detail keanggotaan Badan Penyelidik ini maka penyusun paparkan pendapat Prawoto Mangkusasmito, dari 68 anggota BPUPKI, hanya 15 orang (+ 20%) yang menyuarakan aspirasi politik Islam yakni berasal dari nasionalisme-Islam, sedangkan 80 %-nya berasal dari kelompok nasionalis-sekuler.[8] Statistik ini menunjukkan betapa tidak seimbangnya representasi dari masing-masing kelompok itu. Di antara wakil dari kelompok Islam yaitu; K. H. Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Masykur, K.H. A. Wahid Hasyim, Abikusno Cokrosujoso, H. Agus Salim, Sukiman Wiryosanjoyo, K.H. A. Sanusi, dan K.H. Abdul Halim, sedangkan wakil dari kelompok nasionalis, antara lain, Rajiman Widiodiningrat, Soekarno, Mohammad Hatta, Prof. Soepomo, Wongsonegoro, Sartono, R. P. Soeroso, Dr. Buntaran Martoatmojo dan Muhammad Yamin, untuk Ketua dan wakil ketua BPUPKI dijabat oleh Rajiman Widiodiningrat dan R. P. Soeroso, ini menunjukkan bahwa kepemimpinan BPUPKI berada di tangan kelompok nasionalis. [9] Akan tetapi karena banyaknya anggota Badan Penyelidik yang malah dikhawatirkan akan membawa kegagalan Badan Penyelidik itu sendiri (atas perdebatan yang semakin memanas) maka dibentuklah Panitia Kecil BPUPKI yang hanya terdiri dari 9 orang itu, yaitu: empat orang dari kalangan Islam (H. Agus salim, K.H. Wahid Hasyim, Abikusno, dan Abdul Kahar Muzakkir) dan lima orang dari kalangan Naionalis (Soekarno, Mohammad Hatta, A. A. Maramis, Achmad Subarjo, dan M. Yamin).[10] Dalam panitia ini, Islam politik mempunyai kepentingan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, sebab menurutnya yang paling banyak berkorban dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah kelompok Islam. Kepentingan tersebut menimbulkan reaksi keras dari kelompok nasionalis sekuler yang memang secara kuantitatif anggota mereka dalam badan ini merupakan mayoritas, sebagai jalan tengah akhirnya Jepang membentuk “Panitia Sembilan” di atas. Pada tanggal 21 Juni 1945 BPUPKI menyetujui Piagam Jakarta yang rumusan sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syari‘at Isla>m bagi pemeluk-pemeluknya”,[11] kesepakatan ini merupakan hasil perjuangan Islam politik dalam kepentingannya saat itu, akan tetapi umat Islam terpaksa harus kecewa karena dalam UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 itu, ternyata telah menghapuskan Piagam Jakarta tersebut.[12] Ini merupakan kekecewaan Islam politik yang pertama dalam perjuangan politiknya. Diterimanya pancasila sebagai asas dan ideologi negara merupakan puncak dari pertentangan dan sekaligus menunjukkan kekalahan kelompok Islam yang harus berkompromi dengan kepentingan lain. Umat Islam yang sebelumnya memperjuangkan ideologi Islam sebagai dasar negara dalam mukadimah UUD 1945 harus mengalah dengan pancasila. Keinginan keras umat Islam saat itu bisa dimaklumi, selain sebagai pejuang mayoritas kemerdekaan, pancasila sendiri menyimpan dua faktor yang sangat debatable. Pertama, tentang kandungan pancasila itu sendiri. Kedua, tentang makna penting pancasila jika dibanding dengan agama.[13] Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu bertahan selama 57 hari, ini dikarenakan pengiring redaksi sila pertama yang mewajibkan umat Islam menjalankan Syari‘at Isla>m dirasakan oleh kawasan Timur Indonesia sebagai sikap diskriminatif terhadap pemeluk agama lain.[14] Maka demi persatuan bangsa akhirnya para pemimpin politik Islam terpaksa menelan kekecewaan cita-cita politiknya pada 18 Agustus 1945 dengan menghilangkan anak kalimat tersebut dari pembukaan UUD 1945. Peristiwa ini dikenal sebagai sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang merupakan pengganti dari BPUPKI yang telah dibubarkan. Jumlah anggota PPKI semula sebanyak 21 orang, kemudian atas usul Soekarno akhirnya ditambah menjadi 27 orang, dan yang menarik dicermati dari total jumlah ini ternyata hanya tiga anggota dari organisasi Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim dan Kasman Singodimedjo.[15] Betapa ironisnya umat Islam sebagai mayoritas populasi dan penggerak melawan penjajah di negeri ini hanya diwakili oleh tiga anggota. Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 bertujuan menetapkan UUD dan memilih presiden dan wakilnya, kebetulan presiden yang dipilih adalah ketua dan wakil PPKI saat itu yaitu Soekarno dan Hatta. Secara kultural Soekarno mewakili kultur Jawa sedangkan Hatta dari kultur Minang/Sumatera, terang saja latar belakang Hatta ini bisa dijadikan pelebur sikap keras Ki Bagus yang selalu bersekukuh mempertahankan rumusan Piagam Jakarta. Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi konsistensi Ki Bagus yang tetap bertahan dengan Piagam tersebut, maka melalui Hatta yang memanfaatkan Teuku Moehammad Hassan anggota PPKI dari Sumatera berhasil melunakan sikap keras Ki Bagus dan dalam waktu 15 menit anak kalimat pada sila Ketuhanan itu diganti dengan Yang Maha Esa.[16] Akar perdebatan ini tidak lepas dari letupan pertarungan ideologi saat itu, yaitu Nasionalis dan Islam.[17] Golongan nasionalis adalah kelompok yang berprinsip bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama dan negara) harus dipisahkan secara tegas dan proporsional, dengan keyakinan bahwa fungsi agama hanya mengurusi ajaran-ajaran yang berkaitan dengan kehidupan akhirat dan urusan pribadi saja, Sedangkan negara memang merupakan masalah politik yang berurusan dengan duniawi.[18] Sementara itu golongan Islam saat itu berprinsip bahwa agama (dalam hal ini Islam) tidak dapat dipisahkan dari urusan kenegaraan, karena Islam menurut mereka tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan saja, melainkan juga hubungan sesama manusia, lingkungan dan alam semesta.[19] Indikasi pertarungan ideologi ini bisa dilihat sejak tahun 1920-1930-an dari kasus retaknya hubungan Sarekat Islam (SI) dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), kasus Jawi Hisworo, majalah Timboel, Swara Oemoem dan peristiwa itu perdebatan sengit antara tokoh Nasionalis-Muslim, seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Ahmad Hassan dan M. Natsir dengan tokoh-tokoh Nasionalis-sekuler yang diwakili Tjipto Mangunkusumo, Soekarno dan lain-lain, Polemik inilah yang kemudian berlanjut sampai sekarang. [20] Di sisi lain, konsep “Piagam Madinah” dan praktek pemerintahan Islam pada zaman Rasulullah, sahabat dan komunitas muslim lainnya juga ikut mempengaruhi lahirnya perdebatan Islam dan negara di Indonesia, sebab munculnya terma Piagam Jakarta di Indonesia sedikit banyak terinspirasi dari konsep Piagam Madinah yang pasti tidak bisa lepas dari persinggungan wacana politik Islam yang telah berlaku di bangsa Arab itu. Selain itu praktik pemerintahan Negara Turki yang memisahkan negara dan agama juga ikut mewarnai perdebatan ini.[21] Jadi, untuk memaparkan secara lebih jelas pemikiran politik tokoh Islam dan keterkaitan mereka dalam memperjuangkan negara berdasarkan Islam di Indonesia, perlu penyusun bahas secara singkat tentang teori-teori yang diajukan para intelektual muslim. Secara umum pemikiran politik Muslim bisa diklasifikasikan menjadi tiga teori.[22] Pemikiran pertama berpendapat bahwa negara dan agama tidak harus dipisahkan, karena Islam merupakan agama yang integral dan komprehensif dalam mengatur kehidupan baik urusan duniawi maupun ukhrawi, oleh sebab itu menurut pandangan ini konstitusi negara harus didasarkan pada Islam. Tokoh teori ini antara lain , Abu A’la Maududi[23] (1903-1979) dari Pakistan yang memimpin Jamiy‘ah al-Isla>m, Sayyid Qutb[24] (1906-1966) dan para ideolog lain Ikhwan al-Muslimin[25] dari Mesir. Baik Jam‘iyah al-Isla>m maupun Ikhwan al-Muslimin dikenal sebagai gerakan Fundamentalis di Iran, Pakistan dan Saudi Arabia, hal ini bisa dilihat dari jargon politiknya bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama dan Negara) tidak bisa dipisahkan.[26] Pandangan komprehensif ini dikutip dari nash al-Qur’an[27]: ياأيهاالذ ين أمنوا ادخلوا فىالسلم كآّفة ولا تتبعوا خطوات الشيطـن إنّه لكم عدوّ مّبين.! (البقرة :٢٠٨) Menurut teori yang kedua, agama dan negara harus dipisahkan, urusan agama sebatas pada urusan pibadi dan ukhrawi tidak perlu mencampuri urusan politik. Oleh sebab itu konstitusi negara dalam pandangan ini tidak harus didasarkan pada Islam, namun pada nilai sekuler, contoh konkret teori ini adalah negara Turki Modern. Teori ketiga, sepakat dengan adanya pemisahan antara agama dan negara dalam arti konstitusi negara tidak harus didasarkan Islam, akan tetapi nilai agama harus menjadi ruh kehidupan masyarakat bernegara, [28] Ketiga teori ini mewakili pilihan-pillihan yang dapat menentukan karakteristik struktur sosial dan politik negara-negara muslim dunia dalam menghadapi tantangan modernitas. Terutama teori pertama ini sangat kuat mewarnai pemikiran politik muslim Indonesia tahun 1940-an dan 1950-an, karena dalam sidang BPUPKI 1945 maupun konstituante (1956-1959) para pemimpin muslim berjuang keras agar Islam dijadikan dasar negara.[29] Selain itu tidak ada indikasi yang tampak bahwa pemikiran politik nasionalis-muslim Indonesia saat itu, dipengaruhi oleh Kemal Attaturk ataupun Ali Abd al-Raziq (1888-1966) yang berpendapat bahwa Nabi tidak pernah berupaya membangun sebuah negara, beliau hanyalah seorang utusan yang dikirim oleh Tuhan semata. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas, konflik ideologi antara kaum nasionalis-sekuler dan nasionalis-muslim bisa diperkirakan sejak menjelang kemerdekaan (Sidang BPUPKI). Melengkapi data sebelumnya, pada tanggal 31-Mei 1945 Soepomo lebih mendukung gagasan Hatta yang mengusulkan bentuk Indonesia sebagai negara kesatuan daripada keinginan umat Islam dalam meletakkan dasar negara , yakni memisahkan negara dari persoalan agama.[29] Menurut Soepomo sendiri, jika negara Islam diciptakan di Indonesia maka sudah pasti persoalan minoritas, persoalan kelompok-kelompok kecil agama dan yang lainnya akan muncul. Meskipun Islam menjamin kelompok agama lain sebaik mungkin, kelompok kecil ini tidak akan merasakan keterlibatannya dalam negara, karena cita-cita negara Islam tidak sesuai dengan cita-cita negara kesatuan yang diharapkan bersama.[30] Pada tahun 1953 Soekarno juga mengungkapkan kekhawatirannya secara terbuka tentang implikasi-implikasi negatif yang muncul, apabila umat Islam Indonesia tetap memaksakan kehendaknya (negara Islam), yakni pengakuan Islam secara legal formal di negara ini.[31 Dengan mengingat kekhawatiran yang diungkapkan Hatta pada tahun 1945, Soekarno mengatakan bahwa ia cemas, kalau banyak bagian negara Republik Indonesia memisahkan diri, atau negara bekas jajahan Hindia Belanda seperti Irian Barat juga tidak ikut menggabungkan diri dengan Indonesia yang ber-ruh Islami ini.[32] Melihat keberatan kelompok nasionalis-muslim terhadap Negara Sekuler mengharuskan kita meninjau kembali sejarah Islam yang menyatukan pemahaman antara agama (di>n) dan negara (daulah). Istilah “negara” dalam bahasa Indonesia mempunyai arti; pertama, organisasi di suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Kedua, kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintahan yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.[33] Dalam Bab ini penyusun merasa perlu mengkaji pula istilah-istilah dalam kajian politik Islam seperti daulah, khalifah, imamah dan kesultanan yang seringkali dikonotasikan dengan istilah negara. Di samping itu teori-teori tersebut paling tidak ikut mempengaruhi pemikiran politik Islam di Indonesia. a. Daulah. Istilah daulah berasal dari bahasa Arab yang bermakna bergilir, beredar dan berputar (rotate, alernate, take turns or Occur priodically).[83] menurut Olaf Schuman istilah “daulah” sama dengan “dinasti atau wangsa” yang berarti sistem kekuasaan yang berpuncak pada seorang pribadi dan didukung oleh keluarganya atau clanya.[84] Jadi dalam konteks sekarang istilah tersebut bisa diartikan negara, selain itu Paham ini juga erat dengan paham Da>r al-Isla>m yang bermakna bahwa kekuasaan tertinggi terletak di tangan seorang penguasa muslim yang memberlakukan Hukum Islam sebagai hukum utama di dalam wilayahnya.[34] Menurut sejarah istilah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam ketika masa kemenangan kekhalifahan dinasti Abbasiyyah pada pertengahan abad delapan.[35] Kalau memang istilah ini pernah ada, berarti masa itu terdapat pada daullah Umayyah yang kemudian begilir pada keluarga Bani Abbas (Daulah Abbasiyyah).[36] b. Khilafah. Istilah “Khila>fah” berasal dari bahasa arab yang bermakna perwakilan atau pergantian. Dalam perspektif politik sunni, khilafah didasarkan pada dua rukun, yaitu: konsensus elit politik (ijma‘) dan pemberian legitimasi (Bay‘ah).[37] Oleh sebab itu sudah menjadi hal yang lazim dalam pemilihan pemimpin Islam bahwa pemilihan pemimpin ditetapkan oleh elit politik melalu ijma‘ kemudian baru di Bay‘ah , menurut Harun Nasution sistem ini menyerupai dengan sistem republik daripada sistem kerajaan, karena pemimpin dalam hal ini dipilih bukan merupakan sistem monarkhi yang bersifat turun-temurun.[38] Sistem khilafah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam setelah Nabi Muhammad wafat, yaitu pada masa khalifah Abu Bakar, dalam pidato inagurasinya Abu Bakar menyatakan dirinya sebagai Khalifah Rasul Allah dalam artian sebagai “Pengganti Rasulullah” yang bertugas meneruskan misi-misinya.[39] Sedangkan menurut Bernard Lewis istilah khalifah muncul pertama kali pada masa pra-Islam abad ke-6 Masehi dalam suatu prasasti Islam di Arabia.[40]

KONTRAK DAN TARANSKASI DALAM EKONOMI ISLAM

I. Latar belakang Terdapat banyak jenis transaksi dalam kegiatan ekonomi, dimana kegiatan ekonomi tersebut setiap hari kita lakukan dalam rangka bermuamalah atau berhubungan secara sosial yang berkaitan dengan transaksi antara sesorang dengan orang lain. Tentunya ada beberapa jenis transaksi dalam Islam yang dihalalkan sehingga kita dapat mengambil manfaat dan ridho Allah dalam melakukan kegiatan ekonomi tersebut. Islam sebagai suatu ajaran tentang sistem kehidupan yang meliputi hubungan antara Pencipta (al-khaliq) dengan seluruh ciptaan-Nya (makhluk) dan antar ciptaan itu sendiri pada dasarnya dapat didekati melalui dua sumber utama, yaitu sumber wahyu (al-Qur’an dan al-Hadist) dan sumber ilmu pengetahuan. Konsep Islam bersifat proporsional dan dinamis ke suatu tatanan masyarakat yang harmonis, seimbang, adil dan sejahtera penuh limpahan rahmat sang al-khaliq. Konsep ekonomi pembangunan dalam Islam terus diperlukan pengkajian melalui kaidah-kaidah dalam ilmu ekonomi Islam dengan tetap berpedoman pada dua sumber utama wahyu. Seiring dengan dinamika era globalisasi khususnya dinamika keislaman yang kian maju semakin mengalami berbagai macam persoalan baik dari segi persaingan perbankan yang kian kemari semakin banyak dan semakin berkompetensi khususnya dalam dunia hukum maka hal ini telah mendorong terus meningkat dan semakin kompleknya tuntutan yang mesti dilakukan khususnya bagi lembaga lembaga perbankan terlebih bagi lembaga lembaga perbankan yang kurang memenuhi standar kapabelitas dan profesionalitas civitas akademik / keilmuan .Maka dari semua itu tuntutan terhadap penyiapan sumber daya manusia yang handal sungguh sangat dituntut sebagai sarana penyeimbang arus global yang semakin memanas. Dalam konteks Islam selain penguatan paradigma, prespektif, pelayanan yang handal dan kompeten sungguh sangat diperlukan sehingga seorang nasabah akan mampu memandang kedepan tentang tantangan dan tuntutan yang mesti ia persiapkan. Dalam rangka itulah makalah ‘Kontrak Dan Taranskasi Dalam Tinjauan Ekonomi Islam Islam‘’ diharapkan membantu pemahaman tentang ekonomi Islam itu sendiri dan juga diharapkan dengan makalah ini akan semakin memperkaya prespektif dan khazanah keilmuan tentang dunia perekonomian juga realitas kehidupan secara luas. II. Pembahasaan 1. Asas transaksi Ekonomi dalam Islam Ekonomi adalah sesuatu yang berkaitan dengan cita-cita dan usaha manusia untuk meraih kemakmuran, yaitu untuk mendapatkan kepuasan dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Transaksi ekonomi maksudnya perjanjian atau akad dalam bidang ekonomi, misalnya dalam jual beli, sewa-menyewa, kerjasama di bidang pertanian dan perdagangan. Akan tetapi Tuhan tidak pernah melarang transaksi, dimana hal ini membawa kemaslahatan diantara mereka. Mdzhab Hambali mengambil dan menerapkan prinsip ini secara luas, dibandingkan dengan madzhab-madzhab lain. Prinsip ini, umumnya diterapkan pada transaksi komersial oleh semua madzahab . Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan kaidah ushul fiqh al ashl fi al aqd al ibahah kaidah ini merupakan penyimpulkan Al Qur’an Surat al Jatsiyyah (45): 13, al Baqoroh (2): 29, al An’am (6): 119, at Taubah (9): 115. Rumusan di atas didasarkan pada pernyataan bahwa Allah menciptakan dunia dan akherat untuk kemaslahatan manusia, oleh karenanya sah hukumnya bai manusia untuk manfaatkannya. Hak untuk menggunakan, termasuk untuk transaksi yang dibutuhkannya adalah penting untuk menggunkan sumber daya alam yang ini adalah boleh. Untuk menunjukkan nilai pentingnya, lebih jauh al qur’an menempatkan satu prinsip bahwa tuhan secara jelas menjelaskan larangan, oleh karenanya asumsi tidak cukup untuk menyatakan bahwa sesuatu itu haram. Dengan kata lain, bentuk larangan memerlukan penjelasan dan spesifikasi. Dengan demikian segala sesuatu itu boleh, yang diasumsikan dari tidak adanya teks yang melarang pada suatu masalah muamalah, dengan satu pengecualian pada masalah pernikahan. Al qur’an juga menunjukkan bahwa semua petunjuk bagi manusia memiliki satu ketentuan secara umum, yang mana telah memberi penjelasan yang rinci terkait dengan larangan. Pernyataan al qur’an diatas telah dielaborasi oleh as sunah, yang mana dalam beberapa kesempatan menunjukkan pada manusia bahwa tuhan itu menentukan halal dan haram, namun ia juga tidak menunjukkan satu hukum tertentu, ketika kasus tidak ada penjelasannya, berarti ini satu tanda kebolehan, hal ini didasarka pada hadist. Salah satu contoh, Islam tidak mengatur satu bentuk pemerintahan tertentu yang mana Islam memberikan kebebasan pada individu. Sama halnya kita tidak berharap al qur’an dan al sunah mengatur dalam hal kebolehan. Hal ini dapat merujuk pada surat An Nisa’ (4); 23-24, tentang rincian orang-orang yang haram untuk di nikah. Al qur’an telah memberikan satu daftar yang jelas berkenaan dengan larangan yang harus diperhatikan dalam pernikahan, akan tetapi al qur’an hanya memberikan kopnsep umum saja, dengan siapa seseorang akan menikah. Pada persoalan lain, berkenaan dengan hal halal haram makanan, yaitu bangkai, darah, dan binatang yang ketika disembelih tidak menyebut nama Allah, sebagaimana firman Allah dalam surat Al Maidah (6): 144-145; menyatakan tidak ada sesuatu yang haram untuk dikonsumsi, kecuali telah disebutkan dalam al qur’an. Al qur’an tidak menjelaskan secara rinci terhadap kebolehan sesuatu, namun hadist menjelaskan secara detail terhadap al qur’an dan mendukung lebih jauh terhadap apa yang dinyatakan al qur’an, contoh berkaitan dengan makanan, hewan laut, yang mati halal hukumnya, dan menjelaskan dua gumpal darah, yaitu hati dan limpa kecil halal untuk dikonsumsi. Dengan demikian, sunah memiliki pendekatan yang sama dengan al qur’an yang memngandung pelarangan, atau tambahan atau pengecualian, dan mengandung kasuistis ketimbang aturan umum. Akan tetapi, baik alqur’an maupun as sunah tidak memberi penjelasan yang detail terhadap apa yang boleh. Oleh karenanya, kebolehan dan kebebasan menjadi dasar asumsi yang mengatasi ketidakadaan pelarangan yang jelas. Ada ayat al qur’an yang menyatakan tentang keluesan cakupan kebolehan dan terbuka akan aplikasinya, sebagai contoh dalam surat al maidah (5): 87. Dengan demikian al qur’an dan as sunah member petunjuk yang jelas terhadap keabsahan normatif terhadap konsep ibadah, yang berarti bahwa, segala usaha untuk menyatakan bahwa sesuatu itu dilarang, hanya pernyataan spekulatif atau tidak menyebabkan kemandekan dan memberatkan manusia, mematikan spirit kebebasan, dan toleransi, yang mana al qur’an dan as sunah secara konsisten terbuka atasnya. Para ahli hukum islam telah mengambil suatu kesimpulan berikut yang didasari dari al qur’an dan as sunah terhadap konsep ibadah, diantaranya sebagai berikut: 1. Untuk menyatakan transaksi itu sah, tidak perlu mencari satu bukti al ternatif al qur’an maupun sunah. Namun demikian, seseorang perlu mengintrogasi apakah jelas penjelasn mengenai pelarangannya dan jika tidak ditemukan, maka transaksi itu dianggap sah. Oleh karena tidak benar menyatakan keharaman terhadap sesuatu, ini merupakan hak prerogative Tuhan dan hak Tuhan menyerukan penjelasn yang tajam dalam al qur’an. 2. Bentuk-bentuk transaksi yang dijelaskan dalam alqur’an dan as sunah secara eksplisit tentang keabsahannya tidak luas (exhaustif) dan tidak mencakup transaksi baru yang mana hukum islam tidak membahasnya. 3. Berkaitan dengan transaksi baru, tidak perlu seseorang untuk mencari bukti yang mendukun dalam pandangan dan preseden ulama’ masa lalu. Untuk hal ini, pada esensinya tidak benar untuk melanjutkan pandangan tentang bentuk pandangan yang ada pada abad pertengahan. Pendekatan yang benar adalah mendesak untuk berusaha melakukan ijtihad independent dengan arahan dari al qur’an dan as sunah. 2. Asas Menarik kemudahan dan Menghilangakan kesukaran ( Jalb at taisir wa raf al haraj) Bagi manusia, melakukan satu hal yang lebih mudah dan mengenyampingkan hal-hal yang sifatnya menyusahkan adalah tujuan dari syari’ah (maqosid asy syari’ah) dan prinsip ini merupakan karakteristik dari agama Islam itu sendiri. Pernyataan yang didasarkan pada sejumlah ayat al quran dan hadist, keduanya saling melengkapi satu sama lain dan seringkali merupakan satu kesatuan. Mekipun keduanya berbeda dari hal-hal tertentu. Keduanya juga dapat disebut sebagai maqosid asy syari’ah daripada satu aturan praktis hukum tertentu. Hal ini disebabkan, karena keduanya secara inheren bersifat dinamis dan komprehensif. Oleh karenanya, dua prinsip ini relevan dengan kondisi masyarakat sekarang, sebagaimana relevan pada awala pertumbuhan Islam. Para sarjana Islam, umumnya mengkarakkterkan syari’ah sebagai sistem hukum praktis dan fleksibel. Dengan juga dengan alqur’an menyatakan bahwa Allah tidak membuat kesulitan dalam bidang agama. Sahabat termasyhur, Ibnu Abbas , memandangnya sebagai manifestasi yang kongkrit. Dari situ menjadi bukti dan fakta bahwa Islam membenarkan “kafarah” dan Allah membuka pintu taubat. Ibnu Abbas, berkaitan dengan prinsip-prinsip “raf al haraj” mendefinisikan haraj dengan sesuatu yang sulit dimana tidak ada jalan (al haraj ma la nuhraja lahu). Para sarjana telah memilih tiga bidang, dimana ‘taysir’ dapat dimanfistasikan dalam syari’ah. Pertama, bahwa hukum Islam adalah mudah untuk diikuti dan dimengerti, sebab hukum Islam berisi aturan praktis terkait dengan prilaku individu-individu. Kedua, Al qur’an menyatakan secara eksplisit “Allah tidak memberatkan seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya” Al Baqoroh (2); 206,. Ketiga, syari’ah memerintahkan kepada individu, hakim dan pada legislator untuk member pemecahan hukum yang mudah. Di samping itu al qur’an juga menyatakan menghilangkan kesulitan adalah khendak Tuhan, di dalam maupun diluar permasalahan agama, Al Maidah (5); 6. Berkaitan dengan ini, al jashas menyatakan bahwa fuqaha, hakim dan mufti tidak diperkenankan untuk mmberi keputusan yang menyebabkan kesukaran ketika ada alternatif lain, yang lebih mudah, karena Tuhan tidak membuat agama seseorang itu susah. Dengan demikian hakim dan mufti, seharusnya juga menghindari pilihan sulit dalam masalah-masalah yang terbuka akan perbedaan pendapat dan interpretasi. Berfikir tentang kondisi masyarakat modern, pasang surutnya hal-hal kehidupan keduniaan, ketidakpastian, dan kelemahan praktek keagamaan, sebagaimana peningkatan godaan untuk berbuat dosa. Hal ini dapat diargumentasikan bahwa saat manusia sangat memerlukan kemudahan dan penerapan yang lebih liberal terhadap prinsip-prinsip agama seperti ibadah. Namun demikian, kita butuh penggunaan yang efektif terhadap kebolehan yang ditawarkan syari’ah, guna untuk mencegah kesukaran dalam petunjuk perintahnya. Sama juga dalam prinsip ibadah yang organisir dalam ketidak ushul fiqh; adz dzarurah tubih al mahdzurah; al masyaqah tajlib al maysir, idza dzaqa al amru ittasa. Kaidah-kaidah ini menyerukan meringankan kesukaran dan mendorong pragmatisme dalam penerapan syari’ah. Para fuqaha’ menanamkan dalam benaknya dan mencoba untuk memilih posisi yang lebih mudah pada masalah-masalah furu’iyah dan pada saat kedudukan yang sama berkedudukan pada prinsip dasarnya. Jika seseorang berharap pada prinsip standar yang tinggi, ketika ada fatwa yang terkait dengan masyarakat banyak maka motto yang seharusnya dipakai adalah ‘fleksibility and casy’ , bukan kejumudan dan kesukaran , ‘rigidity and scripture’. Hal ini harus bermanfaat bagi manusia dan menunjukkan Islam sebagai agama yang praktis dari pada sistim yang kaku dan sebuah alasan untuk takut semata, sebagaimana firman Allah dalam al qur’an dalam surat An Nisa’ (4): 28; Al Baqoroh (2): 185, dan surat Al Lail (92): 5-7, Al Baqoroh (2): 280. “Taysir” juga di manifestasikan dalam satu ayat Al qur’an yang adapat menghalangi manusia dari kepuasan dalam hal banyaknya pertanyaan, Al Maidah (5): 104. Dalam ayat al qur’an juga tidak membahas satu masalah yang mengindikasikan bahwa Tuhan bermaksud membuat kewajiban yang menyusahkan. Lebih jauh, diantara misi utusannya nabi, sebagaimana dikemukakan al qur’an membuang dari mereka beban-beban dan belenggu yang ada pada mereka, Al A’raf (7): 157. Ayat lainya memerintahkan kebaikan dan melarang berbuat dosa dan melarang mengkonsumsi makanan yang tidak suci. Riwayat yang melaporkan bahwa nabi mengutus dua orang yaitu Abu Musa Al Asy’ary dan Mua’adz bin Jabal sebagai hakim di Yaman. Pada mujtahid masa lampau, telah mengikuti petunjuk-petunjuk ini dalam ijtihad dan fatwanya, dalam hukum transaksi pada khususnya, mengarah pada kebolehan dan kemudahan. Akan tetapi hal ini tidak akan ditemukan dalam karya-karya moqallidun. Shofan ibnu Said At Tsauri, ahli fiqih dan ulama’ terkenal dizamanya, telah mengkarakteristikkan pran fiqih dalam hal perkembangan syari’ah menyatakan bahwa vpada esensinya, fikih (bukan islam) berisi dan dibuat dari konsesi bersama dan dapat dipercaya, mengenyampingkan kelakuan, dan mengharuskan semua orang dapat melakukannya dengan baik. Oleh karenya, bahwa melarang apa yang Tuhan bolehkan adalah tidak beralasan dan dosa, daripada menghalalkan apa yang dilarang. Tujuan utama al qur’an dan Al Sunah secara jelas adalah untuk mempersempit dan meminimalisr cakupan larangan dan dalam hal ini mencoba untuk meringankan beban manusia. 3. Asas kebebasan berkontrak (Mabda’ Khuriyyah at ta’aqud) Para ahli hukum Islam berselisih pendapat tentang kebebasan berkontrak, apakah hukum islam membolehkan, melarang atau bahkan berada pada posisi diantara keduanya. Mayoritas pendapat bahwa seseorang bebas membuat kesepakatan diantara mereka, tetapi akibatnya hukum kontraknya, sperti pemindahan kepemilikan dalam kasus jual beli, kebolehan sex dalam dalam hal nikah, di tentukan oleh syariah. Konsekuensinya tidak memerlukan kesimpulan dan kontrak tersebut, tidak juga dari pihak yang bertransaksi, tampa keputusan afirmatif dari Tuhan, cukup untuk menentukan akibat hukum dan kontrak itu. Hukun islam, membenarkan perjanjian sebagai sebab ‘cause’ yang membentuk ‘musabab’ atau hukun ‘legal effect’ yang berisi hak dan kewajiban. Akan tetapi hokum yang sebenarnya antara sebab dan akibat ditentukan oleh Allah. Menurut Ibnu Taymiyyah, kita boleh membuat perjanjian yang memiliki hokum berdasarkan pada kehendak kita, akan tetapi Tuhan memiliki sejumlah aturan didalamnya. Sekalipun demikian, syari’ah memberi kebebasan membuat kontrak untuk menentukan bentuk-bentuk kesepakatan mereka dan memasukkan klausul-klausul dalam kontrak guna memenuhi kebutuhan. Penentuan macam-macam ini adalah sah selama tidak bertentangan dengan isi tujuan kontrak tersebut. Para ulama’ madzhab berbeda pendapat, berkenaan dengan klausul–klausul itu, madzhab Hambali memberi kebebasn yang luas dalam memberikan klausul-klausul dalam kontrak. Madzhab yang paling ekstrim adalah madzhab Dhohiri yang berpendapat bahwa setiap kontrak adalah haram, kecuali syariah telah menyatakannya. Dasar asumsi yang dipergunakan adalah bahwa kontrak telah diatur dalam Al Qur’an dan As Sunah dan tidak ditemukan oleh manusia. Oleh karenaya, kontrak maupun klausul yang tidak dijelaskan dalam al qur’an adalah hukumnya haram. Manusia harus mengikuti bentuk-bentuk kontrak yang telah ditetapkan syri’ah dan menghindari inovasi dan membentuk kontrak-kontrak yang baru. Menurut Salam Madkur, Ulama’ Dhahiri terlalu kaku dalam pemikiran hukum. Dalam beberapa pendapat dalam aktifitas bisnis manusia seharusnya masih sama, sebagaimana pada masa awal Islam. Oleh karenanya, menolak secara total perubahan waktu dan lingkungan. Hal ini jiga berimplikasi pada hal kehidupan transaksi komersial modern. Hal inididasarkan pada surat Al Jasiyyah (45): 27, dari ayat tersebut menjelaskan bahwa hanya dengan ijin Allah manusia melakukan transaksi dan kontarak diantara mereka. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Imam Ahamad bin Hambal yang mengatakan bahwa norma-norma terkait dengan kontak serta syarat-syaratnya adalah boleh. Manusia memiliki kebebasan untuk membuat kontrak atau melakukan perdagangan yang diinginkan, apakah sesuai dengan preseden al qur’an atau tidak, serta bebas melakukan klausul-klausul, asal tidak bertentangan dengan larangan yang jelas dari syari’ah. ibnu Taymiyyah menunjuk berdasarkan pada surat Al Maidah (6): 1; Hai orang-orang yang beriman penuhilah janji-janji itu, Dari kedua surat di atas, menunjukkan adanya kebebasan pada manusia, untuk memasukkan syarat klausul terhadap kontrak ketika hal ini membawa kemaslahatan dan tidak dibenarkan apa yang Allah larang, segala sesuatu yang bermanfaat tidak bertentangan dengan syariah adalah boleh dan tidak ada seorangpun dapat mengeluarkannya dari hukum. Madzhab Hanafi tidak menganut pandangan Hambali tapi ia lebih dekat padanya, Maliki telah mengembangkan melalui konsep maslahah mursalah. Ulama’ Hanafi membagi kontrak menjadi tiga, yaitu shahih, fasid dan bathil. Shahih adalah seseorang yang mengulangi dan membenarkan substansi kontrak dan tidak ingin menambah persyaratannya. Kontrak jual beli misalnya, penjual mensyaratkan bahwa ia akan memegang obyeknya hingga ia menerima pembayaran darinya, atau ketika pembeli dalam jual beli tangguh mensyratkan perlengkapan dan penggung, persyaratan ini sesuai dengan persyratan kontrak (muqtadhal al hal). Ulama’ Hanafi pada umumnya, membolehkan persyaratan-persyartan seperti ini, sebab mereka tak ingin subtansi kontrak. Dengan kata lain, persyratan-persayratan yang tidak sesuai dengan syarat dalam kontrak ketentuan dan ketentuan Allah akan dibenarkan oleh putusan tertentu, dimana kasus ini tidak mengandung keraguan. 4. Asas Penalaran Hukum (Ta’lil) Posisi muamalah dan syari’ah (hukum islam), khususnya terkait dngan riba, penipuan, ghoror, diprediksikan terjadi konflik, eksploytasi dan ktidak adilan diantara manusia hal ini akan ditentukan dalam maslah ibadah, tetap hanya ada dalam kasus muamalah, Ini adalah hal penting dari syari’ah yang terkadang ditolak oleh mereka yang menganggap bahwa akal tidak memiliki integritas dalam penalaran syari’ah. Permaslahan dalam bidang ekonomi islam, perbankan, keuangan muncul dari ketidakmampuan memahamiperan akal dalam syari’ah, ketika illah ‘effective cause’s kasus muamalah, berkaitan dengan pelarangan sepatutnya diangkat, dipertimbangkan, sebab member indikasi keberlangsungan dan keabsahan dalam masalah transaksi yang berarti bahwa pelarangan dari masing-masing kasus bnar atau salah, seuai dengan illah-nya. Asy Syatibi, dalam penjelasannya tentang ibadah dan muamalah, dimana ia menyatakan bahwa dasar norma ibadah adalah ketundukan dan kepatuhan kepada Allah tampa perlu uraian panjang lebar illah, tetapi dalam masalah muamalah umumnya didasarkan pada akal, kemaslahatan, dan illah, dengan kata lain hukum dalam bidang ini adalah terbuka analisa rasio dan keterbukaan evaluasi. Hal ini setelah para tabi’in yang memperoleh kontrol harga (ta’sir), meskipun kenyataannya nabi menolak untuk melakukan selama hidupnya. Mereka melakukan ta’sir dengan pertimbangan illah dan penalaran dibalik aturan umum dan kesimpulan terhadap lingkungan yang telah menjadi perubahan, yang mana maslahah masyarakat dapat membawa mereka dalam kondisi baik, dengan adanya ta’sir. Kita juga mencatat bahwa fuqohah pada umumnya memperoleh transaksi yang mengandung unsur gharar yang ditoleransi, sebab tidak menyebabkan konflik. Contoh, manufaktur kontrak istisna’ yang dibenarkan, meskipun kenyataannya hal ini mengandung obyek yang tidak ada dalam jual beli (bai al akdum). istisna’ dibenarkan sebab, memenuhi kebutuhan manusia dan pada umumnya dipraktekkan tampa membawa konflik yang rumit. 5. Asas Keberlakuan Masyarakat (‘Urf) Adat dipahami sebagai satu sumber pada hamper semua system hokum, termasuk syari’ah. Perubahan dalam masyarakat seringkali terreflksikan dalam adat istiadat, yang mana dalam banyak hal sebagai sandaran pembentukan aturan masyarakat terhadap kondisi yang baru. Adat istiadat juga sebagai indikator, dalam kebutuhan masyarakat akan penerimaan maupun penolakan terhadap perubahan. Hal ini secara inheren bersifat dinamis dan terbuka dan selalu mudah dipengaruhi oleh lingkungan. Peranan adat itu telah memainkan peran yang signifikan dalam perkembangan syari’ah yang telah dimanefestasikan dalam pemahaman bersar ijma’ (konsensus bersama), maslahah (poblik good), fatwa (jurictic openion) dan seringkali menghasilkan dalam kebiasaan dan pengalaman hidup dalam satu komonitas. Adat digunakan sebagai portolongan dalam interprestasi teks alqur’an dan al hadist. Konsep ‘am dan mutlaq dalam teks, dapat dispesifikasikan dan kualiufikasikan dalam penjelasan adat. Suatu yang berkaitan dengan nafkah; hendaklah seorang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Syari’ah menentukan basarnya porsi sesuai dengan adat kebiasaan sosial dan apa yang dipertimbangkan masyarakat yang sesuai dan fair. Al qur’an menyatakan; menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mngharamkan bagi mereka segala yang buruk. Makna yang tepat dari kualifikasi-kualifikasi ini, dari masing-masing kasus adalah ketentuan umum syari’ah dan adat istiadat masyarakat setempat. Adat dibangun dan diterapakan secara authoritatif dalam kaidah ushul fiqih, ‘legal maxim of fiqh’; sesuatu yang diterapkan oleh adat, hukumnya sama seperti hal itu ditetapkan oleh teks, apa yang ditetapkan oleh adat adalah sesuatu yang ditetapkan oleh teks, adat istiadat dapat dijadikan hukum, perilaku orang adalah satu kebutuhan dan ia harus diamalkan. Esensi dari semua adat, ayat dan kaidah diatas adalah seperti perkataan Abdullah Ibnu Abbas, seringkali dianggap sebagai hadist, apa yang dianggap oleh umat islam baik maka baik juga dihadapan Allah. Dari sisni ada pemahaman bahwa tidak ada salah paham tentang adat sebagai bukti maupun sumber hukum dalam penerapan hukum, khususnya dalam hukum transaksi dan perdagangan, dapat dianggap sah adat harus memenuhi beberapa kreteria yang berlaku dalam masyarakat dan tidak melanggar tegas perintah syariah atau ketetapan yang jelas dalam kontrak kesepakatan. Ketika urf telah memenuhi persyaratan maka authoritative. Menurut ulama’ fiqih, khususnya Abu Hanifah, Maliki, dan Syafi’i mereka tidak hanya bertumpu pada adat, akan tetapi juga merubah fatwa dan ijtihad pada perubahan adat yang popular. Hal khusus dalam karya Syafi’i, yang mengubah madzhabnya setelah meninggalkan ira dan menetap di Mesir. Konsekuensinya ialah merubah dan memperbarui keputusan terdahulu, berdasarkan pada kebiasaan orang mesir. Hukum Islam, fatwa dan ijtihad yang dihasilkan dari adat, urf hukumnya dapat berubah, ketika dasar pijakannya yang digunakan berubah. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum, perubahan bukan dipngaruhi oleh zaman dan waktu. III. Penutup Para sarjana Islam, sejak berabad yang lalu, telah memahami bahwa syari’ah secara inheren, rasional sejak ia berdiri, baik dalam dataran prinsip, dalam merealisasikan kemaslahatan, hal ini tergambar dari bukti affirmatif, bahwa Al Qur’an mengandung kerasionalan dan keterbukaan dalam penyelidikan . Al Qur’an dalam beberapa kesempatan, membahas tentang sebab-sebab, tujuan dan kemaslahatan hukumnya, dan berbicara tentang kebenaran bagi orang-orang yang berfikir terhadap dunia dan sekitarnya serta memiliki pengetahuan, tentang mereka yang menolak dan dilimpahi rasa taklid dan mereka berusaha keras menggunakan akal untuk memahami hukum Tuhan. Oleh karenanya, al quran secara jelas memberi kejelasan yang luas, pendekatan rasional dan komprehensif dalam memahami hukum-hukumnya, yang berlawanan dengan kaum literalis dan pendekatan mekanik, seperti madzhab Dhahiri yang secara keras menolak penerimaannya. Menurut As Syatibi, aturan-aturan syari’ah berkaitan dengan hukum transaksidan adat kebiasaan (muamalah wa adat) secara penuh mengikuti kemaslahatan masyarakat. Dengan dfemikian, sayri’ah melarang sesuatu, sebab hal itu tidaki mengandung unsur kemaslahatan, sebab syari’ah mengizinkan sesuatu yang sama, ketika hal itu membawa kemashlahatan. Satu contoh, kurma basah tidak dapat ditukar dengan kurma kering, karena hal itu mengandung unsur riba dan gharar. Tetapi Nabi mengijinkan transaksi ini dalam hal jual beli ‘araya’ , disebabkan kebutuhan masyarakat dan kemaslahatan. Penalaran al quran (ta’lil) berakait dengan hukum-hukum syari’ah selain ibadah merealisasikan kemaslahatan tertentu. Dari sini kita belajar sebagai dinyatakan amir Badsbas, ketika suatu aturan tidak mengena tujuan penetapanya dan tidak mengandung kemaslahatan, maka harus dirubah dan diganti dengan alternatif lain yang sesuai. Hal ini bukan berarti melalaikan tujuan Tuhan dan hukum-Nya, tetapi untuk membentuki hukum islam yang meakomodir realitas masyarakat, dalam satu waktu, kerena ia adalah prinsip ijtihad. Oleh karena itu, hal ini adalah tugas bersama (Fard Al KIfayah). Dari semua klarifikasi-klarifikasi diatas adalah member kontribusi dalam perubahan dan perkembangan hukum Islam menjaga syari’ah agar tetap relevan dan selalu hidup dalam hukum masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Al Amidi, Al Ihkam fi Ushul al Ahkam, Beirut: Maktabah Islam, 1982 Al Jashas, Ahkam Al Qur’an , Beirut, Dar Ihya’ at Turats al Arabiy, 1985 Asy Syatibi, Al I’Tisam, II, Al Amidi Al Ihkam Asy Syaukani, Irsyad Al Fuhul, min Thahqiq Il ail Ushul, Kairo, Dar Al Fikr, t.t. At Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, Makkah, Maktabah at Tijari Mushthafa Ahmad al Baz, t.t Ibnu Qayyim Al jauziyyah, I’lam Al Muwaqi’in, Kairo, Maktabah Al Kulliyah Al Azhariyyah 1968. Ibnu Taymiyyah, Majmuah Fatawa Syaikh Islam Ibnu Taymiyyah, Beirut, Muassasah Risalah 1389. Ibnu Taymiyyah Ndzariyyah Al Aqd, Beirut Dar al Ma’rifah, 1317. M abu Zahrah, Ushul Fiqh, Kairo, Dar Al Fikr, 1958. Majalah al Ahkam al adliyyah, Lahore Law Publising, 1967. M Hasim Kamali, Principle of Islamic Juresprodence, Canbridge, tex society, 1991. Mushthafa Salabi, Al Fiqh al islam bain al mathaliyyah wa al waqiyyah, Kiaro, Dar Fikr Al Jam’iyah. 1982. Yusuf Qardawy, Bai’ Al Murabahah.