Selasa, 24 April 2012

MASA BERLAKUNYA ATURAN –ATURAN (KETENTUAN ) HUKUM PIDANA ISLAM


       I.            Pendahuluan
Pada saat banyak kalangan para ahli membicarakan soal legalitas dalam hukum islam kita telah mengetahui bahwa prinsip tersebut diambil dari aturan pokok pada syariat Islam yaitu “ sebelum adanya nas , maka perbuatan orang-orang yang berakal tidak mempunyai hukum “ dan “ pada dasarnya semua barang dan perbuatan adalah boleh” jadi selama belum ada nas yang melarang sesuatu barang atau sesuatu perbuatan maka tidak adanya tuntutan terhadap perbuatannya.
      Pada dasarnya syariat islam bukan lah syari’at regional (kedaerahan = setempat ) melainkan syari’at Islam adalah syari’at internasional, bukan untuk sesuatu golongan atau bangsa, benua saja melainkan syari’at islam itu ditujukan kepada orang – orang muslim kepada penduduk negeri- negeri muslim atau bukan muslim, kepada penduduk negeri - negeri islam atau bukan negeri Islam
      Akan tetapi karena tidak semua orang percaya kepada syari’at Islam, sedanag syari’at islam ini tidak dipaksakan  kepada mereka maka syari’at islam hanya dapat diterapkan dinegeri negeri yang berada di tangan kaum muslimin. Dengan demikian maka berlakunya syari’at islam berhubungan erat  dengan kekuasaan dan kekuatan kaum muslimin. Semakin luas daerah yang dikuasai oleh mereka , semakin luas pula daerah berlakunya syari’at  itu, begitupun sebaliknya.
      Jadi keadaanlah yang menyebabkan Syari’at Islam bersifat regional, meskipun pada dasarnya bersifat internasional. Dengan kata lain menurut sifat dasar dan tinjauannya ilmiah, Syari’at Islam bersifat internasional tetapi menurut penerapannya dan realitasnya praktisnya bersifat regional.
    II.            Pokok bahasan
              a       Kapankah masa berlakunya aturan –aturan hukum pidana islam
             b       Batasan lingkungan berlakunya aturan – aturan hukum pidana islam dan pengucualian dari perinsip tiada berlaku  surut

 III.            Pembahasan
A.                            Masa Berlakunya Aturan- Aturan Hukum Pidana Islam
Setiap peraturan atau perundang – undangan mesti ada masa berlakunya, yakni sejak kapan hukum itu berlaku. Demikian pula halnya peraturan dalam hukum pidana islam.
Dalam hukum positif, ketentuan tentang masa berlakunya peraturan pidana ini dapat kita lihat dalam pasal 1 ayat (1) kitab Undang – Undang hukum pidana Indonesia pasal tersebut berbunyi: “tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan atas ketentuan pidana dalam perundang undangan telah ada sebelum perbuatan itu ada” [1]
Menurut pasal ini, suatu perbuatan dapat terpidana apabila sebelumnya ada ketentuannya pidana dalam undang undang. Perbuatan yang terjadi sebelum dikeluarkannya undang undang tersebut tidak dapat dituntut dan pelakunya tidak dapat dikenakan hukuma. Dengan kata lain, suatu peraturan pidana dalam hukum positif  mulai berlaku sejak dikeluarkan atau ditetapkannya dan tidak berlaku terhadap peristiwa yang terjadi sebelum peraturan itu  dikeluarkan atau ditetapkan. Dengan demikian peraturan pidana dalam hukum positif tidak berlaku surut.
Menurut hukum pidana Islam ketentuan tentang masa berlakunya peraturan pidana ini, pada perinsipnya sama dengan hukum positif. Seperti halnya hukum positif, peraturan dalam hukum pidana islam berlaku sejak ditetapkan dan tidak berlaku terhadap peristiwa yang terjadi sebelum peraturan itu diundangkan. Dengan demikian peraturan pidana dalam hukum Islam juga tidak berlaku surut.
Perinsip-perinsip “ tidak berlaku surut” kita dapati dalam syari’at apabila kita mau meneliti ayat ayat yang berisi tentang aturan-aturan pidana dan riwayat-riwayat tentang turunya. Semua ayat yang melarang perbuatan maksiat diturunkan sesudah agama islam tersiar akan tetapi tidak ada jarimah yang terjadi sebelum turunnya ayat-ayat itu di jatuhi hukuman selain jarimah Qoadzaf dan hirobah[2]
Ketentuan tidak berlaku surutnya peraturan pidana ini dalam surat An Nisa’ Ayat 22
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? $tB yxs3tR Nà2ät!$t/#uä šÆÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# žwÎ) $tB ôs% y#n=y 4 ¼çm¯RÎ) tb$Ÿ2 Zpt±Ås»sù
$\Fø)tBur uä!$yur ¸xÎ6y
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).(An Nisa’ 22)
Dalam ayat ini Allah Swt melarang untuk mengawini bekas istri ayah (Ibu tiri). Setelah turunnya ayat ini apabila terjadi perbuatan yang semacam itu maka pelaku dapat dijatuhi hukuman. Bagaimana perbuatan yang terjadi sebelum turunnya ayat ini apakah termasuk jarimah yang harus dikenakan hukuman atau tidak? Lafadz menunjukkan perbuatan mengawini bekas Ibu tiri ayah sebelum turunnya ayat ini yang memang banyak dilakukan oleh orang- orang Arab sebelum Islam. Tidak dianggap jarimah dan dengan demikian tidak dikenakan hukuman. Dengan demikian, ayat ini tidak berlaku surut. Hanya saja perlu diingat bahwa perbuatan tersebut mempunyai dua segi.
Pertama segi pidana yaitu bahwa perkawinan semacam itu merupakan jarimah terhadap tindak pidana ini, dan ayat tersebut tidak berlaku surut sebagimana telah dijelaskan diatas.
Kedua dari segi perdata yakni perkawinan tersebut merupakan salah satu akad. Sebagai akibat dari turunya ayat ini maka perkawinan yang haram itu adalah yang dilakukan dimasa yang lalu harus diputuskan.. dengan demikian dalam segi perdata ayat tersebut mempunysi kekuatan berlaku surut.[3]
B.                             Pengucualian  Dari Perinsip Tiada Berlaku  Surut
Ada beberapa pengecualian prinsip “ tidak berlakuy surut” yaitu pada jarimah-jarimah yang sangat berbahaya dan pada saat yang berbeda menguntungkan tersangka.
Jarimah sangat berbahaya adalh termasuk pengecualian dari prinsip “tidak berlaku surut” dimana ini berlaku bagi jarimah – jarimah tertentu yaitu Qadzaf dan Hirobah ( pembegalan dan ganguan keamanan) dikenakan hukuman atas peristiwa peristiwa yang telah terjadi sebelum turunya ayat yang melarangnya.
·         Qadzaf
Dalam surat An Nur allah berfirman :
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$#
 Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.(An Nur 4)
Menurut sebagian fuqoha nas tersebut turun sebelum terjadi peristiawa kedustaan (fitnah) terhadap diri a’isyah ra istri nabi Saw dimana ia dituduh telah berbuat serong . setelah fitnah itu terjadi dan ternyata tidak berbuat salah , maka para penuduh dikenakan hukuman berdasakan nas tersebut . kalau pendapat itu benar maka nas tersebut tiadak mempunyai kekuatan hukum .
Menurut fuqoha lainnya dan pendapat mereka lebih kuat, nas tersebut diturunkan sesudah peristiwa kedustaan tersebut jadi berdasarkan pendapat terakhir ini nas berlaku surut sebab suatu hal yang jelas ialah bahwa rasulullah telah menjatuhkan hukuman had atas para penuduh (pembuat pembuat jarimah qhodzaf)
·         Hirabah
Para fuqoha juga berebda pendapat tentang sebab- sebab turunya nas yang melarang dan menghukum jarimah hirabah (pembegalan / penggarongan) dalam firman Allah dalam surat al midah ayat 33
$yJ¯RÎ) (#ätÂty_ tûïÏ%©!$# tbqç/Í$ptä ©!$# ¼ã&s!qßuur tböqyèó¡tƒur Îû ÇÚöF{$# #·Š$|¡sù br& (#þqè=­Gs)ム÷rr& (#þqç6¯=|Áム÷rr& yì©Üs)è? óOÎgƒÏ÷ƒr& Nßgè=ã_ör&ur ô`ÏiB A#»n=Åz ÷rr& (#öqxÿYムšÆÏB ÇÚöF{$# 4 šÏ9ºsŒ óOßgs9 Ó÷Åz Îû $u÷R9$# ( óOßgs9ur Îû ÍotÅzFy$# ë>#xtã íOŠÏàtã 
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, (Al Midah 33)
Menurut riwayat yang kuat dan yang difahami oleh kalangan fuqoha ayat tersebut turun berdasarkan dengan peristiwa orang orang dari “Urainah” yang tidak kerasan tinggal dimadinah. Kemudian rosulullah mengirim unta – unta kepada mereka untuk minum air susu dan air kencing nya untu obat. Kemudian pergilah mereka akan tetapi setelah datang waktu pagi mereka membunuh pengembalanya dan membawa lari unta unta tersebut.maka rosulullah menyuruh mengejar mereka, dan mereka ditangkap kemudian turunlah nas tersebut dan mereka dikenakan hukuman.
Kalau kita memegangi riwayat tersebut maka kita dapat mengatakan bahwa nas tersebut diatas berisi suatu hukuman atas perbuatan yang terjadi sebelum turunnya ayat.dan oleh karena itu nas tersebut mempunyai kekuatan berlaku surut.sudah barang tentu kepentingan umumlah yang menghendaki adanya kekuatan berlaku surut. Karena perilaku orang urainah sangat keji yang kalau tidak diambil tindakan tegas terhadapnya maka penghinaan terhadap kaum muslimin dan sistem masyrakat baru berdsarkan islam akan menjadi jadi, dan kerusuhan – kerusuhan serta gangguan keamanan dan ketentraman akan menjadi semakin luas. Akan tetapi hukuman tegas sebagaiman yang dikehendaki adanya kekuatan berlaku surut sebagaimana dikehendaki oleh jarimah qhodzaf[4].
Alasan pemakaian nas lebih menguntungkan bagi pembuat bahwa tujuan menjatuhkan hukuman adalah memberantas perbutan jarimah dan melindungi masyrakat dari keburukan- keburukannya.jadi penjatuhan hukuman merupakan kebutuhan sosial yang diperlukan oleh kepentingan masyarakat dan setiap kebutuhan diukur dengan dengan kepentingan masyarakat yang dikehendaki. Pemeliharaan kepentinagan masyarakat tidak terletak pada penjatuhan hukuman yang berat , dan suatu keadilan pula yang dipertimbangkan penjatuhan hukuman yang dijatuhkan tidak melebihi dari keperluan masyarakat. Selama hukum dijatuhkan untuk melindunginya[5].
C.                             Lingkungan Berlakunya Aturan – Aturan Hukum Pidana Islam
Pada dasarnya syari’at islam bukan syari’at regional dan kedaerahan , melainkan syari’at yang bersifat universal dan internasional syari’at Islam berlaku untuk seluruh dunia dan umat manusia baik mereka muslim atau non muslim sebagaimana firman Allah dalam surat Al Ambiya’ ayat 107
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9
Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.(Al Ambiya’ 107)
Akan tetapi tidak semua orang percaya kepada syari’at islam, sedangkan syari’at ini tidak mungkin dipaksakan maka dalam realitasnya syari’at islam hanya dapat diterapkan di negri- negeri yang berada dalam kekuasaan kaum muslimin saja,
Dalam hubungan dengan lingkungan berlakunya peraturan pidana  Islam secara teoritis para fukaha yaitu Negara Islam dan Negara bukan Islam
            Yang termasuk negeri Islam adalah negera – negara dimana hukum Islam tampak didalamnya karena penguasanya adalah penguasa Islam dan penduduknya yang beragama Islam dan menjalankan hukum-hukum Islam atau negeri – negeri yang dikuasai oleh kaum muslimin meskipun kebanyakan pendudukknya tidak memeluk agama Islam.
            Penduduk negeri Islam dibagi menjadi dua:
Pertama : pemeluk – pemeluk agama islam adalah semua orang yang percaya kepada agama islam . kedua : orang kafir dzimmi yaitu mereka yang tidak memeluk agama Islam tetapi mereka tunduk terhadap kepada Hukum Islam dan menetap dinegara islam
Kedua :Penduduk bukan islam negeri – negeri yang tidak termasuk dalam kekuasaan kaum muslimin atau negeri – negeri dimana hukum islam itu tidak tampakbaik negeri itu dikuaszai oleh stu pemerintah atau bukan, baik penduduknya tetap terdiri dari kaum muslimin atau pun bukan.[6]
            Baik penduduk muslim maupun non muslim dijamin  keselamatan jiwa dan raganya (ma’shum ad dami walmaal), sebab jaminan keselamatan bisa diperoleh dengan dua jalan yaitu keimanan dan kedamaian. Artinya keimanan adalah mempercacayai Islam . sedangkan kedamaian adalah dengan mengguanakan suatu janji keselamatan yang diberikan kepada penduduk zimmi berdasarkan perjanjian tertentu[7].Mengenai pelaksanaan aturan hukum pidana Islam dalam kaitanya dengan pembagian Negara tersebut , para fuqaha berbeda pendapat dalam perinciannya walaupun pada prinsipnya ada kesepakatan diantara mereka.
            Menurut Abu Hanifah Hukum pidana Islam diterapkan atas jarimah – jarimah yang terjadi dinegeri negeri Islam.baik dilakukan penduduk muslim ataupun penduduk dzimmi. Sedangkan untuk penduduk musta’man yakni penduduk darul harb atau penduduk pendatang,yang tinggal untuk sementara waktu dinegara islam untuk keperluan tertentu. Mereka hanya dikenakan hukuman apabila melakukan jarimah yang menyinggung hak manusia (individu).sedangkan untuk jarimah-jarimah yang menyinggung hak Allah mereka tidak dikenakan hukuman. Untuk jarimah yang dilkukan diluar Negara islam, tidak diterapkan hukum pidana islam, baik tindak pidana itu dilakukan penduduk muslim atau dzimmi yang berasal dari negri Islam yang sedang berada didarul harb kemudian kembali kenegara Islam maupun oleh penduduk daru harb yang kemudian pindah ke negeri Islam.
 Alasan abu hanifah adalah penerapan syari’at Islam tidak hanya didasrkan kepada ketundukan mereka terhadap hukum islam semata – mata melainkan dikaitkan dengan kewajiban imam atau penguasa untuk menerapkanya. Di darul harb islam tidak mempunyai kekuasaan sehingga hukum pidana islam tidak dapat diberlakukan[8].
            Menurut Imam Abu Yusuf  hukum piadan islam diterapkan atas jarimah jarimah yang terjadi dinegeri islam, baik dilakukan penduduk muslim atau non muslim maupun musta’man. Alasanya adalah bahawa terhadap penduduk muslim itu berlakunya hukum pidana karena keislamannya dan terhadap penduduk dzimmi karena adanya perjanjian untuk tunduk dan patuh kepada peraturan islam. Sedangkan berlakunya hukum pidana Islam untuk Musta’man adalah karena janji keamanan yang member hak kepadanya untuk tinggal sementara di negeri Islam, dfiperoleh berdasarkan kesanggupan tersebut maka kedudukan musta’man sama dengan dzimmi.
            Jumhur ulama’ pada perinsipnya sama dengan Abu Yusuf yaitu bahwa hukum pidana islam diterapkan berdasarkan jarimah yang dilakukan dinegeri Islam baik orang muslim, zimmi ataupun musta’man. Hanya perbedaanya dalam jarimah yang dilakukan diluar Negara islam alsanya adalah bahwa jarimah yang dilakukan dinegeri islam dan didarul harb  tidak ada perbedaannya , selama islam melarang jarimah tersebut . jadi selama syari’at Islam melarang perbuatan tersebut maka dimanapun orang itu berada dia tetap terikat dengan syri’at Islam dan apabila larangan itu dilanggar maka ia harus dituntut dan dijatuhi hukuman.[9]
            Dalam hal ini di Indonesia diatur dalam KUHP pasal 2 sampai 9 . pasal 2 antara lain berbunyi: ketentuan pidana dalam perundang – undangan Republik Indonesia berlaku bagi setiap orang yang dalam daerah Republik Indonesia melakukan suatu tindak pidana .[10]
 IV.            Kesimpulan
   1.               Hukum pidana Islam ketentuan tentang masa berlakunya peraturan pidana ini, pada perinsipnya sama dengan hukum positif. Seperti halnya hukum positif, peraturan dalam hukum pidana islam berlaku sejak ditetapkan dan tidak berlaku terhadap peristiwa yang terjadi sebelum peraturan itu diundangkan. Dengan demikian peraturan pidana dalam hukum Islam juga tidak berlaku surut
   2.               Namun dalam hukum pidana islam ada pengecualian yaitu terkait dengan jarimah qodzaf dan hirabah .dalam hal ini hukuman pada tindak pidana atau delik tiada berlaku surut.karena ini merupakan tindak pidana yang sngat membahayakan bagi kelangsungan kehidupan maanusia.

    V.            Penutup
Demikianlah makalah ini kami paparkan. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Kami sadar masih bayak kekurangan dalam makalah ini saran dan kritik yang konstuktif kami harapkan guna memperbaiki makalah kami selanjutnya.

















DAFTARA PUSTAKA
Drs  A Wardi Muslich. Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Dalam Islam  Fiqih Jinayah Jakarta: Sinar Grafika 2006
Ahmad Hanafi . Asas – Asas Hukum Pidana Islam Jakarta : Bulan Bintang 1993
M Budiarto, S.H. K wantjik Saleh, S.H. Kitab Undang Hukum Pidana Ghalia Indonesia cetakan II 1982
 Prof Moeljanto, S.H. Kitab Undang Hukum Pidana Jakarta : Bumi Aksara 2009


[1]M Budiarto, S.H. K wantjik Saleh, S.H. Kitab Undang Hukum Pidana Ghalia Indonesia cetakan II 1982 h. 9
[2] Ahmad Hanafi . Asas – Asas Hukum Pidana Islam Jakarta : Bulan Bintang h 81
[3] Drs A Wardi Muslich Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Dalam Islam  Fiqih Jinayah Jakarta: Sinar Grafika 2006 h. 49
[4] Ahmad Hanafi MA. Asas- Asas Hukum Pidana Islam. Jakarata: Bulan Bintang 1993 h.85
[5] Ibid. 86
[6] Op. cit h 92
[7] Ahmad Hanafi . Asas – Asas Hukum Pidana Islam Jakarta : Bulan Bintang h 92
[8] Drs A Wardi Muslich Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Dalam Islam  Fiqih Jinayah Jakarta: Sinar Grafika 2006 h. 54
[9] Ibid h. 55
[10] Prof Moeljanto, S.H. Kitab Undang Hukum Pidana Jakarta : Bumi Aksara 2009 h. 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar