Sabtu, 11 April 2015

FUNGSI UANG DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM

A. PENDAHULUAN Moneter dalam konsep ekonomi didefinisi-kan kebijakan moneter adalah mengenai peranan uang dalam perekonomian, baik mengenai teori-teori tentang uang, pengelolaan, kebijakan, instrumen maupun institusi yang menjadikan uang sebagai objek aktifitasnya. Peranan uang dalam perekonomian merupa-kan materi yang sangat penting dalam perekonomian modern, uang ibarat detak jantung dalam tubuh manusia, tanpa uang, perekonomian tidak dapat berjalan sebagai-mana mestinya. Secara sederhana uang didefi-nisikan segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat bantu dalam pertukaran. Secara hukum, uang adalah sesuatu yang dirumuskan oleh undang-undang sebagai alat tukar. Jadi segala sesuatu dapat diterima sebagai uang jika ada aturan hukum yang menunjukkan bahwa sesuatu itu dapat digunakan sebagai alat tukar. Fungsi utama uang dalam teori ekonomi konvensional adalah: 1. Sebagai alat tukar (medium of exchange) uang dapat digunakan sebagai alat untuk mempermudah pertukaran. 2. Sebagai alat kesatuan hitung (unit of Account) untuk menentukan nilai/ harga sejenis barang dan sebagai perbandingan harga satu barang dengan barang lain. 3. Sebagai alat penyimpan/penimbun kekayaan (Store of Value) dapat dalam bentuk uang atau barang. Dalam konsep ekonomi Islam uang adalah milik masyarakat (money is goods public). Barang siapa yang menimbun uang atau dibiar-kan tidak produktif berarti mengurangi jumlah uang beredar yang dapat mengakibatkan tidak jalannya perekonomian. Jika seseorang sengaja menumpuk uangnya tidak dibelanjakan, sama halnya dengan menghalangi proses kelancaran jual beli dan berdampak pada terhambatnya proses pertukaran dalam perekonomian di masyarakat. Di samping itu penumpukan uang/ harta juga dapat mendorong manusia cenderung pada sifat-sifat tidak baik seperti tamak, rakus dan malas beramal (zakat, infak dan sadaqah). Sifat-sifat tidak baik ini juga mempunyai dampak yang tidak baik terhadap keberlang-sungan perekonomian secara makro maupun mikro. Oleh karenanya Islam melarang umatnya melakukan penumpukan/penimbunan harta, dengan istilah lain memonopoli kekayaan, “al kanzu” sebagaimana telah di-sebutkan dalam Al-Qur’an:artinya “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (Q.S at Taubah: 34). Di samping itu, uang yang di simpan tidak dimanfatkan di sektor produktif (idle asset) jumlahnya akan semakin berkurang karena adanya kewajiban zakat bagi umat Islam. Oleh karena itu uang harus berputar (Money as flow consept). Islam sangat menganjurkan bisnis/ perdagangan, investasi disektor riil, uang yang berputar untuk produksi dapat menimbulkan kemakmuran dan kesehatan ekonomi pada masyarakat. Kuantitas waktu yang di miliki setiap orang sama yaitu 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu. Namun nilai dari waktu itu akan berbeda dari satu orang keorang lainnya, tergantung pada bagaimana seseorang meman-faatkan waktunya. Semakin efektif dan efisien, maka semakin tinggi nilai waktunya. Efektif dan efisien akan mendatangkan keuntungan dunia dan akhirat. Dengan demikian uang tidak memiliki nilai waktu, namun waktulah yang memiliki nilai ekonomis (economic value of time), dengan catatan bila waktu tersebut di-manfaatkan secara baik. Implikasinya, dalam bisnis akan selalu dihadapkan risiko untung dan rugi yang tidak dapat dipastikan di masa yang akan datang, usaha yang dilakukan oleh manusia dengan sungguh-sungguh akan men-dapatkan hasil yang terbaik. B. FUNGSI UANG DALAM PERSPEKTIF ISLAM Firman Allah SWT: “…… orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS.9/ At-Taubah: 34) Dalam masyarakat yang maju, dikenal alat pertukaran dan satuan pengukur nilai untuk melakukan sebuah transaksi. Islam telah mengenal alat pertukaran dan pengukur nilai tersebut, bahkan al Quran secara eksplisit menyatakan alat pengukur nilai tersebut berupa emas dan perak dalam berbagai ayat. Para fuqaha menafsirkan emas dan perak tersebut sebagai uang dinar dan dirham. Dalam sejarah perekonomian Islam, uang sebagai alat pertukaran dan pengukur nilai tersebut sudah ada sejak zaman Khalifah Umar dan Utsman, bahkan mata uang yang dicetak pada masa Khalifah Ali masih tersimpan dalam sebuah museum di Paris. Hal ini menunjukkan bahwa dunia Islam telah mengenal mata uang jauh sebelum Adam Smith, Bapak Ekonomi Konvensional, menulis buku “The Wealth of Nations” pada tahun 1766. Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” yang ditulis pada awal abad ke-11 telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, bahwa ada kalanya seseorang mempunyai sesuatu yang tidak dibutuhkannya dan membutuhkan sesuatu yang tidak dimilikinya. Dalam ekonomi barter, transaksi hanya terjadi jika kedua pihak mempunyai dua kebutuhan sekaligus, yakni pihak pertama membutuhkan barang pihak kedua dan sebaliknya pihak kedua membutuh-kan barang pihak pertama, misalnya seseorang mempunyai onta dan membutuhkan kain. Menurut al-Ghazali, walaupun dalam ekonomi barter, dibutuhkan suatu alat pengukur nilai yang disebut sebagai “uang”. Sebagaimana contoh di atas, misalnya nilai onta adalah 100 dinar dan kain senilai 1 dinar. Dengan adanya uang sebagai alat pengukur nilai, maka uang akan berfungsi sebagai media penukaran. Namun demikian, uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri, artinya uang diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan menetap-kan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut. Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna, yang maksudnya adalah uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua barang, atau dalam istilah ekonomi klasik disebutkan bahwa uang tidak memberikan kegunaan langsung (direct utility function), yang artinya adalah jika uang digunakan untuk membeli barang, maka barang itu yang akan memberikan kegunaan. Pembahasan mengenai uang juga terdapat dalam kitab “Muqaddimah” yang ditulis oleh Ibnu Khaldun pada abad ke-14. Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Apabila suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sektor produksi, maka uang yang melimpah tersebut tidak ada nilainya. Sektor produksi merupakan motor penggerak pembangunan suatu negara karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan (pasar) terhadap produksi lainnya. Menurut Ibnu Khaldun, jika nilai uang tidak diubah melalui kebijaksanaan pemerintah, maka kenaikan atau penurunan harga barang semata-mata akan ditentukan oleh kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand), sehingga setiap barang akan memiliki harga keseimbangan. Misalnya, jika di suatu kota makanan yang tersedia lebih banyak daripada kebutuhan, maka harga makanan akan murah, demikian pula sebaliknya. Inflasi (kenaikan) harga semua atau sebagian besar jenis barang tidak akan terjadi karena pasar akan mencari harga keseimbangan setiap jenis barang, karena jika satu barang harganya naik, namun karena tidak terjangkau oleh daya beli, maka harga akan turun kembali. Merujuk kepada al-Quran, al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang menimbun uang adalah seorang penjahat, karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran. Dalam teori moneter modern, penimbunan uang berarti memperlambat perputaran uang. Hal ini berarti memperkecil terjadinya transaksi, sehingga perekonomian menjadi lesu. Selain itu, al-Ghazali juga menyatakan bahwa mencetak atau mengedar-kan uang palsu lebih berbahaya daripada mencuri seribu dirham, karena mencuri adalah suatu perbuatan dosa, sedangkan mencetak dan mengedarkan uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang palsu itu dipergunakan dan akan merugikan siapapun yang menerimanya dalam jangka waktu yang lebih panjang. Menurut konsep ekonomi Syari’ah, uang adalah uang, bukan capital, sementara dalam konsep ekonomi konvensional, konsep uang tidak begitu jelas, misalnya dalam buku “Money, Interest and Capital” karya Colin Rogers, uang diartikan sebagai uang dan capital secara bergantian, sedangkan dalam konsep ekonomi Syariah uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept dan merupakan public goods, sedangkan capital bersifat stock concept dan merupakan private goods. Uang yang mengalir adalah public goods, sedangkan yang mengendap merupakan milik seseorang dan menjadi milik pribadi (private good). Islam, telah lebih dahulu mengenal konsep public goods, sedangkan dalam ekonomi konvensional konsep tersebut baru dikenal pada tahun 1980-an seiring dengan berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan yang banyak membicarakan masalah externalities, public goods dan sebagainya. Konsep publics goods tercermin dalam sabda Rasulullah SAW, yakni “Tidaklah kalian berserikat dalam tiga hal, kecuali air, api, dan rumput.” Persamaan fungsi uang dalam sistem ekonomi Syari’ah dan konvensional adalah uang sebagai alat pertukaran (medium of exchange) dan satuan nilai (unit of account), sedangkan perbedaannya ekonomi konvensi-onal menambah satu fungsi lagi sebagai penyimpan nilai (store of value) yang kemudian berkembang menjadi “motif money demand for speculation” yang merubah fungsi uang sebagai salah satu komoditi perdagangan. Jauh sebelumnya, Imam al-Ghazali telah memperingatkan bahwa “Memperdagangkan uang ibarat memenjarakan fungsi uang, jika banyak uang yang diperdagangkan, niscaya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai uang.” Dengan demikian, dalam konsep Islam tentang uang tidak termasuk dalam fungsi utilitas karena manfaat yang kita dapatkan bukan dari uang itu secara langsung, melainkan dari fungsinya sebagai perantara untuk mengubah suatu barang menjadi barang yang lain. Dampak berubahnya fungsi uang dari sebagai alat tukar dan satuan nilai mejadi komoditi dapat kita rasakan sekarang, yang dikenal dengan teori “Bubble Gum Economic”. Namun sebenarnya, dampak tersebut sudah diingatkan oleh Ibnu Taimiyah yang lahir di zaman pemerintahan Bani Mamluk tahun 1263. Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Majmu’ Fatwa Syaikhul Islam” menyampaikan lima butir peringatan penting mengenai uang sebagai komoditi, yakni : 1. Perdagangan uang akan memicu inflasi; 2. Hilangnya kepercayaan orang terhadap stabilitas nilai mata uang akan mengurungkan niat orang untuk melakukan kontrak jangka panjang, dan menzalimi golongan masyarakat yang berpenghasilan tetap seperti pegawai/ karyawan; 3. Perdagangan dalam negeri akan menurun karena kekhawatiran stabilitas nilai uang; 4. Perdagangan internasional akan menurun; 5. Logam berharga (emas & perak) yang sebelumnya menjadi nilai intrinsic mata uang akan mengalir keluar negeri. Perdagangan uang adalah salah satu bentuk riba yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Untuk itu, marilah kita kembali kepada fungsi uang yang sebenarnya yang telah dijalankan dalam konsep Islam, yakni sebagai alat pertukaran dan satuan nilai, bukan sebagai salah satu komoditi, dan menyadari bahwa sesungguhnya uang itu hanyalah sebagai perantara untuk menjadikan suatu barang kepada barang yang lain. Dengan demikian, maka dalam praktek sebuah Bank Syariah yang benar, Bank bukan menjual-belikan uang tetapi adalah menjual-belikan barang dan atau berbagi hasil dalam sebuah kemitraan usaha guna menghindari perubahan fungsi uang dari alat pertukaran dan satuan nilai menjadi komoditi. C. PANDANGAN AL-GAZALI DAN IBNU KHALDUN TENTANG FUNGSI UANG DALAM ISLAM Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, bahwa ada kalanya seseorang mempunyai sesuatu yang tidak dibutuhkannya dan membutuhkan sesuatu yang tidak dimilikinya. Dalam ekonomi barter, transaksi hanya terjadi jika kedua pihak mempunyai dua kebutuhan sekaligus, yakni pihak pertama membutuhkan barang pihak kedua dan sebaliknya pihak kedua membutuhkan barang pihak pertama, misalnya seseorang mempunyai onta dan membutuhkan kain. Menurut Al-Ghazali, walaupun dalam ekonomi barter dibutuhkan suatu alat pengukur nilai yang disebut sebagai “uang”. Sebagaimana contoh di atas, misalnya nilai onta adalah 1000 dinar dan kain senilai 1 dinar. Dengan adanya uang sebagai alat pengukur nilai, maka uang akan berfungsi sebagai media penukaran. Namun demikian, uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri, artinya uang diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut. Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna. Maksudnya adalah uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua barang. Dalam istilah ekonomi klasik disebutkan bahwa uang tidak memberikan kegunaan langsung (direct utility function), yang artinya adalah jika uang digunakan untuk membeli barang, maka barang itu yang akan memberikan kegunaan. Pembahasan mengenai uang juga terdapat dalam kitab “Muqaddimah” yang ditulis oleh Ibnu Khaldun. Beliau menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Apabila suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sektor produksi, maka uang yang melimpah tersebut tidak ada nilainya. Sektor produksi merupakan motor penggerak pembangunan suatu negara karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan (pasar) terhadap produksi lainnya. Menurut Ibnu Khaldun, jika nilai uang tidak diubah melalui kebijaksanaan pemerintah, maka kenaikan atau penurunan harga barang semata-mata akan ditentukan oleh kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand), sehingga setiap barang akan memiliki harga keseimbangan. Misalnya, jika di suatu kota makanan yang tersedia lebih banyak daripada kebutuhan, maka harga makanan akan murah, demikian pula sebaliknya. Inflasi (kenaikan) harga semua atau sebagian besar jenis barang tidak akan terjadi karena pasar akan mencari harga keseimbangan setiap jenis barang. Apabila satu barang harganya naik, namun karena tidak terjangkau oleh daya beli, maka harga akan turun kembali. Merujuk kepada Al-Quran, al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang menimbun uang adalah seorang penjahat, karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran. Dalam teori moneter modern, penimbunan uang berarti memperlambat perputaran uang. Hal ini berarti memperkecil terjadinya transaksi, sehingga perekonomian menjadi lesu. Selain itu, al-Ghazali juga menyatakan bahwa mencetak atau mengedarkan uang palsu lebih berbahaya daripada mencuri seribu dirham. Mencuri adalah suatu perbuatan dosa, sedangkan mencetak dan mengedarkan uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang palsu itu dipergunakan dan akan merugikan siapapun yang menerimanya dalam jangka waktu yang lebih panjang. D. FUNGSI UANG : ISLAMI VERSUS KONVENSIONAL Menurut konsep Ekonomi Islam, uang adalah uang, bukan capital, sementara dalam konsep ekonomi konvensional, konsep uang tidak begitu jelas. Misalnya dalam buku “Money, Interest and Capital” karya Colin Rogers, uang diartikan sebagai uang dan capital secara bergantian. Sedangkan dalam konsep ekonomi Syariah uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept dan merupakan public goods. Capital bersifat stock concept dan merupakan private goods. Uang yang mengalir adalah public goods, sedangkan yang mengendap merupakan milik seseorang dan menjadi milik pribadi (private good). Islam, telah lebih dahulu mengenal konsep public goods, sedangkan dalam ekonomi konvensional konsep tersebut baru dikenal pada tahun 1980-an seiring dengan berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan yang banyal membicarakan masalah externalities, public goods dan sebagainya. Konsep publics goods tercermin dalam sabda Rasulullah SAW, yakni “Tidaklah kalian berserikat dalam tiga hal, kecuali air, api, dan rumput.” Persamaan fungsi uang dalam sistem Ekonomi Islam dan Konvensional adalah uang sebagai alat pertukaran (medium of exchange) dan satuan nilai (unit of account). Perbedaannya adalah ekonomi konvensional menambah satu fungsi lagi sebagai penyimpan nilai (store of value) yang kemudian berkembang menjadi motif money demand for speculation, yang merubah fungsi uang sebagai salah satu komoditi perdagangan. Jauh sebelumnya, Imam al-Ghazali telah memperingatkan bahwa “Memperdagangkan uang ibarat memenjarakan fungsi uang, jika banyak uang yang diperdagangkan, niscaya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai uang.” Dengan demikian, dalam konsep Islam, uang tidak termasuk dalam fungsi utilitas karena manfaat yang kita dapatkan bukan dari uang itu secara langsung, melainkan dari fungsinya sebagai perantara untuk mengubah suatu barang menjadi barang yang lain. Dampak berubahnya fungsi uang dari sebagai alat tukar dan satuan nilai mejadi komoditi dapat kita rasakan sekarang, yang dikenal dengan teori “Bubble Gum Economic”. E. ANALISIS TERHADAP FUNGSI UANG DALAM EKONOMI ISLAM DAN KONVENSIONAL. Kesalahan besar ekonomi konvensional ialah menjadikan uang sebagai komoditas, sehingga keberadaan uang saat ini lebih banyak diperdagangkan daripada digunakan sebagai alat tukar dalam perdagangan. Lembaga perbankan konvensional juga menjadikan uang sebagai komoditas dalam proses pemberian kredit. Instrumen yang digunakan adalah bunga (interest). Uang yang memakai instrumen bunga telah menjadi lahan spekulasi empuk bagi banyak orang di muka bumi ini. Kesalahan konsepsi itu berakibat fatal terhadap krisis hebat dalam perekonomian sepanjang sejarah, khususnya sejak awal abad 20 sampai sekarang. Ekonomi berbagai negara di belahan bumi ini tidak pernah lepas dari terpaan krisis dan ancaman krisis berikutnya pasti akan terjadi lagi. Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar (medium of exchange), bukan sebagai barang dagangan (komoditas) yang diperjualbelikan seperti sekarang ini. Ketentuan ini telah banyak dibahas ulama seperi Ibnu Taymiyah, Al-Ghazali, Al-Maqrizi, Ibnu Khaldun dan lain-lain. Hal dipertegas lagi Choudhury dalam bukunya “Money in Islam: a Study in Islamic Political Economy”, bahwa konsep uang tidak diperkenankan untuk diaplikasikan pada komoditi, sebab dapat merusak kestabilan moneter sebuah negara. Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi. Islam juga sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena Rasulullah telah menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu yaitu barter (bai’ al muqayyadah), dimana barang saling dipertukarkan. Menurut Afzalur Rahman, Rasulullah Saw menyadari akan kesulitan-kesulitan dan kelemahan – kelemahan akan sistim pertukaran ini, lalu beliau ingin menggantinya dengan sistim pertukaran melalui uang. Oleh karena itu beliau menekankan kepada para sahabat untuk menggunakan uang dalam transaksi-transaksi mereka. Hal ini dapat dijumpai dalam hadits-hadits antara lain seperti diriwayatkan oleh Ata Ibn Yasar, Abu Said dan Abu Hurairah, dan Abu Said Al Khudri. Dari Abu Said r.a, katanya : “Pada suatu ketika, Bilal datang kepada Rasulullah saw membawa kurma Barni. Lalu Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Kurma dari mana ini ?” Jawab Bilal, “Kurma kita rendah mutunya. Karena itu kutukar dua gantang dengan satu gantang kurma ini untuk pangan Nabi SAW.” Maka bersabda Rasulullah SAW, lnilah yang disebut riba. Jangan sekali-kali engkau lakukan lagi. Apabila engkau ingin membeli kurma (yang bagus), jual lebih dahulu kurmamu (yang kurang bagus) itu, kemudian dengan uang penjualan itu beli kurma yang lebih bagus.” (H.R Bukhari Muslim). Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi Saw memerintahkan agar menjuall kurma (yang kurang bagus) terlebih dahulu, kemudian uang penjualan itu digunakan untuk membeli kurma yang berkualitas bagus tadi. Jadi Nabi saw melarang menukar secara langsung 2 sha’ kurma kurang bagus dengan 1 sha’ kurma yang berkualitas bagus. Rasulullah Saw tidak menyetujui transaksi-transaksi dengan sistim barter, karena itu beliau menganjurkan penggunaan uang sebagai alat tukar. Sementara itu, menurut Dr. Rif at al-‘Audi, dalam bukunya Min al-Turats al-Iqtishad li al-Muslimin, bahwa uang merupakan konsep aliran (flow concept) yaitu yang tidak bisa dijadikan komoditas, sedangkan capital bersifat konsep persediaan (stock concept). Dalam ekonomi konvensional terdapat beberapa pengertian seperti yang diungkapkan oleh Frederick Mishkin dalam bukunya Economiss of Money, Banking and Financial Institutionas. Islam tidak mengenal konsep time value of money (yang popular dengan istilah—time is money), tetapi Islam mengenal konsep economic value of time yang artinya bahwa yang bernilai adalah waktunya itu sendiri. Islam memperbolehkan pendapatan harga tangguh bayar lebih tinggi dari pada bayar tunai. Yang lebih menarik adalah dibolehkannya penetapan harga tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali bukan disebabkan time value of money, namun karena semata-mata karena ditahannya aksi penjualan barang. Sebagai contoh, bila barang dijual tunai dengan untung Rp.500,- maka penjualan dapat membeli lagi dan menjualnya kemudian sehingga dalam satu hari itu keuntungannya Rp.1000,- sedangkan bila dijual tangguh bayar maka hak Penjual jadi tertahan, sehingga ia tidak dapat membeli lagi dan menjual lagi, akibat lebih jauh itu, hak dari keluarga dan anak Penjual untuk makan malam tertahan pada pembeli. Alasan Inilah, yaitu tertahannya hak penjual yang telah memenuhi Kewajiban (penyerahan barang) maka Islam membolehkan harga tangguh lebih tinggi dari pada harga tunai. Adapun motif permintaan akan uang—dalam Islam—adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction). Dalam konsep Islam, tidak dikenal money demand for speculation, karena spekulasi tidak diperkenankan. Lain halnya dengan sistem konvensional yang tentunya membuka peluang lebar-lebar dengan kebolehan dalam memberikan bunga atas harta. Islam malah menjadikan uang (harta) sebagai objek zakat, uang adalah milik masyarakat sehingga menimbun uang dibawah bantal atau dibiarkan tidak produktif dilarang, karena hal itu mengurangi jumlah uang yang beredar dimasyarakat. Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan uang merupakan alat-tukar yang meringankan beban manusia dalam pelaksanaan tukar-menukar, sebab uang itu berguna bagi umum dan dapat digunakan oleh umum. Dengan redaksi lain bahwa uang merupakan segala sesuatu yang diterima umum diterima sebagai alat penukar. Dalam ekonomi konvensional uang ‘seolah-olah’ dijadikan manusia sebagai, “tuhan”, Dimana masyarakat memandang uang adalah segalanya, sebagai alat yang penting dan diletakkan sebagai nomor wahid. Manusia kian berpacu dalam mencari uang. Kekayaan diukur dengan banyak sedikitnya uang. Bahkan kesenangan seolah-olah dilukiskan dengan memiliki uang. Hal ini yang memacu ekonomi konvensional sebab memandang uang sebagai medium of exchange juga sebagai store of value / wealth. Lain halnya dimensi ekonomi Islam bahwa uang merupakan segala sesuatu yang umum diterima dan dinilai hanya sebagai alat penukar (medium of exchange) bukan sebagai alat penimbun kekayaan (store of wealth / value). Banyak lagi perbedaan yang prinsipil di antara kedua konsep ekonomi tersebut, antara lain : bahwa menurut Islam uang adalah public good, sedangkan dalam ekonomi konvensional adalah private goods. Uang sebagai public good, berarti bahwa uang pada dasarnya secara fungsional adalah milik umum, karena itu uang harus beredar di dalam perekonomian. Uang tidak boleh ditimbun (iktinaz); uang tidak boleh idle (menganggur), ia harus diproduktifkan dalam bisnis riil, seperti melalui investasi mudharabah atau musyarakah. Uang yang ditimbun akan membuat perekonomian lesu darah. Karena itu Imam Ghazali melarang menjadikan uang dinar dan dirham menjadi perhiasaan, karena menjadikannya sebagai perhiasaan berarti menarik uang dari peredaran dan memenjarakan uang. Bila uang terpenjara, itu berakibat buruk bagi perekonomian. Jadi, menurut ekonomi Islam, uang adalah flow concept, bukan stock concept sebagaimana dalam ekonomi konvensional. Dalam Islam, uang bagaikan air yang mengalir. Air yang tidak mengalir akan menimbulkan penyakit. Untuk itulah uang harus senantiasa terus berputar secara alami dalam perekonomian, semakin cepat uang berputar dalam perekonomian maka akan semakin tinggi pendapatan masyarakat, maka akan semakin baik perekonomian. Bagi mereka yang tidap dapat mengaktifkan hartanya, ‘lagi-lagi’ Islam sangat menganjurkan untuk melakukan investasi dengan perinsip mudharabah atau musyarakah. Dalam hal ini Nabi bersabda, Ketahuilah, Siapa saja di antara kamu yang memelihara harta anak yatim, sedangkan anak yatim itu memiliki uang (dinar-dirham), maka bisniskanlah, jangan dibiarkan idle, sehingga nanti uang itu habis dimakan sedeqah/zakat Persamaan dan perbedaan pandangan mengenai uang antara ekonomi konvensional dan ekonomi Islam di atas, tentu meninggalkan pertanyaan apakah masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Marilah kita mengkritisi peran dan fungsi uang yang pada akhirnya memunculkan ide bunga pada kasus yang terdapat di ekonomi konvensional, terutama fungsi uang sebagai alat penyimpan daya beli atau pengukur nilai kekayaan dan sebagai standar pembayaran yang ditangguhakan, sebab peran uang yang lain seperti sebagai alat tukar atau media pertukaran dan sebagai satuan hitung bisa diterima dalam ekonomi Islam. Menurut ekonomi Islam uang adalah sebagai fasilitator atau mediasi pertukaran atau medium of exchange dan bukan komoditas yang dapat dipertukarkan dan disimpan sebagai asset dan kekayaan individu. Persoalan timbul ketika uang dianggap sebagai alat penyimpan nilai atau store of value. Dengan demikian uang dianggap sebagai kekayaan yang dimiliki secara pribadi, padahal uang adalah milik umum atau public property yang harus selalu disirkulasikan. Bila uang sudah dianggap sebagai alat penyimpan nilai dan kekayaan, maka akan banyak sekali terjadi penimbunan-penimbunan dan pemegangan uang secara spekulatif yang berakibat kepada terhambatnya arus pertukaran komoditas, barang dan jasa di dalam perekonomian. Hal ini karena secara teoritis, pemegangan uang secara spekulatif mengatakan bahwa orang dapat berpekulasi mengenai perubahan tigkat bunga di waktu yang akan datang termasuk perubahan harga obligasi di pasar obligasi. Bila seseorang mengharapkan tingkat bunga yang akan datang turun, maka lebih baik baginya untuk membeli obligasi yang berarti megurangi uang tunai yang dipegangnya, dengan harapan ia dapat memproleh keuntungan berupa capital gain berupa kenaikan nilai atau bunga obligasi yang dibelinya. Sebaliknya bila ia mengharapkan tingkat bunga yang akan datang naik, maka lebih baik baginya untuk menjual obligasi yang yang ia panyai dan menyimpan kekayaannya dalam bentuk uang, dengan harapan ia dapat menghindari kerugian berupa capital loss yang mungkin terjadi akibat turunnya harga obligasi yang ia punyai. Kenyataan inilah yang menghambat fungsi uang yang sesungguhnya sebagai alat tukar atau medium of exchange dan pada suatu titik tertentu dapat membuat instabilitas nilai mata uang yang disebabkan tidak berimbangnya permintaan dan penawaran uang di pasar. Inilah kelemahan pandangan ekonomi konvensional yang mengatakan bahwa fungsi dan peran uang adalah sebagai alat penyimpan nilai dan kekayaan. Dalam pandangan ekonomi Islam fungsi dan peran uang hanya sebagai alat pertukaran dan sebagai alat pengukur nilai, karena itu dalam ekonomi Islam uang tidak boleh dijadikan sebagai penyimpan kekayaan apalagi ditimbun dan diendapkan. Pada suatu tingkat teoritis ekonomi Islam memberikan remedi mengenai hal ini dengna cara penghapusan system bunga dan dikenakannya zakat pada uang yang tidak digunakan, sehingga diharapkan dapat mengurangi nafsu pemegangan uang secara spekulatif. Mengapa hal itu dapat terjadi di dalam system perekonomian konvensional? Jawabanya adalah bahwa uang dipaksakan untuk menjadi alat penyimpan nilai yang stabil, sehingga membuat orang yang memegang uang tunai untuk meminta premi liquiditas atau bunga untuk meminjamkan uangnya. Seharusnya peminjaman uang yang digunakan untuk kegiatan ekonomi tidak dikenakan bunga, karena memang uang di-design untuk menjadi alat pertukaran yang memang harus selalu bersirkulasi dalam kegiatan ekonomi. Sekali lagi pemaksaaan fungsi uang sebagai alat penyimpan nilai yang stabil akan berakibat kepada timbulnya bunga yang merupakan beban ekonomi bagi para pelaku ekonomi yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi atau high cost economy. Dampak pemaksaan fungsi uang sebagai alat penyimpan nilai kekayaan yang stabil –dengan penimbunan dan pemegangan uang secara spekulatif yang menimbulkan bunga ini- adalah terjadinya instabilitas dalam nilai mata uang, karena peredaran uang terganggu sehingga supply uang di pasar atau di masyarakat juga berkurang, selain itu adalah terjadinya fluktuasi output dan tingkat penyerapan tenaga kerja yang berakibat kepada timpangnya distribusi pendapatan. Dalam ekonomi konvensional bunga dianggap sebagai harga dari uang atau modal yang digunakan untuk kegiatan investasi. Padahal investasi belum tentu mendapatkan keuntungan dan bahwa setiap usaha pasti menghadapi kemungkinan untung rugi atau kemungkinan resiko kegagalan itu ada, sehingga pengembalian terhadap uang modal bisa saja berupa positive return atau zero return atau negative return, sementara bunga bersifat positive return. Hal ini terjadi karena konsep ekonomi konvensional yang menganggap peran dan fungsi uang sebagi alat penyimpan kekayaan dan sebagai alat standar pembayaran di masa depan yang tentu saja memperhitungkan bunga. Dan dalam ekonomi konvensional uang adalah identik dengan modal yang apabila digunakan harus memperhitungkan rate of return dari penggunaan tersebut. Sekarang marilah kita membuat hipotesa. Seandainya kita berhipotesa bahwa bunga dilarang sama sekali di dalam suatu perekonomian. Apa yang akan terjadi? Dalam keadaan seperti ini tentunya pemilik uang akan menggunakan uangnya baik untuk kegiatan konsumsi atau investasi. Dalam hal ini system Mudarabah atau Qirad akan memainkan peran yang signifikan dalam perkonomian, banyak orang yang berinvestasi di pasar saham untuk mendapatkan keuntungan bagi hasil dan sebagian lainnya melakukan usaha bisnisnya sendiri. Dalam situasi yang demikian problem akan timbul disisi penawaran uang atau supply of money, dimana para pemilik uang akan menimbun uang sebagai kekayaan yang paling liquid atau menyimpannya berupa emas dan komoditas lainnya yang tahan lama yang tidak terlalu memakan biaya. Ketika terjadi penimbunan semacam itu, pemerintah terpaksa harus menyediakan uang dan kekayaan sebanyak uang dan kekayaan yang ditimbun ditambah dengan uang yang akan diciptakan. Keadaan ini diperparah lagi oleh banyaknya permintaan akan uang di lembaga perbankan dengan bunga nol, sehingga pemerintah melalui otoritas keuangan negara harus menyediakan permintaan ini. Dan jika permintaan uang melebihi penawarannya, maka yang terjadi adalah inflasi dikarenakan uang beredar terlalu banyak. Belum lagi mereka yang menimbun kekayaannya yang berupa saham dan emas yang siap menukarnya dengan uang menyebabkan peredaran uang di pasar begitu besar. Akibat dari semua ini adalah keterpurukan ekonomi dan masyarakat miskinlah yang paling banyak menanggung derita akibat dari keterpurukan ekonomi ini. Sekarang misalnya, otoritas keuangan (Bank Sentral) bekerja keras untuk menata kembali manajemen lembaga keuangan dan perbankan bebas bunga dengan misalnya, memberikan kontrol yang ketat, -kemungkinan gagal dalam mengontrol lembaga-lembaga tersebut akan berakibat kepada krisis keuangan disebabkan kredit macet dan moral hazard atau mungkin secara diam-diam mereka akan memberlakukan system bunga- atau misalnya otoritas keuangan mewajibkan kepada majemen keuangan dan perbankan untuk melakukan study feasibilitas sebelum memberikan kredit berdasarkan kriteria bahwa (1) debitur menyerahkan jaminan keamanan (dalam pengembalian kredit), (2) proyek atau usaha yang akan dilakukan debitur atau pengusaha harus sejalan dengan rencana pembangunan ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintah, hal ini belum tentu menjamin bahwa perekonomian akan berjalan dengan baik. Inilah mungkin kelemahan dari system perbankan bebas bunga atau bagi hasil, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa bila Islam dijalankan secara utuh dan keseluruhan atau kaffah, maka praktek-praktek yang tidak baik tersebut dapat dihindari Untuk itu penyelesaiannya bukan saja hanya dengan menghapuskan bunga dalam system perekonomian dan menerapkan system bagi hasil misalnya dengan prinsip Mudarabah atau yang lainnya, tetapi yang lebih penting adalah rule of the game dari pada Islam secara kaffah harus dilaksanakan oleh semua pihak dan terutama oleh pelaku ekonomi. Islam telah memberikan peraturan dasar yang menurut Mahmud Abu Saud adalah sebagai berikut: 1. Work and Reward. Artinya, setiap orang harus bekerja untuk memperoleh pendapatan. Tidak ada pendapatan tanpa bekerja dan tidak ada jaminan memperoleh keuntungan tanpa menghadapi resiko kerugian. 1. Hoarding and Monopoly. Artinya, tidak boleh seorangpun dalam kehidupan bermasyarakat untuk melakukan penimbunan terhadap barang yang dibutuhkan oleh masyarakat atau memonopolinya, tetapi hendaknya disirkulasikannya diantara masyarakat. 1. Depreciation. Setiap komoditas harus depresiasi termasuk uang. Untuk menghindari penimbunan uang sebagai asset atau kekayaan harus didepresiasi dengan pembebanan pajak atau zakat 2,5%. 1. Money as a Means of Exchange. Artinya, uang hanyalah sebagai alat tukar dan bukan yang lainnya, sehingga uang tidak boleh diperjual belikan, meskipun terbuat dari emas atau perak. 1. Interest is Riba. Artinya, dalam ekonomi Islam bunga adalah riba dan tidak diperbolehkan. 1. Social Solidarity. Artinya, solidaritas dan saling menolong harus ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga kebutuhan hidup dapat dipenuhi oleh semua pihak dan menjunjung tinggi moral dan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Inilah antara lain yang dapat dituliskan dari kelebihan dan kelemahan konsep uang dalam pandangan ekonomi konvensional dan ekonomi Islam. Dan sebagai pelengkap pembahasan mengenai uang ini, ada baiknya bagi kita mengetahui sifat dan karakter uang sebagaimana yang dituliskan oleh Mahmud Abu Saud sebagai berikut bahwa uang: 1. Uang memiliki properti artifisial yang memberikan pemegangya pendapatan dan kekayaan riil tanpa menukarnya dengan komoditas lainnya. 2. Uang tidak membebankan biaya bagi yang memegangnya atau menyimpannya, dan tidak ada asset lain yang lebih liquid dari uang. 3. Permintaan terhadap uang merupakan derivasi dari permintaan terhadap barang dan jasa. 4. Uang terlepas dari depresiasi sebagaimanan komoditas lainnya. Uang merupakan pproduk dari konvensi sosial yang mempunyai daya beli atau purchasing power hanya karena masyarakat percaya uang itu berlaku dan mempunyai nilai dan di back up oleh kekuasaan dibandingkan dengan komoditas lainnya. F. PENUTUP Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar (medium of exchange), bukan sebagai barang dagangan (komoditas) yang diperjualbelikan seperti sekarang ini. Ketentuan ini telah banyak dibahas ulama seperi Ibnu Taymiyah, Al-Ghazali, Al-Maqrizi, Ibnu Khaldun dan lain-lain. Hal dipertegas lagi Choudhury dalam bukunya “Money in Islam: a Study in Islamic Political Economy”, bahwa konsep uang tidak diperkenankan untuk diaplikasikan pada komoditi, sebab dapat merusak kestabilan moneter sebuah negara. Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi. Islam juga sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena Rasulullah telah menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu yaitu barter (bai’ al muqayyadah), dimana barang saling dipertukarkan. Menurut Afzalur Rahman, Rasulullah Saw menyadari akan kesulitan-kesulitan dan kelemahan – kelemahan akan sistim pertukaran ini, lalu beliau ingin menggantinya dengan sistim pertukaran melalui uang. Oleh karena itu beliau menekankan kepada para sahabat untuk menggunakan uang dalam transaksi-transaksi mereka. Islam tidak mengenal konsep time value of money (yang popular dengan istilah—time is money), tetapi Islam mengenal konsep economic value of time yang artinya bahwa yang bernilai adalah waktunya itu sendiri. Islam memperbolehkan pendapatan harga tangguh bayar lebih tinggi dari pada bayar tunai. Yang lebih menarik adalah dibolehkannya penetapan harga tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali bukan disebabkan time value of money, namun karena semata-mata karena ditahannya aksi penjualan barang. Sebagai contoh, bila barang dijual tunai dengan untung Rp.500,- maka penjualan dapat membeli lagi dan menjualnya kemudian sehingga dalam satu hari itu keuntungannya Rp.1000,- sedangkan bila dijual tangguh bayar maka hak Penjual jadi tertahan, sehingga ia tidak dapat membeli lagi dan menjual lagi, akibat lebih jauh itu, hak dari keluarga dan anak Penjual untuk makan malam tertahan pada pembeli. Alasan Inilah, yaitu tertahannya hak penjual yang telah memenuhi Kewajiban (penyerahan barang) maka Islam membolehkan harga tangguh lebih tinggi dari pada harga tunai. Adapun motif permintaan akan uang—dalam Islam—adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction). Dalam konsep Islam, tidak dikenal money demand for speculation, karena spekulasi tidak diperkenankan. Lain halnya dengan sistem konvensional yang tentunya membuka peluang lebar-lebar dengan kebolehan dalam memberikan bunga atas harta. Islam malah menjadikan uang (harta) sebagai objek zakat, uang adalah milik masyarakat sehingga menimbun uang dibawah bantal atau dibiarkan tidak produktif dilarang, karena hal itu mengurangi jumlah uang yang beredar dimasyarakat. Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan uang merupakan alat-tukar yang meringankan beban manusia dalam pelaksanaan tukar-menukar, sebab uang itu berguna bagi umum dan dapat digunakan oleh umum. Dengan redaksi lain bahwa uang merupakan segala sesuatu yang diterima umum diterima sebagai alat penukar. Dalam ekonomi konvensional uang ‘seolah-olah’ dijadikan manusia sebagai, “tuhan”, Dimana masyarakat memandang uang adalah segalanya, sebagai alat yang penting dan diletakkan sebagai nomor wahid. Manusia kian berpacu dalam mencari uang. Kekayaan diukur dengan banyak sedikitnya uang. Bahkan kesenangan seolah-olah dilukiskan dengan memiliki uang. Hal ini yang memacu ekonomi konvensional sebab memandang uang sebagai medium of exchange juga sebagai store of value / wealth. Lain halnya dimensi ekonomi Islam bahwa uang merupakan segala sesuatu yang umum diterima dan dinilai hanya sebagai alat penukar (medium of exchange) bukan sebagai alat penimbun kekayaan (store of wealth / value). Dalam Islam, uang bagaikan air yang mengalir. Air yang tidak mengalir akan menimbulkan penyakit. Untuk itulah uang harus senantiasa terus berputar secara alami dalam perekonomian, semakin cepat uang berputar dalam perekonomian maka akan semakin tinggi pendapatan masyarakat, maka akan semakin baik perekonomian. Bagi mereka yang tidap dapat mengaktifkan hartanya, ‘lagi-lagi’ Islam sangat menganjurkan untuk melakukan investasi dengan perinsip mudharabah atau musyarakah. Dalam hal ini Nabi bersabda, Ketahuilah, Siapa saja di antara kamu yang memelihara harta anak yatim, sedangkan anak yatim itu memiliki uang (dinar-dirham), maka bisniskanlah, jangan dibiarkan idle, sehingga nanti uang itu habis dimakan sedeqah/zakat DAFTAR PUSTAKA Chapra, Muhammad Umar, Money and Banking in Islamic Economy, MFEI. Chapra, Muhammad Umar, The Economic System of Islam, Karaci, University of Karaci, 1971. Chapra, Muhammad Umar, “The Nature of Riba and its Treatment in the Qur’an, Hadith and Fiqh” dalam An Introduction to Islamic Finance disunting oleh Sheikh Ghazali Sheikh Abod, Syed Omar Agil, dan Aidit Hj. Ghazali. Kuala Lumpur: Quill Publishers, 1992. Choudhury, Money in Islam: a Study in Islamic Political Economy, London: The Macmillan Press Ltd, 1996. Ghazali, Abu Hamid Muhammad Al, Ihya Ulum al-Din, Beirut: Dar al-Nadwah, tt. Ibn Taimiya, Taqi al-Din Ahmad, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiya. Disunting oleh al-’Ashimi, Riyadh: Kingdom of Saudi Arabia, tt. Khaldun, Ibnu, Muqaddimah, Kairo: Al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, tt. M. Nejatullah Siddiqi, “Teaching Economics in an Islamic Perspective.” Dalam Reading in Macroeconomics, an Islami Perspective. Ed. Sayyid Tahir et. al. Selangor: Longman Malaysia Sdn., Bhd., 1992. Mannan, M. A. Islamic Economic: Theory and Practice, Lahore: SH Muhammad Ashraf, 1970. Merza Gamal, Uang Perspektif Islam, http://www.halalguide.info, 19 Juli 2006. Paul S. Mills dan John R. Presley, Islamic Finance, Theory of Economy. Rif at al-‘Audi, Min al-Turats al-Iqtishad li al-Muslimin. Saud, MA, Money, Interest and Qirad, SIE.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar