Sabtu, 09 Maret 2013

PEMBAGIAN HARTA DAN IMPLIKASI HUKUM MENURUT ISLAM

I. Pendahuluan Hak milik (kepemilikan) adalah hubungan antara manusia dengan harta yang ditetapkan syara', dimana manusia memiliki kewenangan khusus untuk melakukan transaksi terhadap harta tersebut, sepanjang tidak ditemukan hal yang melarangnya. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh manusia, baik berupa harta benda (dzat) atau nilai manfaat. Dengan demikian, dapat dipahami pernyataan Hanafiyah yang mengatakan bahwa manfaat dan hak merupakan kepemilikan, bukan merupakan harta. Secara bahasa, kepemilikan bermakna pemilikan atas manusia atas suatu harta dan kewenangan untuk bertransaksi secara bebas terhadapnya. Menurut istilah ulama fiqh, kepemilikan adalah keistimewaan atas suatu benda yang menghalangi pihak lain bertindak atasnyadan memungkinkan pemiliknya untuk bertransaksi secara langsung di atasnya selama tidak ada halangan syara'. Ketika seseorang telah memiliki harta benda dengan jalan yang dibenarkan syara', maka ia memiliki kewenangan khusus atasnya. Ia memiliki kekhususan untuk mengambil manfaat atau bertransaksi atasnya sepanjang tidak ada halangan syara' yang mencegahnya, seperti gila, safih , anak kecil, dan lainnya. Keistimewaan itu juga bisa mencegah orang lain untk memenfaatkan atau bertransaksi atas kepemilikan harta tersebut, kecuali terdapat aturan syara' yang memperbolehkannya, seperti adanya akad wakalah. Secara asal, harta benda boleh dimiliki. Namun, terdapat beberapa kondisi yang dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan dan manfaat publik (fasiliyas umum) seperti jalan umum, jembatan, benteng, sungai, laut, museum, perpustakaan umum, dan lainnya. Harta ini tidak dapat diprivatisasi dan dimliki oleh individu, namun ia harus tetap menjadi asset publik untuk dimanfaatkan bersama. Jika harta tersebut sudah tidak dikonsumsi oleh publik, maka harta tersebut kembali kepada asalnya, yakni bisa dimiliki oleh individu. Selain itu, ada juga harta yang tidak bisa dimiliki kecuali dibenarkan oleh syara'. Seperti harta yang diwakafkan dan aset-aset baitul maal. Harta wakaf tidak boleh diperjual-belikan atau dihibahkan, kecuali telah rusak atau biaya perawatannya lebih mahal dari pada penghasilan yang didapatkan. Dalam konteks ini, mahkamah (pengadilan/pemerintahan) boleh memberikan izin untuk mentransaksikan harta benda tersebut. Dilihat dari unsur pembagian harta dan implikasinya dapat diklompokkan kedalam istilah harta yang bernilai dan harta yang tidak bernilai (mal mutqawwim wa ghoiru mutaqwwim), harta tetap dan berpindah (mal iqar wa manqul), harta yang sepadan dan harta yang bernilai (mal mitsli wa qimi), dan harta yang dapat dikonsumsi dan harta yang tidak dapat dikonsumsi (maal istihlakhi wa isti’ali). II. Pokok Pembahasan 1. Apa yang dimaksud Pengertian harta dalam persepektif Al Quran dan as sunah? 2. Pengertian hak dan manfaat atas benda (harta) 3. Pembagian harta dan implikasinya mal mutqawwim wa ghoiru mutaqwwim, mal iqar wa manqul, mal mitsli wa qimi, dan maal istihlakhi wa isti’ali? III. Pembahasan A. Harta Dalam Persepektif Ala Qura’an Dan As Sunah Harta sebagai fitnah Dalam surat At Taghobun ayat 15 Allah berfirman Artinya: Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. ( QS At Taghobun 15) Harta sebagai Perhiasan Artinya : Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia (QS Ali Imron : 14) Harta untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai kesenangan. Artinya : Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS Ali Imron 14) Kecelakaan bagi penghamba harta Artinya: celakalah orang- orang yang menjadi hamba dinar (uang) orang menjadi hamba dirham, orang yang menjadi hamba toga atau pakaian, jika diberi ia bangga , bila tidak diberi ia marah, mudah mudahan i8a celaka dan merasa sakit, jika dia kena musibah tidak memperoleh jalan keluar. (HR Bukhori) Penghambat harta adalah orang yang terkutuk Artinya: terkutuklah orang yang menjadi hamba dinar dan terkutuklah pula orang yang menjadi hamba dirham (HR Tirmidzi) B. Pengertian harta menurut para ahli Menurut Wahbah Zuhaili (1989. Hal. 40), secara linguistik, al maal didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat mendatangkan ketenangan, dan bisa dimiliki oleh manusia dengan sebuah upaya (fi'il), baik sesuatu itu berupa dzat (materi) seperti; komputer, kamera digital, hewan ternak, tumbuhan, dan lainnya. Atau pun berupa manfaat, seperti, kendaraan, atau pun tempat tinggal. Berdasarkan definisi ini, sesuatu akan dikatakan sebagai al-maal, jika memenuhi dua kriteria; Sesuatu itu harus bisa memenuhi kebutuhan manusia, hingga pada akhirnya bisa mendatangkan kepuasan dan ketenangan atas terpenuhinya kebutuhan tersebut, baik bersifat materi atau immateri Sesuatu itu harus berada dalam genggaman kepemilikan manusia. Konsekuensinya, jika tidak bisa atau belum dimiliki, maka tidak bisa dikatakan sebagai harta. Misalnya, burung yang terbang diangkasa, ikan yang berada di lautan, bahan tambang yang berada di perut bumi, dan lainnya. Dilihat dari kacamata istilah fiqh, ulama berbeda pendapat tentang definisi al-maal, perbedaan itu muncul dari makna atau substansi yang dihadirkan dalam definisi. Perbedaan pandangan tersbut dapat dikatagorikan dalam dua pendapat. Pendapat Hanafiyah Menurut golongan Hanafiyah, al-maal adalah segala sesuatu yang mungkin dimiliki, disimpan, dan dimanfaatkan. Pendapat ini mensyaratkan dua unsur yang harus terdapat dalam al-maal; a. Dimungkinkan untuk dimiliki, disimpan, dengan demikian al-maal harus bersifat tangible. Sesuatu yang bersifat ingtanguble seperti, ilmu, kesehatan, kompetisi, prestise, image, dan lainnya tidak bisa dikatagorikan sebagai al-maal. Selanjutnya, sesuatu itu harus bisa dikuasai dan disimpan, oksigen (berbeda dengan oksigen yang telah dimasukkan dalam tabung oksigen), cahaya matahari dan rembulan tidak bisa dikatagorikan sebagai al-maal. b. Secara lumrah (wajar), dimungkinkan untuk diambil manfaatkan, seperti ;daging bangkai, makanan yang sudaj expire, yang telah rusak, maka tidak bisa dikatakan sebagai al-maal. Dalam kondisi darurat, boleh saja kita mengkonsumsi barang tersebut dan, mungkin bisa mendatangkan manfaat, namun demikian, hal tersebut tidak bisa secara langsung megubah barang tersebut menjadi al-maal, karena hal ini merupakan bentuk pengecualian (istitsna'). c. Selain itu, kemanfaatan yang ada pada sesuatu itu haruslah merupakan manfaat yang secara umum dapat diterima masyarakat. Sebutir nasi atau setetes air tudak dianggap bisa mendatangkan manfaat, berbeda jika jumlah kuantitasnya besar. Sifat maaliah (sesuatu yang dianggap sebagai harta) akan tetap melekat pada sesuatu, sepanjang sesuatu itu masih dimanfaatkan atau diberdayakan olehmasyarakat atau sebagian dari mereka. Khamr (arak, miras), anjing, babi, mungkin masih bisa dimanfaatkan oleh non-muslim.bagi kaum borjuis, pakaian bekas mungkin sudah tidak memiliki arti, namun bagi orang yang tinggal dilorong jembatan, pakaian bekas itu masih memiliki arti dan manfaat bagi kehidupannya. Dengan demikian, dalam konteks ini, pakaian bekas tersebut masih bisa dikatakan sebagai al-maal. Berbeda jika pakaian tersebut sudah ditinggalkan oleh seluruh masyarakat, tidak terdapat sedikitpun yang mau atau bisa memanfaatkannya. Ibnu Abidin ( madzhab Hanafi, Raddul Mukhtar, jilid empat, hal.3) mengatakan, al-maal adalah segala sesuatu yang di-preferansi-kan (gandrungi) oleh tabiat manusia, dan dimungkinkan untuk disimpan hingga saatdi butuhkan, baik dapat dipindah (Manqul) ataupun tidak(gairu manqul). Menurut Wahbah Zuhaili (1989, hal.41), definisi ini bukanlah pengertian yang komprehensif, sayur-sayuran dan buah-buahan bisa dikatakan al-maal,walaupun tidak bisa disimpan, karena cepat rusak. Begitu juga dengan hewan buruan, kayu di hutan tetap bisa dikatakan sebagai al-maal ,walaupun belum dimiliki atau disimpan. Obat-obatan juga bisa dimasukkan dalam katagori harta, walupun manusia menolak untuk mengkonsumsinya. Pendapat Mayoritas Ulama Mayoritas ulama fiqh, al-maal adalah segala sesuatu yang memiliki nilai, dimana bagi orang yang merusaknya, berkewajiban untuk menanggung atau menggantinya. Lebih lanjut Imam Syafii mengatakan, al-maal dikhususkan pada sesuatu yang bernilai dan bisa diperjualbelikan dan memiliki konsekuensi bagi yang merusaknya. Berdasarkan pengertian ini, al-maal haruslah sesuatu yangdapat merefleksikan sebuah nilai finansial, dalam arti ia bisa diukur dengan satuan moneter (Zuhaili,1989, hal.42). Menanggapi persoalan definisi harta, Mustafa Ahmad Zarqa (1984, hal. 289) menegaskan, memang terdapat perbedaan mendasar antara pandangan syariah dengan qanun (hukum). Menurut beliau sesuatu itu dikatakan harta (al-maal) jika memenuhi dua syarat, yaitu; Sesuatu itu harus berwujud materi dan bisa di raba, Biasanya manusia akan berusaha untuk meraihnya, dan menjaganya agartidak diambil ataudimiliki orang lain. Dengan demikian harta itu haruslah memiliki nilai materi. Berdasarkan persyaratan ini, maka yang dikatakan sebagi harta adalah segla dzat ('ain) yang dianggap memilikinilai materi bagi kalangan masyarakat. Pendapat ini secara otomatis menafikan hak dan manfaat untuk masuk dalam katagori harta. Jika dilihat,pendapat Mustafa Ahmad Zarqa ini cenderung dekat dengan pendapat Ulama Hanafiyah. C. Fungsi Harta Safi’i Rahmat (2001:30)Fungsi harta bagi manusia secara umum sangat banyak harta dapat menunjang kegiatan manusia, baik dalam kegiatan yang baik maupun yang buruk, oleh karena itu manusia selalu berusaha untuk memiliki dan menguasainya, tidak jarang dengan memakai beragam cara yang dilarang syara’ dan hukum Negara, atau ketetapan yang disepakati manusia. Biasanya dalam memperoleh harta akan berpengaruh terhadap fungsi harta. Seperti orang yang memperoleh harta dengan cara mencuri, ia memfungsikan harta tersebut untuk kesenangan semata seperti mabuk , berhura hura, D. Hak Dan Manfaat Harta Madzhab Hanafi meringkas definisi harta pada sesuatu dzat yang bersifat materi. Dalam arti memiliki bentuk yang dapat dilihat atau diraba. Dengan demikian, hak dan manfaat tidak termasuk dalam katagori harta, akan tetapi merupakan kepemilikan. Berbeda dengan ulama fiqh selain Hanafiyah. Menurut mereka, hak dan manfaat termasuk harta. Dengan alasan, maksud dan tujuan memiliki sesuatu adalah karena terdapat manfaat yang dapat diterima bukan karena dzatnya. atas dasar adanya manfaat tresebut manusia berusaha untuk menjaga dan menyimpan kemanfaatan yang inheren dalam dzat tersebut Yang dimaksud dengan manfaat adalah faidah atau fungsi yang terdapat dalam suatu dzat (benda, materi), seperti menempati rumah, mengendarai mobil, atau memakai pakaian. Dalam arti, dengan memiliki mobil, maka manfaat yang bisa dirasakan adalah kita bisa mengendarainya ke suatu tempat yang kita inginkan. Dengan memiliki pakaian, maka kita bisa memakainya untuk menutup aurat, dan seterusnya, ini adalah manfaat. Jadi, sebenarnya maksud dari memiliki sesuatu adalah karena terdapat manfaat yang kita dapat rasakan, bukan karena dzatnya. Jika misalnya,mobil yangkitamiliki sudah tidak bisa kita kendarai, tentunya mobil tersebut tidak akan kita pakai lagi, walaupun secara fisik mungkin masih terlihat bagus. Sedangkan hak adalah sesuatu yangtelah ditatapkan oleh syara' terhadap seseorang untuk diberi kekhususan atas suatu kekuasaan atau suatu beban hukum tertentu. Artinya, dengan adanya hak, seseorang memiliki kekuasaan atau kekebalan hukum atas sesuatu yang diakui oleh syara'. Pemilik hak tersebut memiliki wewenang atau kuasa penuh atas barang yang telah dibenarkan oleh syara' untuknya. Terkadang hak itu berhubungan dengan harta, seperti hak kepemilikan, hak untuk merawat dan memelihara kebun, dan lainnya. Tapi, terkadang juga tidak berhubungan dengan harta, seperti hak untuk merawat anak. Manfaat dan hak yang terkait dengan harta, atau pun hak yang tidak terkait dengan harta, menurut pandangan hanafiyah tidak termasuk dalam katagori harta. Karena tidak dimungkinkan untuk meiliki dan menyimpan dzatnya ('ain). Selain itu, manfaat dan hak bersifat maknawi (ingtangible), tidak permanen dan akan berkurang secara bertahap. Menurut jumhur ulama, hak dan manfaat tetap merupakan harta, karena bisa dimungkinkan untuk memiliki dan menjaganya, yaitu dengan menjaga asaldan sumbernya. Dengan alasan, karena ada hak dan manfaatlah seseorang bermaksud untuk memiliki suatu benda (dzat, materi). Dan karenanya, orang suka dan berlomba untuk mendapatkannya. Jika sudah tidak terdapat manfaat dan hak pada suatu benda, maka tidak mungkin orang akan mengejar untuk memiliki suatu benda. Berdasarkan penjelasan ini, dapat dipahami bahwa substansi seseorang memiliki benda (dzat, materi) adalah karena adanya unsur manfaat, jika manfaat itu telah tiada, maka ia akan cenderung untuk meninggalkannya. Adanya perbedaan pandangan ini mempunyai implikasi hukum tertentu, khususnya dalam hal ghasab (menggunakan barang orang lain tanpa izin pemilik), ijarah (sewa-menyewa) atau pun hukum waris. Menurut Hanafiyah, orang yang meng-ghasab barang orang lain dalam kurun waktu tertentu, kemudian barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya, maka orang yang meng-ghasab tersebut tidak berkewajiban untuk mengganti nilai manfaat yang telah dipakai. Dengan catatan, barang tersebut masih utuh dan bukan milik anak yatim , barang waqf, atau barang yang secara khusus dimaksudkan untuk dikomersilkan. Berbeda dengan jumhur ulama, si peng-ghasab berkewajiban untuk mengganti nilai manfaat selama ia menggunakan barang ghasab tersebut. Menurut Hanafiyah, akad ijarah dengan sendirinya akan selesai (berhenti) dengan meninggalnya pemilik barang yang disewakan, karena manfaat bukan harta, sehingga dapat diwariskan. Mayoritas ulama fiqh mengatakan akad ijarah tetap berlangsung, walaupun pemiliknya telah meninggal dunia sampai batas waktu yang telah disepakati dalam akad. E. Pembagian Harta dan implikasinya Mutaqawwim wa Ghair Mutaqawwim (harta yang bernilai dan harta yang tidak bernilai) Menurut Wahbah Zuhaili (1989. hal. 44), al-maal al mutaqawwim adalah harta yang dicapai atau diperoleh manusia dengan sebuah upaya, dan diperbolehkan oleh syara' untuk memanfaatkannya, seperti makanan, pakaian, kebun apel, dan lainnya. al-maal gairu al mutaqawwim adalah harta yang belum diraih atau dicapai dengan suatu usaha, maksudnya harta tersebut belum sepenuhnya berada dalam genggaman kepemilikan manusia, seperti mutiara di dasar laut, minyak di perut bumi, dan lainnya Atau harta tersebut tidak diperbolehkan syara' untuk dimanfaatkan, kecuali dalam keadaan darurat, seperti minuman keras. Bagi seorang muslim, harta gairu al mutaqawwim tidak boleh dikonsumsi, kecuali dalam keadaan darurat. Namun demikian, yang diperbolehkan adalah kadar minimal yang bisa menyelamatkan hidup, tidak boleh berlebihan. Bagi non-muslim, minuman keras dan babi adalah harta mutaqwwim, ini menurut pandangan ulama Hanafiyah. Konsekuensinya, jika terdapat seorang muslim atau non-muslim yang merusak kedua komoditas tersebut, maka berkewajiban untuk menggantinya. Berbeda dengan mayoritas ulama fiqh, kedua komoditas tersebut termasuk dalam ghair mutaqawwim, sehingga tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Dengan alasan, bagi non-muslim yang hidup di daerah Islam harus tunduk aturan Islam dalam hal kehidupan bermuamalah. Apa yang diperbolehkan bagi muslim, maka dibolehkan juga bagi non-muslim, dan apa yang dilarang bagi muslim, juga berlaku bagi non-muslim. Impilikasi hukum Dengan adanya pembagian harta menjadi mutaqawwim dan ghair mutaqawwim terdapat implikasi hukum yang harus diperhatikan: 1. Sah atau tidaknya harta tersebut menjadi obyek transaksi. Al-maal al mutaqawwim bisa dijadikan obyek transaksi, dan transaksi yang dilakukan sah adanya. Misalnya jual beli, sewa-menyewa, hibah, syirkah, dan lainnya. Untuk ghair mutaqawwim, tidak bisa dijadikan obyek transaksi, maka transaksinya rusak atau batal adanya. Al-maal al mutaqawwim sebagai obyek transaksi, merupakan syarat sahnya sebuah transaksi. 2. Adanya kewajiban untuk menggantinya, ketika terjadi kerusakan. Jika harta mutaqawwim dirusak, maka harus diganti. Jika terdapat padanannya, maka harus diganti semisalnya, namun tidak bisa diganti sesuai dengan nilainya. 3. Jika harta ghair mutaqawwim dimiliki oleh seorang muslim, maka tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Berbeda dengan non-muslim (yang hidup dalam daerah kekuasaan Islam), jka hewan babinya dibunuh, atau minuman kerasnya dibakar, maka ada kewajiban untuk menggantinya, karena keduanya merupakan al-maal al mutaqawwim bagi kehidupan mereka, ini merupakan pandangan ulama fiqh Hanafiyah Mal Uqar Wa Manqul (harta tetap dan harta berpindah) Menurut Hanafiyah (1989. hal. 46), manqul adalah harta yang memungkinkan untuk dipindah, ditransfer dari suatu tempat ke tempat lainnya, baik bentuk fisiknya (dzat atau 'ain) berubah atau tidak, dengan adanya perpindahan tersebut. Diantaranya adalah uang, harta perdagangan, hewan, atau apa pun komoditas lain yang dapat ditimbang atau diukur. Sedangkan ‘iqar adalah sebaliknya, harta yang tidak bisa dipindah dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti tanah dan bangunan. Namun demikian, tanaman, bangunan atau apapun yang terdapat di atas tanah, tidak bisa dikatakan sebagai iqar kecuali ia tetap mengikuti atau bersatu dengan tanahnya. Jika tanah yang terdapat bangunannya dijual, maka tanah dan bangunan tersebut merupakan harta 'iqar. Namun, jika bangunan atau tanaman dijual secara terpisah dari tanahnya, maka bangunan tersebut bukan merupakan harta 'iqar. Intinya, menurut Hanafiyah, harta 'iqar hanya terfokus pada tanah, sedangkan manqul adalah harta selain tanah. Berbeda dengan Hanafiyah, ulama madzhab Malikiyah cenderungmempersempit makna harta manqul, dan memperluas makna harta iqar. Menurut malikiyah, manqul adalah harta yang mungkin untuk dipindahkan atau ditransfer dari satu tempat ketempat lainnya tanpa adanya perubahan atas bentuk fisik semula, seperti kendaraan, buku, pakaian, dan lainnya. Sedangkan 'iqar adalah harta yang secara asal tidak mungkin bisa dipindah atau ditransfer. seperti tanah, atau mungkin dapat dipindah, akan tetapi terdapat perubahan atas bentuk fisiknya, seperti pohon, ketika dipindah akan berubah menjadi lempengan kayu. Dalam perkembanganya, harta manqul dapat berubah menjadi harta 'iqar, dan begitu juga sebaliknya. Pintu, listrik, batu bata, semula merupakan harta manqul, akan tetapi setelah melekat pada bangunan, maka akan berubah menjadi harta 'iqar. Begitu juga dengan batu bara, minyak bumi, emas, ataupun barang tambang lainnya, semula merupakan harta 'iqar, akan tetapi setelah berpisah dari tanah berubah menjadi harta manqul. Implikasi hukum Dengan adanya pembagian harta menjadi 'iqar dan manqul, akan terdapat beberapa implikasi hukumsebagai berikut 1. Dalam harta 'iqar terdapat hak syuf'ah, sedangkan harta manqul tidak terdapat di dalamnya, kecuali harta manqul tersebut menempel pada harta 'iqar. 2. Menurut Hanafiyah, harta yang diperbolehkan untuk di -waqaf-kan adalah harta 'iqar. Harta manqul diperboleh jika menempel atau ikut terhadap harta 'iqar, seperti me-waqaf-kan tanah beserta bangunan, perabotan, dan segala sesuatu yang terdapat di atasnya. Atau harta manqul yang secara umum sudah menjadi obyek waqaf, seperrti mushaf, kitab-kitab, atau peralatan jenazah. Berbeda dengam jumhur ulama, menurut mereka. kedua macam harta tersebut dapat dijadikan sebagai obyek waqaf. 3. Seorang wali tidak boleh menjual harta 'iqar atas orang yang berada dalam tanggungannya, kecuali mendapatkan alasan yang dibenarkan syara', seperti untuk membayar hutang, memenuhi kebutuhan darurat, atau kemaslahatan lain yang bersifat urgen. Alangkah baiknya jika harta manqul yang lebih diprioritaskan untuk dijual, karena harta 'iqar diyakini memiliki kemaslahatan lebih besar bagi pemilikinya, jadi tidak mudah untuk menjualnya. 4. Menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf, harta ;iqar boleh ditransaksikan, walaupun belum diserahterimakan. Berbeda dengan harta manqul, ia tidak bisa ditransaksikan sebelum ada serah-terima, karena kemungkinan terjadinya kerusakan sangat besar. Mal Mitsli Wa Qimi (harta yang sepadan dan dan bernilai) Al maal al mitsli adalah harta yang terdapat padanan / persamaannya dipasaran, tanpa adaya perbedaan atas bentuk fisik atau bagian-bagiannya, atau kesatuannya. Harta mitsli dapat dikatagorikan menjadi empat bagian: 1. Al makilaat (sesuatu yang dapat ditakar) seperti; gandu, terigu, beras; 2. Al mauzunaat (sesuatu yang dapat ditimbang) seperti; kapas, besi, tembaga; 3. Al 'adadiyat (sesuatu yang dapat dihitung) seperti; pisang, telor, apel, begitu juga dengan hasil-hasil industri, seperti; mobil yang satu tipe, buku-buku baru, perabotan rumah, dan lainnya; 4. Al dzira'iyat (sesuatu yang dapat diukur dan memiliki persamaan atas bagian-bagiannya) seperti; kain, kertas, tapi jika terdapat perbedaan atas juz-nya (bagian), maka dikatagorikan sebagai harta qimi, seperti tanah Al maal al qimi adalah harta yang tidak terdapat padanannya di pasaran, atau terdapat padanannya, akan tetapi nilai tiap satuannya berbeda, seperti domba, tanah, kayu, dan lainnya. Walaupun sama jika dilihat dari fisiknya, akan tetapi stiap satu domba memiliki nilai yang berbeda antara satu dan lainnya. Juga termasuk dalam harta qimiadalah durian, semangka yang memilki kualitas dan bntuk fisik yang berbeda. Dalam perjalanannya, harta mistsli bisa berubah menjadi harta qimi atau sebaliknya; 1. Jika harta mitsli susah untuk didapatkan di pasaran (terjadi kelangkaan atau scarcity), maka secara otomatis berubah menjadi harta qimi, 2. Jika terjadi percampuran antara dua harta mitsli dari dua jenis yang berbeda, seperti modifikasi Toyota dan Honda, maka mobil tersebut menjadi harta qimi, 3. Jika harta qimi terdapat anyak padanannya di pasaran, maka secara otomatis menjadi harta mitsli. Implikasi hukum Dengan adanya pembagian harta mitsli dan qimi, memiliki implikasi sebagai berikut; 1. Harta mitsli bisa menjadi tsaman (harga) dalam jual-beli hanya dengan menyebutkan jenis dan sifatnya, sedangkan harta qimi tidak bisa menjadi tsman. Jika harta qimi dikaitkan dengan hak-hak finansial, maka harus disebutkan secara detail, karena hal itu akan mempengaruhi nilai yang dicerminkannya, seperti domba Australia, tentunya akan berbeda nilainya dengan domba Indonesia, walaupun mungkin jenis dan sifatnya sama. 2. Jika harta mitsli dirusak oleh orang, maka wajib diganti dengan padanannya yang mendekati nilai ekonomisnya (finansial), atau sama. 3. Tapi jika harta qimi dirusak, maka harus diganti sesuai dengan keinginanya, walaupun tanpa izin dari pihak lain. Berbeda dengan harta qimi walaupun mungkin jenisnya sama, tapi nilainya bisa berbeda, dengan demikian pengambilan harus atas izin orang-orang yang berserikat. 4. Harta mitsli rentan dengan riba fadl. Jika terjadi pertukaran diantara harta mitsli, dan tidak terdaat persamaan dalam kualitas, kuantitas, dankadarnya, maka akan terjebak dalam riba fadl. Berbeda dengan harta qimi yang relatif resisten terhadap riba. Jika dipertukarkan dan terdapatperbedaan, maka tidak ada masalah. Diperbolehkan menjual satu domba dengan dua domba. Mal Istihlakhi Wa Isti'ali (harta yang dapat dikonsumsi dan harta yang tidak dapat dikonsumsi ) Al maal al istikhlaki adalah harta yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan kecuali dengan merusak bentuk fisik harta tersebut, seperti aneka warna makanan dan minuman, kayu bakar, BBM, uang, dan lainnya. Jika kita ingin memanfaatkan makanan dan minuman, maka kita harus memakan dan meminumnya sampai bentuk fisiknya tidak kita jumpai, artinya barang tersebut tidak akan mendatangkan manfaat, kecuali dengan merusaknya. Adapun untuk uang, cara mengkonsumsinya adalah dengan membelanjakannya. Ketika uang tersebut keluar dari saku dan genggaman sang pemilik, maka uang tersebut dinyatakan hilang dan hangus, karena sudah menjadi milik orang lain, walaupun mungkin secara fisik, bentuk dan wujudnya masih tetap sama. Intinya, harta istikhlaki adalah harta yang hanya bisa dikonsumsi sekali saja. Al maal al isti'mali adalah harta yang mungkin untuk bisa dimanfaatkan tanpa harus merusak bentuk fisiknya, seperti perkebunan, rumah kontrakan, kendaraan, pakaian, dan lainnya. Berbeda dengan istikhlaki, harta isti'mali bisa dipakai dan dikonsumsi untuk beberapa kali. Implikasi hukum Harta istikhlaki bisa ditransaksikan dengan tujuan konsumsi, tidak bisa misalnya kita meminjamkan dan atau menyewakan makanan. Sebaliknya, harta isti'mali bisa digunakan sebagai obyek iijarah (sewa). Namun demikian kedua harta tersebut bisa dijadikan sebagai obyek jual beli atau titipan Disamping itu, Mustafa A. Zarqa jilid tiga h. 212-juga membagi harta menjadi maal al ashl dan maal al tsamarah. Yang dimaksud dengan maal al ashl adalah harta benda yang dapat menghasilkan harta lain. Sedangakan harta maal al tsamarahadalah harta benda yang tumbuh atau dihasilkan dari maal al ashl tanpa menyebabkan kerusakan atau kerugian atasnya. Misalnya sebidang kebun menghasilkan buah-buahan. Maka, kebun merupakan maal al ashl, sedang buah-buahan merupakan maal al tsamarah. Pembagian harta ini menimbulkan beberapa konsekuensi hukum sebagai berikut; 1. Pada prinsipnya, harta wakaf tidak dapat dimiliki atau ditasharrufkan menjadi milik peorangan, namun hal serupa dapat dilakukan terhadap hasil harta wakaf. 2. Harta yang dipruntukkan bagi kepentingan dan fasilitas umum, seerti jalan dan pasar,pada prinsipnya tidak dapat dimiliki oleh erseorangan. Sedangkan penghasilan dari harta umum ini dapat dimiliki (Mas'adi,2002, hal.27-28) IV. Kesimpulan Walaupun para ulama’ berbeda pendapat dalam dalam hal pengertian dan implikasi hukumnya tapi pada subtansinya adalah sama Al-maal diartikan segala sesuatu yang memiliki nilai, dimana bagi orang yang merusaknya, berkewajiban untuk menanggung atau menggantinya. Lebih lanjut Imam Syafii mengatakan, al-maal dikhususkan pada sesuatu yang bernilai dan bisa diperjualbelikan dan memiliki konsekuensi bagi yang merusaknya. Berdasarkan pengertian ini, al-maal haruslah sesuatu yangdapat merefleksikan sebuah nilai finansial, dalam arti ia bisa diukur dengan satuan moneter. Dalam pembagian harta dan implikasi hukum yang ditimbulkan berbeda melihat situasi dan kondisi yang tepat sehingga apa yang menjadi tujuan hukum / syariah islam dapat tercapai. Pembagian harta dan implikasi hukum dapat diklompokkan kedalam istilah harta yang bernilai dan harta yang tidak bernilai (mal mutqawwim wa ghoiru mutaqwwim), harta tetap dan berpindah (mal iqar wa manqul), harta yang sepadan dan harta yang bernilai (mal mitsli wa qimi), dan harta yang dapat dikonsumsi dan harta yang tidak dapat dikonsumsi (maal istihlakhi wa isti’ali). V. Penutup Demikianlah makalah ini kami paparkan. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Kami sadar masih bayak kekurangan dalam makalah ini saran dan kritik yang konstuktif kami harapkan guna memperbaiki makalah kami selanjutnya. DAFTAR PUSTAKA Musthafa Ahmad Az Zarqa, Al Fiqh Fi Tsubih Al Jadi (Beirut: Dar-al Fikr, 1989) Usman, Suparman Usman. Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001 Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pengantar Fikih Muamalah , Jakarta: Bulan Bintang, 1973 Drs. Gufron A. Masadi, M.Ag, Fiqih Mu’amalah Kontekstual, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002. Abu Zahrah, Muhammad. Muhadarat fi Tarikh al-Mazahib al-Fiqhiyyah, Bayrut: Jam’iyyat al-Dirasat al-Islamiyyah, [t.th.] Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi. Fikih Madzhab Indonesia Pemikiran Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, 1973 Munawwir Syadzali, MA., Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), 1995),

Tidak ada komentar:

Posting Komentar