Kamis, 02 April 2015

ASAL-USUL DAN TIPOLOGI PEMIKIRAN TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA

A. Awal Perdebatan Islam dan Negara di Indonesia. Wacana tentang makna, penafsiran dan fungsi pancasila telah menjadi perdebatan sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia, setidaknya sejak bangsa ini merdeka, perdebatan ini selalu menjadi aktual di kalangan akademisi dan politisi Indonesia sampai saat ini. Apalagi didorong dengan lahirnya beberapa Partai Islam, permintaan diberlakukannya syariat Islam di Aceh (NAD), munculnya teroris-teroris yang berkedok Islam, laskar serta organisasi yang bernafaskan Islam kanan, di antaranya Laskar Jihad, Hizbu Tahrer, Jaringan Islamiyah dan Front Pembela Islam (FPI). Selain itu yang paling jelas menjadi indikator perlunya kejelasan relasi Islam dan negara dalam kehidupan berbangsa terlihat pada menguatnya ide-ide pencantuman Syari‘at Isla>m dalam amandemen UUD 45 setiap ST MPR hasil pemilu 1999.[1] Hal ini juga sering terjadi dalam wacana politik Indonesia di penghujung tahun 1990-an yang juga sibuk memperdebatkan ideologi dan peristiwa-peristiwa politik yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini, di antaranya mengenai hubungan Islam dan negara, peran ABRI dalam politik, dan bentuk demokrasi yang sesuai dengan negara ini.[2] Dalam skripsi ini penyusun menitikberatkan pada masalah yang pertama yaitu mengenai hubungan Islam dan negara. Untuk memperjelas tahap-tahap perjuangan umat Islam Indonesia dalam merespon perdebatan Islam dan negara. M. Rusli Karim membagi menjadi empat tahap. Tahap pertama, 1912 hinggga proklamasi kemerdekaan, tahap kedua 1945-1955, tahap ketiga, 1955-1965 dan tahap keempat 1965 sampai sekarang.[3] Akan tetapi dalam bab ini penyusun akan memfokuskan asal-usul lahirnya perdebatan Islam dan negara sepanjang sejarah perpolitikkan Indonesia secara global. Perdebatan ini mulai aktual sejak dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai upaya persiapan kemerdekaan yang diharapkan,[48] dan telah disetujui oleh pemerintahan Jepang. Hal ini juga dinyatakan dalam pidato Perdana Menteri Kuniaki Koiso kepada Parlemen Jepang pada tahun 1944 yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia dalam "waktu dekat".[4] Akan tetapi kalau kita teliti lebih dalam bahwa persinggungan antara Islam dan negara di Nusantara ini sudah berlangsung lama sebelum Indonesia merdeka yakni di bawah tekanan kolonial Belanda dan Jepang, namun demikian untuk melacak isu tentang istilah negara Islam di Indonesia bukanlah suatu pekerjaan mudah, karena sejauh ini yang diketahui hanyalah pemimpin-pemimpin Sarekat Islam (SI) seperti Surjopronoto dan Dr. Sukiman Wirjosandjojo yang telah mewacanakan suatu kekuasaan atau pemerintahan Islam di akhir tahun 1920-an.[50] Saat itu Surjopronoto menggunakan tema een Islamietsche regeering (Suatu Pemerintahan Islam) sementara Sukiman memakai istilah een eigen Islamietisch bestuur onder een eigen vlag (Suatu kekuassan Islam di bawah benderanya sendiri) semua ini digunakan untuk menciptakan kekuasaan Islam di Indonesia yang substansinya sebagai alat mencapai kemerdekaan.[5] Barangkali wacana dan teori tentang Negara Islam ini belum banyak ditulis secara terperinci oleh pemimpin Islam pada saat itu, sehingga dalam sidang BPUPKI pada 1945 wacana ini terkesan begitu aktual diperdebatkan karena secara resmi peristiwa ini muncul pertama kalinya dalam panggung politik Indonesia. Anggota BPUPKI ini terdiri dari berbagai macam kelompok ideologi yang akhirnya mengalami kesulitan dalam mencari titik temu (Kalimah as-Sawa’) posisi masing-masing anggota tersebut, di antaranya. Pertama, mereka yang ingin menegakkan demokrasi konstitusional sekuler. Kedua, mereka yang menganjurkan negara integralistik, dan ketiga. Yang paling emosional dan konfrontasional adalah mereka yang menginginkan Islam dijadikan dasar negara.[6] Badan penyelidik ini mengadakan dua kali sidang, pada sidang pertama, dari 29 Mei - 2 Juni 1945 membahas masalah umum, dalam sidang ini Soekarno membuat pidato yang sangat berpengaruh tentang dasar negara dan kemudian dikenal dengan Lahirnya Pancasila.[53] Sedangkan pada sidang kedua, 10-14 Juni 1945 membahas tentang isi konstitusi negara yang akan dibentuk.[54] Dalam kedua pembahasan sidang ini menimbulkan perdebatan keras di antara para anggota penyelidik terutama kalangan Islam yang diwakili Abdoel Kahar Moezakkir dengan cita-cita ideologi Islamnya dan kalangan nasionalis diwakili oleh Soekarno yang cenderung netral terhadap agama. Masalah yang sangat krusial dan mengundang perdebatan dalam sidang ini adalah tentang “peletakkan dasar negara” sebab masalah ini berkaitan dengan integritas agama, budaya dan bangsa yang plural. Karena khawatir akan kegagalan Badan Penyelidik yang terus-menerus semakin memanas maka para anggota mengambil iniasiatif dengan membentuk panitia BPUPKI yang terdiri dari 9 orang.[7] Semula anggota BPUPKI ini berjumlah 62 orang, lalu ditambah enam orang yang kebanyakan berasal dari Jawa dan satu orang lagi dari Jepang yakni Ichibangase yang menjabat sebagai ketua yunior dan anggota luar biasa, untuk mengamati secara lebih detail keanggotaan Badan Penyelidik ini maka penyusun paparkan pendapat Prawoto Mangkusasmito, dari 68 anggota BPUPKI, hanya 15 orang (+ 20%) yang menyuarakan aspirasi politik Islam yakni berasal dari nasionalisme-Islam, sedangkan 80 %-nya berasal dari kelompok nasionalis-sekuler.[8] Statistik ini menunjukkan betapa tidak seimbangnya representasi dari masing-masing kelompok itu. Di antara wakil dari kelompok Islam yaitu; K. H. Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Masykur, K.H. A. Wahid Hasyim, Abikusno Cokrosujoso, H. Agus Salim, Sukiman Wiryosanjoyo, K.H. A. Sanusi, dan K.H. Abdul Halim, sedangkan wakil dari kelompok nasionalis, antara lain, Rajiman Widiodiningrat, Soekarno, Mohammad Hatta, Prof. Soepomo, Wongsonegoro, Sartono, R. P. Soeroso, Dr. Buntaran Martoatmojo dan Muhammad Yamin, untuk Ketua dan wakil ketua BPUPKI dijabat oleh Rajiman Widiodiningrat dan R. P. Soeroso, ini menunjukkan bahwa kepemimpinan BPUPKI berada di tangan kelompok nasionalis. [9] Akan tetapi karena banyaknya anggota Badan Penyelidik yang malah dikhawatirkan akan membawa kegagalan Badan Penyelidik itu sendiri (atas perdebatan yang semakin memanas) maka dibentuklah Panitia Kecil BPUPKI yang hanya terdiri dari 9 orang itu, yaitu: empat orang dari kalangan Islam (H. Agus salim, K.H. Wahid Hasyim, Abikusno, dan Abdul Kahar Muzakkir) dan lima orang dari kalangan Naionalis (Soekarno, Mohammad Hatta, A. A. Maramis, Achmad Subarjo, dan M. Yamin).[10] Dalam panitia ini, Islam politik mempunyai kepentingan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, sebab menurutnya yang paling banyak berkorban dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah kelompok Islam. Kepentingan tersebut menimbulkan reaksi keras dari kelompok nasionalis sekuler yang memang secara kuantitatif anggota mereka dalam badan ini merupakan mayoritas, sebagai jalan tengah akhirnya Jepang membentuk “Panitia Sembilan” di atas. Pada tanggal 21 Juni 1945 BPUPKI menyetujui Piagam Jakarta yang rumusan sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syari‘at Isla>m bagi pemeluk-pemeluknya”,[11] kesepakatan ini merupakan hasil perjuangan Islam politik dalam kepentingannya saat itu, akan tetapi umat Islam terpaksa harus kecewa karena dalam UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 itu, ternyata telah menghapuskan Piagam Jakarta tersebut.[12] Ini merupakan kekecewaan Islam politik yang pertama dalam perjuangan politiknya. Diterimanya pancasila sebagai asas dan ideologi negara merupakan puncak dari pertentangan dan sekaligus menunjukkan kekalahan kelompok Islam yang harus berkompromi dengan kepentingan lain. Umat Islam yang sebelumnya memperjuangkan ideologi Islam sebagai dasar negara dalam mukadimah UUD 1945 harus mengalah dengan pancasila. Keinginan keras umat Islam saat itu bisa dimaklumi, selain sebagai pejuang mayoritas kemerdekaan, pancasila sendiri menyimpan dua faktor yang sangat debatable. Pertama, tentang kandungan pancasila itu sendiri. Kedua, tentang makna penting pancasila jika dibanding dengan agama.[13] Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu bertahan selama 57 hari, ini dikarenakan pengiring redaksi sila pertama yang mewajibkan umat Islam menjalankan Syari‘at Isla>m dirasakan oleh kawasan Timur Indonesia sebagai sikap diskriminatif terhadap pemeluk agama lain.[14] Maka demi persatuan bangsa akhirnya para pemimpin politik Islam terpaksa menelan kekecewaan cita-cita politiknya pada 18 Agustus 1945 dengan menghilangkan anak kalimat tersebut dari pembukaan UUD 1945. Peristiwa ini dikenal sebagai sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang merupakan pengganti dari BPUPKI yang telah dibubarkan. Jumlah anggota PPKI semula sebanyak 21 orang, kemudian atas usul Soekarno akhirnya ditambah menjadi 27 orang, dan yang menarik dicermati dari total jumlah ini ternyata hanya tiga anggota dari organisasi Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim dan Kasman Singodimedjo.[15] Betapa ironisnya umat Islam sebagai mayoritas populasi dan penggerak melawan penjajah di negeri ini hanya diwakili oleh tiga anggota. Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 bertujuan menetapkan UUD dan memilih presiden dan wakilnya, kebetulan presiden yang dipilih adalah ketua dan wakil PPKI saat itu yaitu Soekarno dan Hatta. Secara kultural Soekarno mewakili kultur Jawa sedangkan Hatta dari kultur Minang/Sumatera, terang saja latar belakang Hatta ini bisa dijadikan pelebur sikap keras Ki Bagus yang selalu bersekukuh mempertahankan rumusan Piagam Jakarta. Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi konsistensi Ki Bagus yang tetap bertahan dengan Piagam tersebut, maka melalui Hatta yang memanfaatkan Teuku Moehammad Hassan anggota PPKI dari Sumatera berhasil melunakan sikap keras Ki Bagus dan dalam waktu 15 menit anak kalimat pada sila Ketuhanan itu diganti dengan Yang Maha Esa.[16] Akar perdebatan ini tidak lepas dari letupan pertarungan ideologi saat itu, yaitu Nasionalis dan Islam.[17] Golongan nasionalis adalah kelompok yang berprinsip bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama dan negara) harus dipisahkan secara tegas dan proporsional, dengan keyakinan bahwa fungsi agama hanya mengurusi ajaran-ajaran yang berkaitan dengan kehidupan akhirat dan urusan pribadi saja, Sedangkan negara memang merupakan masalah politik yang berurusan dengan duniawi.[18] Sementara itu golongan Islam saat itu berprinsip bahwa agama (dalam hal ini Islam) tidak dapat dipisahkan dari urusan kenegaraan, karena Islam menurut mereka tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan saja, melainkan juga hubungan sesama manusia, lingkungan dan alam semesta.[19] Indikasi pertarungan ideologi ini bisa dilihat sejak tahun 1920-1930-an dari kasus retaknya hubungan Sarekat Islam (SI) dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), kasus Jawi Hisworo, majalah Timboel, Swara Oemoem dan peristiwa itu perdebatan sengit antara tokoh Nasionalis-Muslim, seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Ahmad Hassan dan M. Natsir dengan tokoh-tokoh Nasionalis-sekuler yang diwakili Tjipto Mangunkusumo, Soekarno dan lain-lain, Polemik inilah yang kemudian berlanjut sampai sekarang. [20] Di sisi lain, konsep “Piagam Madinah” dan praktek pemerintahan Islam pada zaman Rasulullah, sahabat dan komunitas muslim lainnya juga ikut mempengaruhi lahirnya perdebatan Islam dan negara di Indonesia, sebab munculnya terma Piagam Jakarta di Indonesia sedikit banyak terinspirasi dari konsep Piagam Madinah yang pasti tidak bisa lepas dari persinggungan wacana politik Islam yang telah berlaku di bangsa Arab itu. Selain itu praktik pemerintahan Negara Turki yang memisahkan negara dan agama juga ikut mewarnai perdebatan ini.[21] Jadi, untuk memaparkan secara lebih jelas pemikiran politik tokoh Islam dan keterkaitan mereka dalam memperjuangkan negara berdasarkan Islam di Indonesia, perlu penyusun bahas secara singkat tentang teori-teori yang diajukan para intelektual muslim. Secara umum pemikiran politik Muslim bisa diklasifikasikan menjadi tiga teori.[22] Pemikiran pertama berpendapat bahwa negara dan agama tidak harus dipisahkan, karena Islam merupakan agama yang integral dan komprehensif dalam mengatur kehidupan baik urusan duniawi maupun ukhrawi, oleh sebab itu menurut pandangan ini konstitusi negara harus didasarkan pada Islam. Tokoh teori ini antara lain , Abu A’la Maududi[23] (1903-1979) dari Pakistan yang memimpin Jamiy‘ah al-Isla>m, Sayyid Qutb[24] (1906-1966) dan para ideolog lain Ikhwan al-Muslimin[25] dari Mesir. Baik Jam‘iyah al-Isla>m maupun Ikhwan al-Muslimin dikenal sebagai gerakan Fundamentalis di Iran, Pakistan dan Saudi Arabia, hal ini bisa dilihat dari jargon politiknya bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama dan Negara) tidak bisa dipisahkan.[26] Pandangan komprehensif ini dikutip dari nash al-Qur’an[27]: ياأيهاالذ ين أمنوا ادخلوا فىالسلم كآّفة ولا تتبعوا خطوات الشيطـن إنّه لكم عدوّ مّبين.! (البقرة :٢٠٨) Menurut teori yang kedua, agama dan negara harus dipisahkan, urusan agama sebatas pada urusan pibadi dan ukhrawi tidak perlu mencampuri urusan politik. Oleh sebab itu konstitusi negara dalam pandangan ini tidak harus didasarkan pada Islam, namun pada nilai sekuler, contoh konkret teori ini adalah negara Turki Modern. Teori ketiga, sepakat dengan adanya pemisahan antara agama dan negara dalam arti konstitusi negara tidak harus didasarkan Islam, akan tetapi nilai agama harus menjadi ruh kehidupan masyarakat bernegara, [28] Ketiga teori ini mewakili pilihan-pillihan yang dapat menentukan karakteristik struktur sosial dan politik negara-negara muslim dunia dalam menghadapi tantangan modernitas. Terutama teori pertama ini sangat kuat mewarnai pemikiran politik muslim Indonesia tahun 1940-an dan 1950-an, karena dalam sidang BPUPKI 1945 maupun konstituante (1956-1959) para pemimpin muslim berjuang keras agar Islam dijadikan dasar negara.[29] Selain itu tidak ada indikasi yang tampak bahwa pemikiran politik nasionalis-muslim Indonesia saat itu, dipengaruhi oleh Kemal Attaturk ataupun Ali Abd al-Raziq (1888-1966) yang berpendapat bahwa Nabi tidak pernah berupaya membangun sebuah negara, beliau hanyalah seorang utusan yang dikirim oleh Tuhan semata. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas, konflik ideologi antara kaum nasionalis-sekuler dan nasionalis-muslim bisa diperkirakan sejak menjelang kemerdekaan (Sidang BPUPKI). Melengkapi data sebelumnya, pada tanggal 31-Mei 1945 Soepomo lebih mendukung gagasan Hatta yang mengusulkan bentuk Indonesia sebagai negara kesatuan daripada keinginan umat Islam dalam meletakkan dasar negara , yakni memisahkan negara dari persoalan agama.[29] Menurut Soepomo sendiri, jika negara Islam diciptakan di Indonesia maka sudah pasti persoalan minoritas, persoalan kelompok-kelompok kecil agama dan yang lainnya akan muncul. Meskipun Islam menjamin kelompok agama lain sebaik mungkin, kelompok kecil ini tidak akan merasakan keterlibatannya dalam negara, karena cita-cita negara Islam tidak sesuai dengan cita-cita negara kesatuan yang diharapkan bersama.[30] Pada tahun 1953 Soekarno juga mengungkapkan kekhawatirannya secara terbuka tentang implikasi-implikasi negatif yang muncul, apabila umat Islam Indonesia tetap memaksakan kehendaknya (negara Islam), yakni pengakuan Islam secara legal formal di negara ini.[31 Dengan mengingat kekhawatiran yang diungkapkan Hatta pada tahun 1945, Soekarno mengatakan bahwa ia cemas, kalau banyak bagian negara Republik Indonesia memisahkan diri, atau negara bekas jajahan Hindia Belanda seperti Irian Barat juga tidak ikut menggabungkan diri dengan Indonesia yang ber-ruh Islami ini.[32] Melihat keberatan kelompok nasionalis-muslim terhadap Negara Sekuler mengharuskan kita meninjau kembali sejarah Islam yang menyatukan pemahaman antara agama (di>n) dan negara (daulah). Istilah “negara” dalam bahasa Indonesia mempunyai arti; pertama, organisasi di suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Kedua, kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintahan yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.[33] Dalam Bab ini penyusun merasa perlu mengkaji pula istilah-istilah dalam kajian politik Islam seperti daulah, khalifah, imamah dan kesultanan yang seringkali dikonotasikan dengan istilah negara. Di samping itu teori-teori tersebut paling tidak ikut mempengaruhi pemikiran politik Islam di Indonesia. a. Daulah. Istilah daulah berasal dari bahasa Arab yang bermakna bergilir, beredar dan berputar (rotate, alernate, take turns or Occur priodically).[83] menurut Olaf Schuman istilah “daulah” sama dengan “dinasti atau wangsa” yang berarti sistem kekuasaan yang berpuncak pada seorang pribadi dan didukung oleh keluarganya atau clanya.[84] Jadi dalam konteks sekarang istilah tersebut bisa diartikan negara, selain itu Paham ini juga erat dengan paham Da>r al-Isla>m yang bermakna bahwa kekuasaan tertinggi terletak di tangan seorang penguasa muslim yang memberlakukan Hukum Islam sebagai hukum utama di dalam wilayahnya.[34] Menurut sejarah istilah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam ketika masa kemenangan kekhalifahan dinasti Abbasiyyah pada pertengahan abad delapan.[35] Kalau memang istilah ini pernah ada, berarti masa itu terdapat pada daullah Umayyah yang kemudian begilir pada keluarga Bani Abbas (Daulah Abbasiyyah).[36] b. Khilafah. Istilah “Khila>fah” berasal dari bahasa arab yang bermakna perwakilan atau pergantian. Dalam perspektif politik sunni, khilafah didasarkan pada dua rukun, yaitu: konsensus elit politik (ijma‘) dan pemberian legitimasi (Bay‘ah).[37] Oleh sebab itu sudah menjadi hal yang lazim dalam pemilihan pemimpin Islam bahwa pemilihan pemimpin ditetapkan oleh elit politik melalu ijma‘ kemudian baru di Bay‘ah , menurut Harun Nasution sistem ini menyerupai dengan sistem republik daripada sistem kerajaan, karena pemimpin dalam hal ini dipilih bukan merupakan sistem monarkhi yang bersifat turun-temurun.[38] Sistem khilafah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam setelah Nabi Muhammad wafat, yaitu pada masa khalifah Abu Bakar, dalam pidato inagurasinya Abu Bakar menyatakan dirinya sebagai Khalifah Rasul Allah dalam artian sebagai “Pengganti Rasulullah” yang bertugas meneruskan misi-misinya.[39] Sedangkan menurut Bernard Lewis istilah khalifah muncul pertama kali pada masa pra-Islam abad ke-6 Masehi dalam suatu prasasti Islam di Arabia.[40]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar