Kamis, 02 April 2015

KONTRAK DAN TARANSKASI DALAM EKONOMI ISLAM

I. Latar belakang Terdapat banyak jenis transaksi dalam kegiatan ekonomi, dimana kegiatan ekonomi tersebut setiap hari kita lakukan dalam rangka bermuamalah atau berhubungan secara sosial yang berkaitan dengan transaksi antara sesorang dengan orang lain. Tentunya ada beberapa jenis transaksi dalam Islam yang dihalalkan sehingga kita dapat mengambil manfaat dan ridho Allah dalam melakukan kegiatan ekonomi tersebut. Islam sebagai suatu ajaran tentang sistem kehidupan yang meliputi hubungan antara Pencipta (al-khaliq) dengan seluruh ciptaan-Nya (makhluk) dan antar ciptaan itu sendiri pada dasarnya dapat didekati melalui dua sumber utama, yaitu sumber wahyu (al-Qur’an dan al-Hadist) dan sumber ilmu pengetahuan. Konsep Islam bersifat proporsional dan dinamis ke suatu tatanan masyarakat yang harmonis, seimbang, adil dan sejahtera penuh limpahan rahmat sang al-khaliq. Konsep ekonomi pembangunan dalam Islam terus diperlukan pengkajian melalui kaidah-kaidah dalam ilmu ekonomi Islam dengan tetap berpedoman pada dua sumber utama wahyu. Seiring dengan dinamika era globalisasi khususnya dinamika keislaman yang kian maju semakin mengalami berbagai macam persoalan baik dari segi persaingan perbankan yang kian kemari semakin banyak dan semakin berkompetensi khususnya dalam dunia hukum maka hal ini telah mendorong terus meningkat dan semakin kompleknya tuntutan yang mesti dilakukan khususnya bagi lembaga lembaga perbankan terlebih bagi lembaga lembaga perbankan yang kurang memenuhi standar kapabelitas dan profesionalitas civitas akademik / keilmuan .Maka dari semua itu tuntutan terhadap penyiapan sumber daya manusia yang handal sungguh sangat dituntut sebagai sarana penyeimbang arus global yang semakin memanas. Dalam konteks Islam selain penguatan paradigma, prespektif, pelayanan yang handal dan kompeten sungguh sangat diperlukan sehingga seorang nasabah akan mampu memandang kedepan tentang tantangan dan tuntutan yang mesti ia persiapkan. Dalam rangka itulah makalah ‘Kontrak Dan Taranskasi Dalam Tinjauan Ekonomi Islam Islam‘’ diharapkan membantu pemahaman tentang ekonomi Islam itu sendiri dan juga diharapkan dengan makalah ini akan semakin memperkaya prespektif dan khazanah keilmuan tentang dunia perekonomian juga realitas kehidupan secara luas. II. Pembahasaan 1. Asas transaksi Ekonomi dalam Islam Ekonomi adalah sesuatu yang berkaitan dengan cita-cita dan usaha manusia untuk meraih kemakmuran, yaitu untuk mendapatkan kepuasan dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Transaksi ekonomi maksudnya perjanjian atau akad dalam bidang ekonomi, misalnya dalam jual beli, sewa-menyewa, kerjasama di bidang pertanian dan perdagangan. Akan tetapi Tuhan tidak pernah melarang transaksi, dimana hal ini membawa kemaslahatan diantara mereka. Mdzhab Hambali mengambil dan menerapkan prinsip ini secara luas, dibandingkan dengan madzhab-madzhab lain. Prinsip ini, umumnya diterapkan pada transaksi komersial oleh semua madzahab . Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan kaidah ushul fiqh al ashl fi al aqd al ibahah kaidah ini merupakan penyimpulkan Al Qur’an Surat al Jatsiyyah (45): 13, al Baqoroh (2): 29, al An’am (6): 119, at Taubah (9): 115. Rumusan di atas didasarkan pada pernyataan bahwa Allah menciptakan dunia dan akherat untuk kemaslahatan manusia, oleh karenanya sah hukumnya bai manusia untuk manfaatkannya. Hak untuk menggunakan, termasuk untuk transaksi yang dibutuhkannya adalah penting untuk menggunkan sumber daya alam yang ini adalah boleh. Untuk menunjukkan nilai pentingnya, lebih jauh al qur’an menempatkan satu prinsip bahwa tuhan secara jelas menjelaskan larangan, oleh karenanya asumsi tidak cukup untuk menyatakan bahwa sesuatu itu haram. Dengan kata lain, bentuk larangan memerlukan penjelasan dan spesifikasi. Dengan demikian segala sesuatu itu boleh, yang diasumsikan dari tidak adanya teks yang melarang pada suatu masalah muamalah, dengan satu pengecualian pada masalah pernikahan. Al qur’an juga menunjukkan bahwa semua petunjuk bagi manusia memiliki satu ketentuan secara umum, yang mana telah memberi penjelasan yang rinci terkait dengan larangan. Pernyataan al qur’an diatas telah dielaborasi oleh as sunah, yang mana dalam beberapa kesempatan menunjukkan pada manusia bahwa tuhan itu menentukan halal dan haram, namun ia juga tidak menunjukkan satu hukum tertentu, ketika kasus tidak ada penjelasannya, berarti ini satu tanda kebolehan, hal ini didasarka pada hadist. Salah satu contoh, Islam tidak mengatur satu bentuk pemerintahan tertentu yang mana Islam memberikan kebebasan pada individu. Sama halnya kita tidak berharap al qur’an dan al sunah mengatur dalam hal kebolehan. Hal ini dapat merujuk pada surat An Nisa’ (4); 23-24, tentang rincian orang-orang yang haram untuk di nikah. Al qur’an telah memberikan satu daftar yang jelas berkenaan dengan larangan yang harus diperhatikan dalam pernikahan, akan tetapi al qur’an hanya memberikan kopnsep umum saja, dengan siapa seseorang akan menikah. Pada persoalan lain, berkenaan dengan hal halal haram makanan, yaitu bangkai, darah, dan binatang yang ketika disembelih tidak menyebut nama Allah, sebagaimana firman Allah dalam surat Al Maidah (6): 144-145; menyatakan tidak ada sesuatu yang haram untuk dikonsumsi, kecuali telah disebutkan dalam al qur’an. Al qur’an tidak menjelaskan secara rinci terhadap kebolehan sesuatu, namun hadist menjelaskan secara detail terhadap al qur’an dan mendukung lebih jauh terhadap apa yang dinyatakan al qur’an, contoh berkaitan dengan makanan, hewan laut, yang mati halal hukumnya, dan menjelaskan dua gumpal darah, yaitu hati dan limpa kecil halal untuk dikonsumsi. Dengan demikian, sunah memiliki pendekatan yang sama dengan al qur’an yang memngandung pelarangan, atau tambahan atau pengecualian, dan mengandung kasuistis ketimbang aturan umum. Akan tetapi, baik alqur’an maupun as sunah tidak memberi penjelasan yang detail terhadap apa yang boleh. Oleh karenanya, kebolehan dan kebebasan menjadi dasar asumsi yang mengatasi ketidakadaan pelarangan yang jelas. Ada ayat al qur’an yang menyatakan tentang keluesan cakupan kebolehan dan terbuka akan aplikasinya, sebagai contoh dalam surat al maidah (5): 87. Dengan demikian al qur’an dan as sunah member petunjuk yang jelas terhadap keabsahan normatif terhadap konsep ibadah, yang berarti bahwa, segala usaha untuk menyatakan bahwa sesuatu itu dilarang, hanya pernyataan spekulatif atau tidak menyebabkan kemandekan dan memberatkan manusia, mematikan spirit kebebasan, dan toleransi, yang mana al qur’an dan as sunah secara konsisten terbuka atasnya. Para ahli hukum islam telah mengambil suatu kesimpulan berikut yang didasari dari al qur’an dan as sunah terhadap konsep ibadah, diantaranya sebagai berikut: 1. Untuk menyatakan transaksi itu sah, tidak perlu mencari satu bukti al ternatif al qur’an maupun sunah. Namun demikian, seseorang perlu mengintrogasi apakah jelas penjelasn mengenai pelarangannya dan jika tidak ditemukan, maka transaksi itu dianggap sah. Oleh karena tidak benar menyatakan keharaman terhadap sesuatu, ini merupakan hak prerogative Tuhan dan hak Tuhan menyerukan penjelasn yang tajam dalam al qur’an. 2. Bentuk-bentuk transaksi yang dijelaskan dalam alqur’an dan as sunah secara eksplisit tentang keabsahannya tidak luas (exhaustif) dan tidak mencakup transaksi baru yang mana hukum islam tidak membahasnya. 3. Berkaitan dengan transaksi baru, tidak perlu seseorang untuk mencari bukti yang mendukun dalam pandangan dan preseden ulama’ masa lalu. Untuk hal ini, pada esensinya tidak benar untuk melanjutkan pandangan tentang bentuk pandangan yang ada pada abad pertengahan. Pendekatan yang benar adalah mendesak untuk berusaha melakukan ijtihad independent dengan arahan dari al qur’an dan as sunah. 2. Asas Menarik kemudahan dan Menghilangakan kesukaran ( Jalb at taisir wa raf al haraj) Bagi manusia, melakukan satu hal yang lebih mudah dan mengenyampingkan hal-hal yang sifatnya menyusahkan adalah tujuan dari syari’ah (maqosid asy syari’ah) dan prinsip ini merupakan karakteristik dari agama Islam itu sendiri. Pernyataan yang didasarkan pada sejumlah ayat al quran dan hadist, keduanya saling melengkapi satu sama lain dan seringkali merupakan satu kesatuan. Mekipun keduanya berbeda dari hal-hal tertentu. Keduanya juga dapat disebut sebagai maqosid asy syari’ah daripada satu aturan praktis hukum tertentu. Hal ini disebabkan, karena keduanya secara inheren bersifat dinamis dan komprehensif. Oleh karenanya, dua prinsip ini relevan dengan kondisi masyarakat sekarang, sebagaimana relevan pada awala pertumbuhan Islam. Para sarjana Islam, umumnya mengkarakkterkan syari’ah sebagai sistem hukum praktis dan fleksibel. Dengan juga dengan alqur’an menyatakan bahwa Allah tidak membuat kesulitan dalam bidang agama. Sahabat termasyhur, Ibnu Abbas , memandangnya sebagai manifestasi yang kongkrit. Dari situ menjadi bukti dan fakta bahwa Islam membenarkan “kafarah” dan Allah membuka pintu taubat. Ibnu Abbas, berkaitan dengan prinsip-prinsip “raf al haraj” mendefinisikan haraj dengan sesuatu yang sulit dimana tidak ada jalan (al haraj ma la nuhraja lahu). Para sarjana telah memilih tiga bidang, dimana ‘taysir’ dapat dimanfistasikan dalam syari’ah. Pertama, bahwa hukum Islam adalah mudah untuk diikuti dan dimengerti, sebab hukum Islam berisi aturan praktis terkait dengan prilaku individu-individu. Kedua, Al qur’an menyatakan secara eksplisit “Allah tidak memberatkan seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya” Al Baqoroh (2); 206,. Ketiga, syari’ah memerintahkan kepada individu, hakim dan pada legislator untuk member pemecahan hukum yang mudah. Di samping itu al qur’an juga menyatakan menghilangkan kesulitan adalah khendak Tuhan, di dalam maupun diluar permasalahan agama, Al Maidah (5); 6. Berkaitan dengan ini, al jashas menyatakan bahwa fuqaha, hakim dan mufti tidak diperkenankan untuk mmberi keputusan yang menyebabkan kesukaran ketika ada alternatif lain, yang lebih mudah, karena Tuhan tidak membuat agama seseorang itu susah. Dengan demikian hakim dan mufti, seharusnya juga menghindari pilihan sulit dalam masalah-masalah yang terbuka akan perbedaan pendapat dan interpretasi. Berfikir tentang kondisi masyarakat modern, pasang surutnya hal-hal kehidupan keduniaan, ketidakpastian, dan kelemahan praktek keagamaan, sebagaimana peningkatan godaan untuk berbuat dosa. Hal ini dapat diargumentasikan bahwa saat manusia sangat memerlukan kemudahan dan penerapan yang lebih liberal terhadap prinsip-prinsip agama seperti ibadah. Namun demikian, kita butuh penggunaan yang efektif terhadap kebolehan yang ditawarkan syari’ah, guna untuk mencegah kesukaran dalam petunjuk perintahnya. Sama juga dalam prinsip ibadah yang organisir dalam ketidak ushul fiqh; adz dzarurah tubih al mahdzurah; al masyaqah tajlib al maysir, idza dzaqa al amru ittasa. Kaidah-kaidah ini menyerukan meringankan kesukaran dan mendorong pragmatisme dalam penerapan syari’ah. Para fuqaha’ menanamkan dalam benaknya dan mencoba untuk memilih posisi yang lebih mudah pada masalah-masalah furu’iyah dan pada saat kedudukan yang sama berkedudukan pada prinsip dasarnya. Jika seseorang berharap pada prinsip standar yang tinggi, ketika ada fatwa yang terkait dengan masyarakat banyak maka motto yang seharusnya dipakai adalah ‘fleksibility and casy’ , bukan kejumudan dan kesukaran , ‘rigidity and scripture’. Hal ini harus bermanfaat bagi manusia dan menunjukkan Islam sebagai agama yang praktis dari pada sistim yang kaku dan sebuah alasan untuk takut semata, sebagaimana firman Allah dalam al qur’an dalam surat An Nisa’ (4): 28; Al Baqoroh (2): 185, dan surat Al Lail (92): 5-7, Al Baqoroh (2): 280. “Taysir” juga di manifestasikan dalam satu ayat Al qur’an yang adapat menghalangi manusia dari kepuasan dalam hal banyaknya pertanyaan, Al Maidah (5): 104. Dalam ayat al qur’an juga tidak membahas satu masalah yang mengindikasikan bahwa Tuhan bermaksud membuat kewajiban yang menyusahkan. Lebih jauh, diantara misi utusannya nabi, sebagaimana dikemukakan al qur’an membuang dari mereka beban-beban dan belenggu yang ada pada mereka, Al A’raf (7): 157. Ayat lainya memerintahkan kebaikan dan melarang berbuat dosa dan melarang mengkonsumsi makanan yang tidak suci. Riwayat yang melaporkan bahwa nabi mengutus dua orang yaitu Abu Musa Al Asy’ary dan Mua’adz bin Jabal sebagai hakim di Yaman. Pada mujtahid masa lampau, telah mengikuti petunjuk-petunjuk ini dalam ijtihad dan fatwanya, dalam hukum transaksi pada khususnya, mengarah pada kebolehan dan kemudahan. Akan tetapi hal ini tidak akan ditemukan dalam karya-karya moqallidun. Shofan ibnu Said At Tsauri, ahli fiqih dan ulama’ terkenal dizamanya, telah mengkarakteristikkan pran fiqih dalam hal perkembangan syari’ah menyatakan bahwa vpada esensinya, fikih (bukan islam) berisi dan dibuat dari konsesi bersama dan dapat dipercaya, mengenyampingkan kelakuan, dan mengharuskan semua orang dapat melakukannya dengan baik. Oleh karenya, bahwa melarang apa yang Tuhan bolehkan adalah tidak beralasan dan dosa, daripada menghalalkan apa yang dilarang. Tujuan utama al qur’an dan Al Sunah secara jelas adalah untuk mempersempit dan meminimalisr cakupan larangan dan dalam hal ini mencoba untuk meringankan beban manusia. 3. Asas kebebasan berkontrak (Mabda’ Khuriyyah at ta’aqud) Para ahli hukum Islam berselisih pendapat tentang kebebasan berkontrak, apakah hukum islam membolehkan, melarang atau bahkan berada pada posisi diantara keduanya. Mayoritas pendapat bahwa seseorang bebas membuat kesepakatan diantara mereka, tetapi akibatnya hukum kontraknya, sperti pemindahan kepemilikan dalam kasus jual beli, kebolehan sex dalam dalam hal nikah, di tentukan oleh syariah. Konsekuensinya tidak memerlukan kesimpulan dan kontrak tersebut, tidak juga dari pihak yang bertransaksi, tampa keputusan afirmatif dari Tuhan, cukup untuk menentukan akibat hukum dan kontrak itu. Hukun islam, membenarkan perjanjian sebagai sebab ‘cause’ yang membentuk ‘musabab’ atau hukun ‘legal effect’ yang berisi hak dan kewajiban. Akan tetapi hokum yang sebenarnya antara sebab dan akibat ditentukan oleh Allah. Menurut Ibnu Taymiyyah, kita boleh membuat perjanjian yang memiliki hokum berdasarkan pada kehendak kita, akan tetapi Tuhan memiliki sejumlah aturan didalamnya. Sekalipun demikian, syari’ah memberi kebebasan membuat kontrak untuk menentukan bentuk-bentuk kesepakatan mereka dan memasukkan klausul-klausul dalam kontrak guna memenuhi kebutuhan. Penentuan macam-macam ini adalah sah selama tidak bertentangan dengan isi tujuan kontrak tersebut. Para ulama’ madzhab berbeda pendapat, berkenaan dengan klausul–klausul itu, madzhab Hambali memberi kebebasn yang luas dalam memberikan klausul-klausul dalam kontrak. Madzhab yang paling ekstrim adalah madzhab Dhohiri yang berpendapat bahwa setiap kontrak adalah haram, kecuali syariah telah menyatakannya. Dasar asumsi yang dipergunakan adalah bahwa kontrak telah diatur dalam Al Qur’an dan As Sunah dan tidak ditemukan oleh manusia. Oleh karenaya, kontrak maupun klausul yang tidak dijelaskan dalam al qur’an adalah hukumnya haram. Manusia harus mengikuti bentuk-bentuk kontrak yang telah ditetapkan syri’ah dan menghindari inovasi dan membentuk kontrak-kontrak yang baru. Menurut Salam Madkur, Ulama’ Dhahiri terlalu kaku dalam pemikiran hukum. Dalam beberapa pendapat dalam aktifitas bisnis manusia seharusnya masih sama, sebagaimana pada masa awal Islam. Oleh karenanya, menolak secara total perubahan waktu dan lingkungan. Hal ini jiga berimplikasi pada hal kehidupan transaksi komersial modern. Hal inididasarkan pada surat Al Jasiyyah (45): 27, dari ayat tersebut menjelaskan bahwa hanya dengan ijin Allah manusia melakukan transaksi dan kontarak diantara mereka. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Imam Ahamad bin Hambal yang mengatakan bahwa norma-norma terkait dengan kontak serta syarat-syaratnya adalah boleh. Manusia memiliki kebebasan untuk membuat kontrak atau melakukan perdagangan yang diinginkan, apakah sesuai dengan preseden al qur’an atau tidak, serta bebas melakukan klausul-klausul, asal tidak bertentangan dengan larangan yang jelas dari syari’ah. ibnu Taymiyyah menunjuk berdasarkan pada surat Al Maidah (6): 1; Hai orang-orang yang beriman penuhilah janji-janji itu, Dari kedua surat di atas, menunjukkan adanya kebebasan pada manusia, untuk memasukkan syarat klausul terhadap kontrak ketika hal ini membawa kemaslahatan dan tidak dibenarkan apa yang Allah larang, segala sesuatu yang bermanfaat tidak bertentangan dengan syariah adalah boleh dan tidak ada seorangpun dapat mengeluarkannya dari hukum. Madzhab Hanafi tidak menganut pandangan Hambali tapi ia lebih dekat padanya, Maliki telah mengembangkan melalui konsep maslahah mursalah. Ulama’ Hanafi membagi kontrak menjadi tiga, yaitu shahih, fasid dan bathil. Shahih adalah seseorang yang mengulangi dan membenarkan substansi kontrak dan tidak ingin menambah persyaratannya. Kontrak jual beli misalnya, penjual mensyaratkan bahwa ia akan memegang obyeknya hingga ia menerima pembayaran darinya, atau ketika pembeli dalam jual beli tangguh mensyratkan perlengkapan dan penggung, persyaratan ini sesuai dengan persyratan kontrak (muqtadhal al hal). Ulama’ Hanafi pada umumnya, membolehkan persyaratan-persyartan seperti ini, sebab mereka tak ingin subtansi kontrak. Dengan kata lain, persyratan-persayratan yang tidak sesuai dengan syarat dalam kontrak ketentuan dan ketentuan Allah akan dibenarkan oleh putusan tertentu, dimana kasus ini tidak mengandung keraguan. 4. Asas Penalaran Hukum (Ta’lil) Posisi muamalah dan syari’ah (hukum islam), khususnya terkait dngan riba, penipuan, ghoror, diprediksikan terjadi konflik, eksploytasi dan ktidak adilan diantara manusia hal ini akan ditentukan dalam maslah ibadah, tetap hanya ada dalam kasus muamalah, Ini adalah hal penting dari syari’ah yang terkadang ditolak oleh mereka yang menganggap bahwa akal tidak memiliki integritas dalam penalaran syari’ah. Permaslahan dalam bidang ekonomi islam, perbankan, keuangan muncul dari ketidakmampuan memahamiperan akal dalam syari’ah, ketika illah ‘effective cause’s kasus muamalah, berkaitan dengan pelarangan sepatutnya diangkat, dipertimbangkan, sebab member indikasi keberlangsungan dan keabsahan dalam masalah transaksi yang berarti bahwa pelarangan dari masing-masing kasus bnar atau salah, seuai dengan illah-nya. Asy Syatibi, dalam penjelasannya tentang ibadah dan muamalah, dimana ia menyatakan bahwa dasar norma ibadah adalah ketundukan dan kepatuhan kepada Allah tampa perlu uraian panjang lebar illah, tetapi dalam masalah muamalah umumnya didasarkan pada akal, kemaslahatan, dan illah, dengan kata lain hukum dalam bidang ini adalah terbuka analisa rasio dan keterbukaan evaluasi. Hal ini setelah para tabi’in yang memperoleh kontrol harga (ta’sir), meskipun kenyataannya nabi menolak untuk melakukan selama hidupnya. Mereka melakukan ta’sir dengan pertimbangan illah dan penalaran dibalik aturan umum dan kesimpulan terhadap lingkungan yang telah menjadi perubahan, yang mana maslahah masyarakat dapat membawa mereka dalam kondisi baik, dengan adanya ta’sir. Kita juga mencatat bahwa fuqohah pada umumnya memperoleh transaksi yang mengandung unsur gharar yang ditoleransi, sebab tidak menyebabkan konflik. Contoh, manufaktur kontrak istisna’ yang dibenarkan, meskipun kenyataannya hal ini mengandung obyek yang tidak ada dalam jual beli (bai al akdum). istisna’ dibenarkan sebab, memenuhi kebutuhan manusia dan pada umumnya dipraktekkan tampa membawa konflik yang rumit. 5. Asas Keberlakuan Masyarakat (‘Urf) Adat dipahami sebagai satu sumber pada hamper semua system hokum, termasuk syari’ah. Perubahan dalam masyarakat seringkali terreflksikan dalam adat istiadat, yang mana dalam banyak hal sebagai sandaran pembentukan aturan masyarakat terhadap kondisi yang baru. Adat istiadat juga sebagai indikator, dalam kebutuhan masyarakat akan penerimaan maupun penolakan terhadap perubahan. Hal ini secara inheren bersifat dinamis dan terbuka dan selalu mudah dipengaruhi oleh lingkungan. Peranan adat itu telah memainkan peran yang signifikan dalam perkembangan syari’ah yang telah dimanefestasikan dalam pemahaman bersar ijma’ (konsensus bersama), maslahah (poblik good), fatwa (jurictic openion) dan seringkali menghasilkan dalam kebiasaan dan pengalaman hidup dalam satu komonitas. Adat digunakan sebagai portolongan dalam interprestasi teks alqur’an dan al hadist. Konsep ‘am dan mutlaq dalam teks, dapat dispesifikasikan dan kualiufikasikan dalam penjelasan adat. Suatu yang berkaitan dengan nafkah; hendaklah seorang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Syari’ah menentukan basarnya porsi sesuai dengan adat kebiasaan sosial dan apa yang dipertimbangkan masyarakat yang sesuai dan fair. Al qur’an menyatakan; menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mngharamkan bagi mereka segala yang buruk. Makna yang tepat dari kualifikasi-kualifikasi ini, dari masing-masing kasus adalah ketentuan umum syari’ah dan adat istiadat masyarakat setempat. Adat dibangun dan diterapakan secara authoritatif dalam kaidah ushul fiqih, ‘legal maxim of fiqh’; sesuatu yang diterapkan oleh adat, hukumnya sama seperti hal itu ditetapkan oleh teks, apa yang ditetapkan oleh adat adalah sesuatu yang ditetapkan oleh teks, adat istiadat dapat dijadikan hukum, perilaku orang adalah satu kebutuhan dan ia harus diamalkan. Esensi dari semua adat, ayat dan kaidah diatas adalah seperti perkataan Abdullah Ibnu Abbas, seringkali dianggap sebagai hadist, apa yang dianggap oleh umat islam baik maka baik juga dihadapan Allah. Dari sisni ada pemahaman bahwa tidak ada salah paham tentang adat sebagai bukti maupun sumber hukum dalam penerapan hukum, khususnya dalam hukum transaksi dan perdagangan, dapat dianggap sah adat harus memenuhi beberapa kreteria yang berlaku dalam masyarakat dan tidak melanggar tegas perintah syariah atau ketetapan yang jelas dalam kontrak kesepakatan. Ketika urf telah memenuhi persyaratan maka authoritative. Menurut ulama’ fiqih, khususnya Abu Hanifah, Maliki, dan Syafi’i mereka tidak hanya bertumpu pada adat, akan tetapi juga merubah fatwa dan ijtihad pada perubahan adat yang popular. Hal khusus dalam karya Syafi’i, yang mengubah madzhabnya setelah meninggalkan ira dan menetap di Mesir. Konsekuensinya ialah merubah dan memperbarui keputusan terdahulu, berdasarkan pada kebiasaan orang mesir. Hukum Islam, fatwa dan ijtihad yang dihasilkan dari adat, urf hukumnya dapat berubah, ketika dasar pijakannya yang digunakan berubah. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum, perubahan bukan dipngaruhi oleh zaman dan waktu. III. Penutup Para sarjana Islam, sejak berabad yang lalu, telah memahami bahwa syari’ah secara inheren, rasional sejak ia berdiri, baik dalam dataran prinsip, dalam merealisasikan kemaslahatan, hal ini tergambar dari bukti affirmatif, bahwa Al Qur’an mengandung kerasionalan dan keterbukaan dalam penyelidikan . Al Qur’an dalam beberapa kesempatan, membahas tentang sebab-sebab, tujuan dan kemaslahatan hukumnya, dan berbicara tentang kebenaran bagi orang-orang yang berfikir terhadap dunia dan sekitarnya serta memiliki pengetahuan, tentang mereka yang menolak dan dilimpahi rasa taklid dan mereka berusaha keras menggunakan akal untuk memahami hukum Tuhan. Oleh karenanya, al quran secara jelas memberi kejelasan yang luas, pendekatan rasional dan komprehensif dalam memahami hukum-hukumnya, yang berlawanan dengan kaum literalis dan pendekatan mekanik, seperti madzhab Dhahiri yang secara keras menolak penerimaannya. Menurut As Syatibi, aturan-aturan syari’ah berkaitan dengan hukum transaksidan adat kebiasaan (muamalah wa adat) secara penuh mengikuti kemaslahatan masyarakat. Dengan dfemikian, sayri’ah melarang sesuatu, sebab hal itu tidaki mengandung unsur kemaslahatan, sebab syari’ah mengizinkan sesuatu yang sama, ketika hal itu membawa kemashlahatan. Satu contoh, kurma basah tidak dapat ditukar dengan kurma kering, karena hal itu mengandung unsur riba dan gharar. Tetapi Nabi mengijinkan transaksi ini dalam hal jual beli ‘araya’ , disebabkan kebutuhan masyarakat dan kemaslahatan. Penalaran al quran (ta’lil) berakait dengan hukum-hukum syari’ah selain ibadah merealisasikan kemaslahatan tertentu. Dari sini kita belajar sebagai dinyatakan amir Badsbas, ketika suatu aturan tidak mengena tujuan penetapanya dan tidak mengandung kemaslahatan, maka harus dirubah dan diganti dengan alternatif lain yang sesuai. Hal ini bukan berarti melalaikan tujuan Tuhan dan hukum-Nya, tetapi untuk membentuki hukum islam yang meakomodir realitas masyarakat, dalam satu waktu, kerena ia adalah prinsip ijtihad. Oleh karena itu, hal ini adalah tugas bersama (Fard Al KIfayah). Dari semua klarifikasi-klarifikasi diatas adalah member kontribusi dalam perubahan dan perkembangan hukum Islam menjaga syari’ah agar tetap relevan dan selalu hidup dalam hukum masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Al Amidi, Al Ihkam fi Ushul al Ahkam, Beirut: Maktabah Islam, 1982 Al Jashas, Ahkam Al Qur’an , Beirut, Dar Ihya’ at Turats al Arabiy, 1985 Asy Syatibi, Al I’Tisam, II, Al Amidi Al Ihkam Asy Syaukani, Irsyad Al Fuhul, min Thahqiq Il ail Ushul, Kairo, Dar Al Fikr, t.t. At Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, Makkah, Maktabah at Tijari Mushthafa Ahmad al Baz, t.t Ibnu Qayyim Al jauziyyah, I’lam Al Muwaqi’in, Kairo, Maktabah Al Kulliyah Al Azhariyyah 1968. Ibnu Taymiyyah, Majmuah Fatawa Syaikh Islam Ibnu Taymiyyah, Beirut, Muassasah Risalah 1389. Ibnu Taymiyyah Ndzariyyah Al Aqd, Beirut Dar al Ma’rifah, 1317. M abu Zahrah, Ushul Fiqh, Kairo, Dar Al Fikr, 1958. Majalah al Ahkam al adliyyah, Lahore Law Publising, 1967. M Hasim Kamali, Principle of Islamic Juresprodence, Canbridge, tex society, 1991. Mushthafa Salabi, Al Fiqh al islam bain al mathaliyyah wa al waqiyyah, Kiaro, Dar Fikr Al Jam’iyah. 1982. Yusuf Qardawy, Bai’ Al Murabahah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar