Selasa, 16 April 2013

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2003TENTANG ADVOKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang: 1. bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, tertib, dan berkeadilan; 2. bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia; 3. bahwa Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum; 4. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Advokat yang berlaku saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum masyarakat; 5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Advokat. Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 1/Drt/1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81); 3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3879); 4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); 5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316); 6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3327); 7. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344); 8. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400); 9. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3713); 10. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3778); 11. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872). Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG ADVOKAT BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. 2. Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. 3. Klien adalah orang, badan hukum, atau lembaga lain yang menerima jasa hukum dari Advokat. 4. Organisasi Advokat adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan Undang-Undang ini. 5. Pengawasan adalah tindakan teknis dan administratif terhadap Advokat untuk menjaga agar dalam menjalankan profesinya sesuai dengan kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur profesi Advokat. 6. Pembelaan diri adalah hak dan kesempatan yang diberikan kepada Advokat untuk mengemukakan alasan serta sanggahan terhadap hal-hal yang merugikan dirinya di dalam menjalankan profesinya ataupun kaitannya dengan organisasi profesi. 7. Honorarium adalah imbalan atas jasa hukum yang diterima oleh Advokat berdasarkan kesepakatan dengan Klien. 8. Advokat Asing adalah advokat berkewarganegaraan asing yang menjalankan profesinya di wilayah negara Republik Indonesia berdasarkan persyaratan ketentuan peraturan perundang-undangan. 9. Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada Klien yang tidak mampu. 10. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang hukum dan perundang-undangan. BAB II PENGANGKATAN, SUMPAH, STATUS, PENINDAKAN, DAN PEMBERHENTIAN ADVOKAT Bagian Kesatu Pengangkatan Pasal 2 1. Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat. 2. Pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat. 3. Salinan surat keputusan pengangkatan Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri. Pasal 3 (1) Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. warga negara Republik Indonesia; 2. bertempat tinggal di Indonesia; 3. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara; 4. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun; 5. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); 6. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat; 7. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat; 8. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; 9. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi. (2) Advokat yang telah diangkat berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan praktiknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Sumpah Pasal 4 1. Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya. 2. Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lafalnya sebagai berikut : “Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji : • bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia; • bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga; • bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan; • bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani; • bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat; • bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang Advokat. 3. Salinan berita acara sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah Agung, Menteri, dan Organisasi Advokat. Bagian Ketiga Status Pasal 5 (1) Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. (2) Wilayah kerja Advokat meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Bagian Keempat Penindakan Pasal 6 Advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan : 1. mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya; 2. berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya; 3. bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan; 4. berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya; 5. melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan atau perbuatan tercela; 6. melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat. Pasal 7 1. Jenis tindakan yang dikenakan terhadap Advokat dapat berupa: 1. teguran lisan; 2. teguran tertulis; 3. pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai 12 (dua belas) bulan; 4. pemberhentian tetap dari profesinya. 2. Ketentuan tentang jenis dan tingkat perbuatan yang dapat dikenakan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. 3. Sebelum Advokat dikenai tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepada yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri. Pasal 8 1. Penindakan terhadap Advokat dengan jenis tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, atau huruf d, dilakukan oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat sesuai dengan kode etik profesi Advokat. 2. Dalam hal penindakan berupa pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c atau pemberhentian tetap dalam huruf d, Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan putusan penindakan tersebut kepada Mahkamah Agung. Bagian Kelima Pemberhentian Pasal 9 (1) Advokat dapat berhenti atau diberhentikan dari profesinya oleh Organisasi Advokat. (2) Salinan Surat Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan lembaga penegak hukum lainnya. Pasal 10 (1) Advokat berhenti atau dapat diberhentikan dari profesinya secara tetap karena alasan: 1. permohonan sendiri; 2. dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 4 (empat) tahun atau lebih; atau 3. berdasarkan keputusan Organisasi Advokat. (2) Advokat yang diberhentikan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berhak menjalankan profesi Advokat. Pasal 11 Dalam hal Advokat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan salinan putusan tersebut kepada Organisasi Advokat. BAB III PENGAWASAN Pasal 12 1. Pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat. 2. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar Advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesiAdvokat dan peraturan perundang-undangan. Pasal 13 1. Pelaksanaan pengawasan sehari-hari dilakukan oleh Komisi Pengawas yang dibentuk oleh Organisasi Advokat. 2. Keanggotaan Komisi Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Advokat senior, para ahli/akademisi, dan masyarakat. 3. Ketentuan mengenai tata cara pengawasan diatur lebih lanjut dengan keputusan Organisasi Advokat. BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN ADVOKAT Pasal 14 Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. Pasal 15 Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. Pasal 16 Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan. Pasal 17 Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 18 1. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya. 2. Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat. Pasal 19 1. Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang. 2. Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat. Pasal 20 1. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya. 2. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya. 3. Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku jabatan tersebut. BAB V HONORARIUM Pasal 21 1. Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada Kliennya. 2. Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. BAB VI BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA Pasal 22 1. Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. 2. Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB VII ADVOKAT ASING Pasal 23 1. Advokat asing dilarang beracara di sidang pengadilan, berpraktik dan/atau membuka kantor jasa hukum atau perwakilannya di Indonesia. 2. Kantor Advokat dapat mempekerjakan advokat asing sebagai karyawan atau tenaga ahli dalam bidang hukum asing atas izin Pemerintah dengan rekomendasi Organisasi Advokat. 3. Advokat asing wajib memberikan jasa hukum secara cuma-cuma untuk suatu waktu tertentu kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum. 4. Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara memperkerjakan advokat asing serta kewajiban memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Pasal 24 Advokat asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) tunduk kepada kode etik Advokat Indonesia dan peraturan perundang-undangan. BAB VIII ATRIBUT Pasal 25 Advokat yang menjalankan tugas dalam sidang pengadilan dalam menangani perkara pidana wajib mengenakan atribut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB IX KODE ETIK DAN DEWAN KEHORMATAN ADVOKAT Pasal 26 1. Untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi Advokat, disusun kode etik profesi Advokat oleh Organisasi Advokat. 2. Advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi Advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. 3. Kode etik profesi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 4. Pengawasan atas pelaksanaan kode etik profesi Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat. 5. Dewan Kehormatan Organisasi Advokat memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik profesi Advokat berdasarkan tata cara Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. 6. Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat tidak menghilangkan tanggung jawab pidana apabila pelanggaran terhadap kode etik profesi Advokat mengandung unsur pidana. 7. Ketentuan mengenai tata cara memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik profesi Advokat diatur lebih lanjut dengan Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. Pasal 27 1. Organisasi Advokat membentuk Dewan Kehormatan Organisasi Advokat baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah. 2. Dewan Kehormatan di tingkat Daerah mengadili pada tingkat pertama dan Dewan Kehormatan di tingkat Pusat mengadili pada tingkat banding dan terakhir. 3. Keanggotaan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Advokat. 4. Dalam mengadili sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Kehormatan membentuk majelis yang susunannya terdiri atas unsur Dewan Kehormatan, pakar atau tenaga ahli di bidang hukum dan tokoh masyarakat. 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, tugas, dan kewenangan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat diatur dalam Kode Etik. BAB X ORGANISASI ADVOKAT Pasal 28 1. Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat. 2. Ketentuan mengenai susunan Organisasi Advokat ditetapkan oleh para Advokat dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. 3. Pimpinan Organisasi Advokat tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah. Pasal 29 1. Organisasi Advokat menetapkan dan menjalankan kode etik profesi Advokat bagi para anggotanya. 2. Organisasi Advokat harus memiliki buku daftar anggota. 3. Salinan buku daftar anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri. 4. Setiap 1 (satu) tahun Organisasi Advokat melaporkan pertambahan dan/atau perubahan jumlah anggotanya kepada Mahkamah Agung dan Menteri. 5. Organisasi Advokat menetapkan kantor Advokat yang diberi kewajiban menerima calon Advokat yang akan melakukan magang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf g. 6. Kantor Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memberikan pembimbingan, pelatihan, dan kesempatan praktik bagi calon advokat yang melakukan magang. Pasal 30 1. Advokat yang dapat menjalankan pekerjaan profesi Advokat adalah yang diangkat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. 2. Setiap Advokat yang diangkat berdasarkan Undang-Undang ini wajib menjadi anggota Organisasi Advokat. BAB XI KETENTUAN PIDANA Pasal 31 Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta) rupiah. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 32 1. Advokat, penasihat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum yang telah diangkat pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, dinyatakan sebagai Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. 2. Pengangkatan sebagai pengacara praktik yang pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku masih dalam proses penyelesaian, diberlakukan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. 3. Untuk sementara tugas dan wewenang Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, dijalankan bersama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). 4. Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, Organisasi Advokat telah terbentuk. Pasal 33 Kode etik dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Profesi Advokat yang telah ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), pada tanggal 23 Mei 2002 dinyatakan mempunyai kekuatan hukum secara mutatis mutandis menurut Undang-Undang ini sampai ada ketentuan yang baru yang dibuat oleh Organisasi Advokat. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 34 Peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai Advokat, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk atau diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru sebagai pelaksanaan Undang-Undang ini. Pasal 35 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, maka: 1. Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie (Stb. 1847 Nomor 23 jo. Stb. 1848 Nomor 57), Pasal 185 sampai Pasal 192 dengan segala perubahan dan penambahannya; 2. Bepalingen betreffende het kostuum der Rechterlijke Ambtenaren dat der Advokaten, procureurs en Deuwaarders (Stb. 1848 Nomor 8); 3. Bevoegdheid departement hoofd in burgelijke zaken van land (Stb. 1910 Nomor 446 jo. Stb. 1922 Nomor 523); dan 4. Vertegenwoordiging van de land in rechten (K.B.S 1922 Nomor 522); 5. dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 36 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Telah Sah pada tanggal 5 April 2003 Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 April 2003 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, BAMBANG KESOWO PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar juga menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Melalui jasa hukum yang diberikan, Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia. Selain dalam proses peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pengadilan. Kebutuhan jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan semakin ber-kembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antarbangsa. Melalui pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi Advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Kendati keberadaan dan fungsi Advokat sudah berkembang sebagaimana dikemukakan, peraturan perundang-undangan yang mengatur institusi Advokat sampai saat dibentuknya Undang-undang ini masih berdasarkan pada peraturan perundang-undangan peninggalan zaman kolonial, seperti ditemukan dalam Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie (Stb. 1847 : 23 jo. Stb. 1848 : 57), Pasal 185 sampai Pasal 192 dengan segala perubahan dan penambahannya kemudian, Bepalingen betreffende het kostuum der Rechterlijke Ambtenaren dat der Advokaten, procureurs en Deuwaarders (Stb. 1848 : 8), Bevoegdheid departement hoofd in burgelijke zaken van land (Stb. 1910 : 446 jo. Stb. 1922 : 523), dan Vertegenwoordiging van de land in rechten (K.B.S 1922 : 522). Untuk menggantikan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan yang sudah tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku, serta sekaligus untuk memberi landasan yang kokoh pelaksanaan tugas pengabdian Advokat dalam kehidupan masyarakat, maka dibentuk Undang-Undang ini sebagaimana diamanatkan pula dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Dalam Undang-undang ini diatur secara komprehensif berbagai ketentuan penting yang melingkupi profesi Advokat, dengan tetap mempertahankan prinsip kebebasan dan kemandirian Advokat, seperti dalam pengangkatan, pengawasan, dan penindakan serta ketentuan bagi pengembangan organisasi Advokat yang kuat di masa mendatang. Di samping itu diatur pula berbagai prinsip dalam penyelenggaraan tugas profesi Advokat khususnya dalam peranannya dalam menegakkan keadilan serta terwujudnya prinsip-prinsip negara hukum pada umumnya. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “berlatar belakang pendidikan tinggi hukum” adalah lulusan fakultas hukum, fakultas syariah, perguruan tinggi hukum militer, dan perguruan tinggi ilmu kepolisian. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “bertempat tinggal di Indonesia” adalah bahwa pada waktu seseorang diangkat sebagai advokat, orang tersebut harus bertempat tinggal di Indonesia. Persyaratan tersebut tidak mengurangi kebebasan seseorang setelah diangkat sebagai advokat untuk bertempat tinggal dimanapun. Huruf c Yang dimaksud dengan “pegawai negeri” dan “pejabat negara”, adalah pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan “pejabat negara” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Dalam Pasal 2 ayat (1) ditentukan bahwa Pegawai Negeri terdiri dari: 1. Pegawai Negeri Sipil; 2. Anggota Tentara Nasional Indonesia; dan 3. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 11 ayat (1) ditentukan bahwa Pejabat Negara terdiri dari: 1. Presiden dan Wakil Presiden; 2. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat; 4. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan; 5. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung; 6. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan; 7. Menteri, dan jabatan yang setingkat Menteri; 8. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; 9. Gubernur dan Wakil Gubernur; 10. Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; dan 11. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam huruf c mencakup Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan “Organisasi Advokat” dalam ayat ini adalah Organisasi Advokat yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat (4) Undang-undang ini. Huruf g Magang dimaksudkan agar calon advokat dapat memiliki pengalaman praktis yang mendukung kemampuan, keterampilan, dan etika dalam menjalankan profesinya. Magang dilakukan sebelum calon Advokat diangkat sebagai Advokat dan dilakukan di kantor advokat. Magang tidak harus dilakukan pada satu kantor advokat, namun yang penting bahwa magang tersebut dilakukan secara terus menerus dan sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah Advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan Yang dimaksud dengan “bebas” adalah sebagaimana dirumuskan dalam penjelasan Pasal 14. Ayat (2) Dalam hal Advokat membuka atau pindah kantor dalam suatu wilayah negara Republik Indonesia, Advokat wajib memberitahukan kepada Pengadilan Negeri, Organisasi Advokat, dan Pemerintah Daerah setempat. Pasal 6 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Ketentuan dalam huruf c ini, berlaku bagi Advokat baik di dalam maupun di luar Pengadilan. Hal ini, sebagai konsekuensi status advokat sebagai penegak hukum, di manapun berada harus menunjukkan sikap hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “penegak hukum lainnya” adalah Pengadilan Tinggi untuk semua lingkungan peradilan, Kejaksaan, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan Advokat. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Advokat. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Yang dimaksud dengan “bebas” adalah tanpa tekanan, ancaman, hambatan, tanpa rasa takut, atau perlakuan yang merendahkan harkat martabat profesi. Kebebasan tersebut dilaksanakan sesuai dengan kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. Pasal 15 Ketentuan ini mengatur mengenai kekebalan Advokat dalam menjalankan tugas profesinya untuk kepentingan kliennya di luar sidang pengadilan dan dalam mendampingi kliennya pada dengar pendapat di lembaga perwakilan rakyat. Pasal 16 Yang dimaksud dengan “iktikad baik” adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya. Yang dimaksud dengan “sidang pengadilan” adalah sidang pengadilan dalam setiap tingkat pengadilan di semua lingkungan peradilan. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan dalam ayat ini tidak mengurangi hak dan hubungan perdata Advokat tersebut dengan kantornya. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “secara wajar” adalah dengan memperhatikan resiko, waktu, kemampuan, dan kepentingan klien. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “hukum asing” adalah hukum dari negara asalnya dan/atau hukum internasional di bidang bisnis dan arbitrase. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “tokoh masyarakat” antara lain ahli agama dan/atau ahli etika. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pimpinan partai politik” adalah pengurus partai politik. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara menjamin hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia; b. bahwa negara bertanggung jawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan; c. bahwa pengaturan mengenai bantuan hukum yang diselenggarakan oleh negara harus berorientasi pada terwujudnya perubahan sosial yang berkeadilan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Bantuan Hukum; Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5), dan Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG BANTUAN HUKUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum. 2. Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin. 3. Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini. 4. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. 5. Standar Bantuan Hukum adalah pedoman pelaksanaan pemberian Bantuan Hukum yang ditetapkan oleh Menteri. 6. Kode Etik Advokat adalah kode etik yang ditetapkan oleh organisasi profesi advokat yang berlaku bagi Advokat. Pasal 2

UPAYA HUKUM

1. Pengertian Upaya hukum, terdiri dari dua kata yaitu "upaya" dan "hukum", jika diterjemahkan secara harfiah, maka upaya hukum adalah usaha yang dilakukan berdasarkan hukum. Pengertian ini jika diperjelas lagi memiliki makna, upaya hukum adalah upaya yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap putusan pengadilan melalui jalur hukum sebagaimana ditentukan caranya oleh undang-undang. KUHAP mengatur upaya hukum di dalam Bab XVII, dimana di dalam bab tersebut disebutkan ada dua macam upaya hukum, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. 2. Upaya hukum biasa a. Banding banding artinya proses menentang keputusan hukum secara resmi. Pemeriksaan banding merupakan upaya yang dapat diminta oleh pihak yang berkepentingan, supaya putusan peradilan tingkat pertama diperiksa lagi dalam peradilan tingkat banding. Jadi secara yuridis formal,undang-undang memberi upaya kepada pihak yang berkepentingan untuk mengajukan permintaan pemeriksaan putusan peradilan tingkat pertama di peradilan tingkat banding. Upaya banding yang secara formal dibenarkan undang-undang merupakan upaya hukum biasa, bukan upaya hukum luar biasa. Prosedur dan proses pemeriksaan tingkat banding adalah pemeriksaan yang secara umum dan konvensional dapat diajukan terhadap setiap putusan peradilan tingkat pertama tanpa kecuali, sepanjang hal itu diajukan terhadap putusan yang dapat dibanding seperti yang ditentukan Pasal 67 jo. Pasal 233 ayat(1) KUHAP. Pasal 67 jo. Pasal 233 ayat(1) KUHAP, merupakan penjabaran Pasal 19 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 yang menegaskan terhadap semua putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak merupakan pembebasan dari tuduhan, dapat dimintakan banding oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Kemudian diperluas dengan Pasal 67 KUHAP bahwa putusan yang tak dapat diminta banding bukan hanya putusan bebas(vrijspraak) tapi juga putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum(onslag van rechts vervolging). Namun pada kedua undang-undang itu jelas tampak, upaya hukum banding merupakan upaya hukum biasa yang dapat dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan terhadap semua putusan Pengadilan Negeri sebagai instansi peradilan yang memutus pada tingkat pertama. Disinilah letak pengertian upaya hukum biasa, yakni “terhadap semua putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding”, sehingga permintaan dan pemeriksaan tingkat banding merupakan hal yang umum dan biasa. Dapat diajukan dan dilakukan terhadap semua putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap”putusan bebas” atau “lepas dari segala tuntutan hukum” serta “putusan acara cepat”. Pada prinsipnya semua putusan akhir(final judgement) Pengadilan Negeri dapat diajukan permintaan banding. Akan tetapi ada pengecualian yang ditegaskan dalam Pasal 67 KUHAP, tidak semua putusan akhir pengadilan tinggi tingkat pertama dapat diminta banding. Adapun putusan akhir pengadilan tingkat pertama yang dapat diajukan pemeriksaan pada tingkat banding: a. Putusan pemidanaan dalam acara biasa Terhadap setiap putusan pemidanaan dalam acara biasa sekalipun sifat putusan pemidanaan itu berupa “percobaan” atau “pidana bersyarat” seperti yang diatur dalam Pasal 14a KUHP, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan banding. b. Putusan pemidanaan dalam acara singkat Hal ini serupa dengan putusan pemidanaan dalam acara biasa, terhadap setiap putusan pemidanaan dalam acara singkat, sekalipun pidana bersyarat, dapat dimintakan banding baik oleh terdakwa atau penuntut umum. c. Putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima dalam acar biasa dan singkat. Seperti yang sudah diterangkan, dakwaan diajukan terhadap orang yang bukan pelaku tindak pidana atau jika dakwaan diajukan setelah lampau waktu dan sebagainya maka dalam hal seperti ini putusan pengadilan menyatakan dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima. Terhadap putusan seperti ini penuntut umum dapat mengajukan permintaan banding. Cuma harus diingat, pernyataan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima yang dapat diminta banding, jika pernyataan tersebut dituangkan dalam bentuk putusan akhir. Jika pernyataan pengadilan dituangkan dalam bentuk penetapan, tidak dapat dimintakan banding. d. Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum Terhadap setiap putusan yang dakwaan batal demi hukum baik dalam acara biasa maupun acara singkat, penuntut umum dapat mengajukan permintaan banding. Misalnya putusan pengadilan menyatakan dakwaan batal demi hukum karena dakwaan tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat 2 hurup b KUHAP, terhadap putusan ini dapat dimintakan banding. e. Putusan perampasan kemerdekaan dalam acara cepat Sesuai dengan ketentuan Pasal 205 ayat(3) dan Pasal 214 ayat(8), terdakwa dapat mengajukan permintaan banding jika terhadapnya dijatuhkan putusan pidana perampasan kemerdekaan. f. Putusan praperadilan terhadap penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Setelah mengutarakan putusan yang dapat dibanding, maka ada putusan yang tidak dapat dibanding, berpedom pada pasal 67. Memang, baik terhadap putusan yang dapat dimintakan banding maupun yang tidak, pedoman umumnya adalah Pasal 67. Akan tetapi khusus dalam pembicaraan mengenai putusan yang tidak dapat diminta banding, maka akan menengok Pasal 67 lebih mendalam. Adapun putusan yang tidak dapat diminta banding: a. Putusan bebas atau Vrijspraak(acquitted) Dalam Pasal 191 ayat(1), apabila kesalahan terdakwa sesuai dengan perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Terhadap putusan bebas yang demikian tidak dapat diajukan permintaan banding. b. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau putusan Onslag van Rechts Vervolging Mengenai bentuk putusan lepas dari segala tuntutan hukum, diatur dalam Pasal 191 ayat(2), yakni apabila pengadilan berpendapat apa yang didakwakan terhadap terdakwa memang terbukti, akan tetapi perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana c. Putusan acara cepat Terhadap putusan acara cepat, baik perkara yang diperiksa dengan acara tindak pidana ringan maupun acara pelanggaran lalu lintas jalan, tidak dapat diminta banding, kecuali apabila putusan itu berupa pidana perampasan kemerdekaan. Permohonan banding dapat ditolak. Panitera dilarang menerima dan sekaligus harus menolak permintaan banding yang tidak memenuhi syarat undang-undang adalah: 1) Diajukan terhadap putusan yang tidak dapat dibanding Diajukan terhadap putusan yang tidak dapat diminta banding, merupakan permintaan yang tidak sah dan tidak memenuhi persyaratan undang-undang. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diperkenankan undang-undang untuk dimintakan banding yakni putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum dan putusan acara cepat. 2) Permintaan bandingdiajukan setelah tenggang waktu yang ditentukan berakhir. Berdasarkan ketentuan Pasal 233 ayat(2), tenggang waktu mengajukan permintaan banding: a. dalam waktu 7 hari sesudah putusan dijatuhkan b. dalam waktu 7 hari setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir pada saat vputusan dijatuhkan. Tata cara penolakan permintaan banding dilakukan panitera sebagai berikut: 1) Panitera membuat akta penolakan permohonan banding. Penolakan harus dituangkan panitera dalam bentuk surat akta penolakan permohonan banding, tidak cukup dilakukan dengan lisan 2) Akta penolakan ditandatangani oleh panitera dan pemohon 3) Serta diketahui dan ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Negeri 4) Berkas perkara tidak dikirim ke Pengadilan Tinggi Dengan tata cara penolakan yang demikian ada buktinya dan sekaligus memberi kepastian hukum tentang penolakan serta merupakan upaya pembinaan tata administratif peradilan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan. Penerimaan permohonan banding dialukan atas alasan permintaan memenuhi persyaratan undang-undang. Permohonan banding yang memenuhi syarat dalam ketentuan Pasal 233 ayat(2) sebagai berikut: 1. Permohonan diajukan atau disampaikan kepada panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut. Sekalipun permintaan banding diajuka ke Pengadilan Tinggi, namun permohonan dilakukan oleh pemohon melalui panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara, tidak dapat langsung diajukan ke Pengadilan Tinggi. 2. Permohonan banding diajukan terhadap putusan yang dapat diminta banding. 3. Permintaan diajukan dalam tenggang waktu yang ditentukan. Yang berhak mengajukan permohonan banding yaitu: a. terdakwa, atau b. orang yang khusus dikuasakan terdakwa, atau c. penuntut umum, atau d. terdakwa dengan penuntut umum sekaligus sama-sama mengajukan banding. Arti memori banding adalah uraian atau risalah yang memuat tanggapan keberatan terhadap putusan yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama. Didalam memori banding itulah pemohon mengemukakan kelemahan dan ketidaktepatan penerapan atau penafsiran hukum yang terdapat dalam putusan. Demikian juga memori banding, mencoba memperlihatkan kekeliruan penilaian keadaan dan pembuktian yang menjadi dasar putusan yang dijatuhkan. Malahan dalam memori banding dapat dikemukakan hal baru atau fakta baru dan sekaligus memohon agar diadakan lagi pemeriksaan tambahan untuk memeriksa bukti atau fakta baru yang dikemukakan. Sebaliknya atas memori banding yang diajukan pemohon banding, pihak yang lain dapat mengajukan kontra memori banding. Tujuan kontra memori banding berupa risalah yang memuat bantahan-bantahan terhadap isi memori banding,serta menekankan kembali kebenaran dan ketepatan putusan yang dijatuhkan. Disamping memori dan kontra memori banding, masih dapat lagi memori dan kontra memori itu disempurnakan dan disusul dengan tambahan memori atau tambahan kontra memori. b. Kasasi Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan. Pemeriksaan perkara pidana oleh Mahkamah Agung pada peradilan kasasi, mempergunakan ketentuan yang diatur dalam KUHAP sebagai hukum acara, seperti yang diatur dalam Bagian Kedua Bab XVII, mulai dari Pasal 244 sampai dengan Pasal 258. Selanjutnya, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 258, hukum acara kasasi yang diatur dalam KUHAP, bukan hanya berlaku sebagai hukum acara kasasi bagi lingkungan peradilan umum saja, tetapi berlaku juga bagi acara permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Dalam Pasal 10 ayat(3) UU No. 14 Tahun 1970 telah menegaskan Mahkamah Agung merupakan peradilan tingkat terakhir( kasasi) bagi semua lingkungan peradilan. Atau dengan kata lain, Mahkamah Agung adalah peradilan kasasi bagi semua lingkungan peradilan. Dalam ketentuan Pasal 244 KUHAP menegaskan terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas. Jadi, terhadap semua putusan pidana pada tingkat terakhir selain daripada putusan Mahkamah Agung sendiri, dapat diajukan permintaan pemeriksaan kasasi baik oleh terdakwa atau penuntut umum. Tanpa kecuali dan tanpa didasarkan pada syarat serta keadaan tertentu, terhadap semua putusan perkara pidana yang diambil oleh pengadilan pada tingkat terakhir, dapat diajukan permintaan pemeriksaan kasasi oleh terdakwa oleh penuntut umum. Ini berarti, terdakwa dan atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasai kepada Mahkamah Agung terhadap semua putusan pidana yang diambil oleh pengadilan tingkat terakhir. Upaya kasasi adalah hak yang diberikan kepada terdakwa maupun kepada penuntut umum. Tergantung kepada mereka untuk mempergunakan hak terrsebut. Seandainya mereka dapat menerima putusan yang dijatuhkan, dapat mengesampingkan hak itu, tetapi apabila keberatan atas putusan yang diambil, dapat mempergunakan hak untuk mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Berbarengan dengan hak mengajukan permintaan kasasi yang diberikan undang-undang kepada terdakwa atau penuntut umum, dengan sendirinya hak itu menimbulkan kewajiban bagi pejabat pengadilan untuk menerima permintaan kasasi, tidak ada alasan untuk menolak. Apakah permohonan itu diterima atau ditolak, bukan wewenang Pengadilan Negeri untuk menilai, sepenuhnya menjadi wewenang Mahkamah Agung. Bahkan sekalipun permohonan kasasi diajukan telah melampaui tenggang waktu 14 hari seperti yang diatur dalam Pasal 245(1), Pengadilan Negeri tetap wajib menerima permohonan. Demikian juga seandainya permohonan kasasi tidak dibarengi dengan memori kasasi maupun terlambat menyampaikan memori kasasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 248, Pengadilan Negeri tetap menerima dan menyampaikan permohonan dan berkas perkara kasasi sebab yang berwenang sepenuhnya untuk menilai sah tidaknya permohonan kasasi hanya Mahkamah Agung. Salah satu tujuan kasasi, memperbaiki dan meluruskan kesalahan penerapan hukum, agar hukum benar-benar diterapkan sebagaimana mestinya serta apakah cara mengadili perkara benar-benar dilakukan menurut ketentuan undang-undang. Disampng tindakan koreksi yang dilakukan Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi, adakalanya tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan hukum baru dalam bentuk yurisprudensi. Berdasarkan jabatan dan wewenang yang ada padanya dalam bentuk judge making law, sering Mahkamah Agung menciptakan hukum baru yang disebut ”hukum kasus” atau case law, guna mengisi kekosongan hukum, maupun dalam rangka menyejajarkan makna dan jiwa ketentuan undang-undang sesuai dengan elastisitas pertumbuhan kebutuhan lajunya perkembangan nilai dan kesadaran masyarakat. Apabila putusan kasai baik yang berupa koreksi atas kesalahan penerapan hukum maupun yang bersifat penciptaan hukuim baru telah mantap dan dijadikan pedoman bagi pengadilan dalam mengambil keputusan maka putusan Mahkamah Agung akan menjadi yurisprudensi tetap. Tujuan lain daripada pemeriksaan kasasi, bermaksud mewujudkan kesadaran keseragaman penerapan hukum atau unified legal frame work dan unified legal opinion. Dengan adanya putusan kasasi yang menciptakan yurisprudensi, akan mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak penerapan hukm, serta dengan adanya upaya hukum kasasi, dapat terhindarkan kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan oleh para hakim yang tergoda dalam memanfaatkan kebebasan kedudukan yang dimilikinya. Putusan perkara pidana yang dapat diajukan permohonan pemeriksaan kasasi dalam Pasal 244 KUHAP yaitu a. semua putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan b. kecuali terhadap putusan 1. Mahkamah Agung sendiri 2. putusan bebas Pasal 245 ayat(1) menegaskan permohonan kasasidisampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa. Tenggang waktu mengajukan permohonan kasasi diatur dalam Pasal 245 ayat(1) KUHAP yang menegaskan: 1) permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera Pengadilan Negeri yang telah memutus perkara dalam tingkat pertama 2) permohonan diajukan dalam waktu 14 hari sesudah putusan pengadilan yang hendak dikasasi diberitahukan kepada terdakwa. Terlambat dari batas waktu 14 hari, mengakibatkan hak untuk mengajukan permohonan kasasi menjadi gugur. Apabila permohonan kasasi diajukan terlambat dari tenggang waktu 14 hari, dengan sendirinya menurut hukum: 1. haknya untuk mengajukan kasasi gugur 2. terdakwa dianggap menerima putusan 3. untuk itu panitera membuat akta penerimaan putusan Dalam hal akta penerimaan putusan petunjuk pelaksanaannya: i. akta penerimaan putusan ditandatangani oleh panitera ii. diketahui dan ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Negeri iii. kemudian akta penerimaan putusan dilekatkan pada berkas perkara Alasan kasasi yang diperkenankan atau yang dapat dibenarkan Pasal 253 ayat(1) terdiri dari: a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang c. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya Ada alasan kasasi yang tidak dibenarkan undang-undang yaitu: 1. keberatan kasasi Putusan Pengadilan Tinggi menguatkan putusan Pengadilan Negeri 2. keberatan atas penilaian pembuktian 3. alasan kasasi yang bersifat pengulangan fakta 4. alasan yang tidak menyangkut persoalan perkara 5. berat ringannya hukuman atau besar kecilnya jumlah denda 6. keberatan kasasi atas pengembalian barang bukti 7. keberatan kasasi mengenai novum Dalam Pasal 254 KUHAP, bentuk putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi hanya terdiri dari: a. menolak permohonan kasasi, atau b. mengabulkan permohonan kasasi 3. upaya hukum luar biasa a. Pemeriksan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum (Pasal 259 KUHAP) Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung dapat diajukan 1 (satu) kali permohonan oleh Jaksa Agung dan putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan. b. Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang telah Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap (Pasal 263 KUHAP) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Permintaan peninjauan kembali diajukan bersamaan dengan memori peninjauan kembali dan berdasarkan alasan dari pemohon tersebut Mahkamah Agung mengadili hanya dengan alasan yang telah ditentukan oleh KUHAP sebagai berikut: 1) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; 2) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; 3) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata; selanjutnya, atas dasar alasan yang sama sebagaimana disebutkan dalam poin 1, 2 dan 3 di atas (Pasal 263 Ayat [2] KUHAP) maka terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu secara jelas memperlihatkan bahwa dakwaan telah terbukti akan tetapi pemidanaan tidak dijatuhkan. Dalam hal permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 Ayat (2) KUHAP, maka Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali tidak dapat diterima dengan disertai dasar alasannya. Pernyataan tidak dapat diterima tersebut tidak terkait dengan substansi/materiil pemeriksaan peninjauan kembali namun lebih kepada alasan formil yang tidak terpenuhi sehingga terhadapnya dapat diajukan kembali. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali tersebut memenuhi persyaratan dan alasan peninjauan kembali telah sesuai dengan ketentuan KUHAP maka Mahkamah Agung akan memeriksa permohonan itu dan membuat putusan sebagai berikut: 1) Apabila alasan pemohon tidak benar atau tidak terbukti, Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dengan dasar pertimbangnnya; 2) Apabila alasan pemohon benar atau terbukti, maka Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang alternatifnya sebagai berikut: a) putusan bebas; b) putusan lepas dari segala tuntutan; c) putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum; d) putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Dalam hal Mahakamah Agung menjatuhkan pidana terhadap permintaan peninjauan kembali itu maka dengan alasan apapun pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semu

Jibril Mengambil 10 Mutiara Kehidupan

Umat muslim, khususnya laki-laki diwajibkan menunaikan shalat jum’at berjamaah di Masjid. Termasuk diriku, hari ini berangkat ke Masjid untuk menunaikan shalat Jum’at. Sudah hal biasa jika melihat jamaah jum’at yang datang ke Masjid melakukan shalat tahiyatul masjid (shalat untuk menghormati Masjid), mendengarkan khotbah jum’at sampai diakhiri dengan berjamaah shalat jum’at. Tidak jarang pula kita melihat jamaah yang begitu khusyu sampai terlelap ketiduran dalam Masjid menunggu tiba shalat jum’at, hehee.. akupun kadang sampai se khusyu itu. Namun, hari ini beda. Khotbah dari khatib muda ini membuatku pokus sampai akhir pada apa dari isi khotbahnya. Khotbah dalam mengingatkan untuk selalu bertaqwa terhadap Tuhan YME dengan menceritakan tentang 10 Mutiara Kehidupan yang akan Jibril ambil dimuka bumi ini. Apa sajakah? Kira-kira seperti inilah isi khutbahnya; Tugas malaikat Jibril adalah menurunkan wahyu. Namun sepeninggal Nabi Muhammad SAW, Jibril masih akan turun ke bumi 10 kali lagi untuk mengambil Mutiara Kehidupan yang diantaranya adalah: 1. Barokah Sesuatu disebut barokah pabila bisa membuatnya lebih baik lagi dan menghasilkan kebaikan yang lain. Ilmu yang bermanfaat tentu akan dikatakan barokah bila memberikan daya guna yang positif untuk kemaslahatan umat. Kita ketahui bersama di zaman sekarang tidak sedikit orang yang berilmu tinggi memanfaatkannya untuk melakukan korupsi. Apakah Jibril sudah turun 1 kali? 2. Perasaan Jika rasa cinta hilang, maka kebencianlah yang muncul. Dengan kenyataan bahwa masih banyak rakyat miskin hidup dalam kesengsaraan, apakah masih ada perasaan kepedulian bangsa terhadap mereka? Apakah Jibril sudah 2 kali turun? 3. Rasa sayang diantara keluarga Sering kali kita melihat berita tentang kekerasan dikeluarga, pelecehan seksual orang tua terhadap anak, pembunuhan yang dilakukan anak terhadap orangtuanya, apakah jibril sudah ke 3 kalinya turun? 4. Keadilan dihati pemimpin Kita pasti sudah bisa menilai akan hal ini. Apabila hukum ibarat jaring laba-laba yang hanya bisa menangkap serangga-serangga kecil, sementara tikus-tikus besar merobeknya dengan mudah. Sudah 4 kalikah jibril turun? 5. Rasa malu perempuan Maaf, kemaluan perempuan sekarang malah menjadi rasa bangga. Mereka bangga jadi istri simpanan laki-laki yang lebih pantas jadi ayah mereka atau bahkan kakek buyutnya! Belum lagi sebagian ABG yang rela menjadi gratifikasi sex untuk memenuhi kebutuhan modern yang mereka idamkan. Jibril, kau telah 5 kali turun?? 6. Kesabaran orang Miskin Sering kita melihat kericuhan yang terjadi dikala pembagian sembako, tindakan kriminal dengan motif ekonomi, penjualan bayi dan lainnya. Jibril, inikah yang ke 6 kalinya kau turun? 7. Ulama Zuhud Sudah jadi rahasia umum bahwa ada ulama yang sampai mematok tarif muahhall untuk ceramahnya. Gaya hidupnya glamor, mobilnya mahal, istrinya banyak dan cantik-cantik. Hal ini tidak menjadi contoh bahwa kehidupan akhirat yang harus dikejar bukan duniawi. Jibril, sudahkah kau turun untuk yang ke 7 ini? 8. Kedermawanan orang kaya Orang miskin yang sabar dan orang kaya yang dermawan sudah seharusnya saling mengisi diantaranya. Tindak kekerasan dan kriminal selalu terjadi karena lengahnya perhatian orang kaya dermawan terhadap orang miskin. Jibril, kau sudah turun untuk yang ke 8 kali? 9. Mengangkat Al-qur’an Dalam hal ini jibril akan mengangkat ruhnya al-quran. Kemajuan teknologi memang memudahkan kita untuk mendengarkan lantunan al-quran di mp3, di handphone atau gadget laiinya. Tapi sebagian kita pasti tidak menyadari, al-quran yang tersimpan dalam gadget itu bersatu dengan file-file video mesum, gambar porno yang mungkin lebih sering dibuka daripada alquran nya. Sudah yang ke 9 kali Jibril? 10. Iman Posisi mutiara ini akan diambil paling akhir oleh Jibril. Semoga Allah SWT tetap meneguhkan keimanan dalam hati kita. Memang tidak baik jika selalu membicarakan keburukan, walaupun itu memang benar adanya terjadi. Hanya saja semoga bisa menjadi pencerahan kita untuk dijadikan solusi kehidupan menuju Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofur “negeri yang rakyatnya makmur, sistemnya teratur dan diridhai Allah SWT”.

TEORI REALISME Jackson, R., &. Sorensen

I. Penadahuluan Sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan tentunya studi Ilmu Hubungan Internasional memiliki banyak perspektif di dalamnya, mengingat studi Ilmu Hubungan Internasional merupakan sebuah studi yang bersifat teoritis. Perspektif-perspektif ini berguna sebagai penjelas yang ada dalam sebuah fenomena. Perspektif-perspektif tersebut melihat suatu fenomena dengan cara pandang mereka masing-masing. Misalnya saja realism yang melihat sifat dasar manusia sebagai acuan dalam melihat suatu fenomena. Realisme bisa dikatakan sebagai salah satu prespektif paling tua, tradisional, dan klasik yang ada dalam Hubungan Internasional. Realisme juga berusaha melihat sebuah persoalan dari sudut perang damai, kompetisi dan konflik II. Pokok bahasan 1. Bagaimanana Pengertian realisme 2. Sejarah teori realisme dan perkembangannya III. Pembahasan A. Pengertian Realisme Salah satu perspektif yang masih dan paling sering digunakan dalam Hubungan Internasional adalah realisme. Realisme muncul sebagai reaksi adanya perspektif liberalisme yang dinilai oleh para realis sebagai perspektif yang terlalu utopis dan idealis. Liberalisme menganggap positif sifat-sifat manusia, begitu pula negara dapat menciptakan perdamaian dengan adanya koordinasi. Sedang realisme memiliki pandangan sebaliknya. Realisme memandang pesimis sikap alami manusia. Realis juga memandang negara sama dengan manusia. Negara itu cenderung berkonflik, segala permasalahan diselesaikan dengan perang. Negara sangat menjunjung tinggi keamanan nasional dan bagaimana caranya agar bisa survive. Selain itu, realisme juga memandang hubungan internasional itu statis, tidak mungkin terjadi koordinasi. Dalam bukunya, Robert Jackson dan Georg Sorensen mengatakan bahwa studi HI dalam masa-masa awalanya banyak dipengaruhi oleh perspektif liberalisme. Namun, sesungguhnya perspektif realisme telah digunakan berbagai tokoh sejak lama. Sun Tzu, seoarang jenderal perang pada masa perang di Tiongkok, menggunakan perspektif realisme dalam menyusun strateginya berperang. Sun Tzu mengatakan, “moral reasoning was not very useful to the sate rulers facing armed & dangerous neighbor states; rulers were advised to use power to advance interests & protect survival”. Sun Tzu menekankan nilai yang sama seperti yang ditekankan realis, yakni keamanan dan menjaga eksistensi. Realisme dibagi menjadi beberapa periode sebetulnya, yakni realisme klasik, neo-klasikal realisme, realisme, dan neo-realisme. Namun, yang akan dijabarkan disini hanyalah periode pemikiran klasikal realime sampai realisme saja. Adalah Thucydides seorang sejarawan pada masa Yunani Kuno, memandang hubungan internasional sebagai, “ the inevitable competitions and conflicts” (Robert Jackson dan Georg Sorensen, 1999. pp. 70). Thucydides menagambil kesimpulan ini atas pengamatannya terhadap perang antar city-state yang terjadi pada masa itu, dimana ada dua kekuatan besar pada masa itu, Athena dan Sparta, dan city-state lain yang kekuatannya lebih lemah. Yang dimaksudkan dengan adil oleh Thucydides adalah jika setiap city-state mengerti dimana seharusnya dia berada dan power yang dimiliki. Thucydides mengatakan bahwa city-state yang kuat menggunakan powernya untuk melakukan yang dia mau, sedang city-state yang lemah menerima apa yang sudah ia terima. Menurut Nicolo Machiavelli, untuk menjalankan politik luar negeri, seorang penguasa harus mempunyai power (the Lion) dan tipu muslihat (the Fox) sekaligus. Tanggung jawab utama dari penguasa adalah selalu mencari keuntungan, mempertahankan kepentingan, dan menjamin keberadaan eksistensi (Robert Jackson dan Georg Sorensen, 1999. pp. 72). Untuk itu, seorang penguasa haruslah menjadi the Lion dan the Fox. Sedang Thomas Hobbes mengatakan bahwa setiap orang berbahaya bagi tiap orang lainnya. Karena itu setiap orang merasa takut dan tidak aman. Untuk mengatasi rasa tidak aman itu, dibentuklah suatu institusi bernama Negara dan kesepakatan politis di antara semua untuk saling menjaga keamanan. Namun, ”the achievement of personal security and domestic security through the creation of a state is necessarily accompanied by the condition of national and international insecurity that is rooted in the anarchy of the state system” (Robert Jackson dan Georg Sorensen, 1999. pp. 75). Kondisi ini disebut Security Dilemma. Bagi Hobbes, seperti halnya juga Machiavelli dan Thucydides, keamanan dan survival adalah nilai penting yang fundamental, tetapi nilai inti dari realisme Hobbesian adalah keamanan domestik (Robert Jackson dan Georg Sorensen, 1999. pp. 75). Tokoh-tokoh di atas adalah yang tokoh yang dikelompokkan dalam realisme klasik menurut Robert Jackson dan Georg Sorensen. Dari beberapa pendapat para tokoh tersebut ada beberapa kesamaan. Pertama, bahwa kondisi manusia berada dalam kondisi tidak aman dan cenderung berkonflik. Kedua, mereka setuju bahwa ada suatu badan politis atau kebijakan yang dapat menyelesaikan masalah tersebut yang mereka semua berusaha untuk mencarinya, namun akhirnya, mereka setuju bahwa tidak ada jalan keluar final bagi kondisi manusia tersebut (Robert Jackson dan Georg Sorensen, 1999. pp. 76). Morgenthau yang disebut bapak Realisme dalam ilmu HI mengatakan bahwa manusia itu adalah animus dominandi, bahwa manusia haus akan power (Robert Jackson dan Georg Sorensen, 1999. pp. 76). Kondisi ini yang membawa manusia kepada konflik. Morgenthau berpendapat, hubungan internasional merupakan upaya untuk mendapatkan dan mempertahankan power yang dimiliki. Morgenthau mengasumsikan negara seperti manusia, yang haus akan power dan berusaha memenuhi interestnya, yang didefinisikan sebagai power juga. Jadi, beberapa poin penting yang bisa diambil dari realisme adalah, bahwa Negara adalah aktor utama dalam hubungan internasional yang selalu berusaha mempertahankan dan memperoleh power. Isu utama dalam realisme adalah kemanan nasional dan mempertahankan eksistensi. Probem sentral dari hubungan internasional adalah kondisi anarki, dimana tidak ada kekuatan supranasional. Tidak seperti liberalis, realis tidak percaya adanya koordinasi, segala sesuatu diselesaikan dengan perang. B. Realisme Pesimis Terhadap Sifat Manusia Sebenarnya realisme sudah ada sejak jaman dahulu, namun ‘menghangat’ lagi antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Realisme sebenarnya sudah muncul sejak jaman Thucydides (The Melian Dialogue 460-406BC), N. Machiavelli (1496-1527), T. Hobbes (1588-1679) dan J.J. Rosseau (1712-78) yang dikenal dengan classic-realism. Asumsi dasar dari teori ini menurut Robert Jakson dan George Sorensen dalam buku Pengantar Studi Hubungan Internasional ada 3, yaitu Pandangan Pesimis dan selalu khawatir terhadap sifat Manusia, Hubungan Internasional bersifat konfliktual dalam anarki internasional dan Power negara fokus pada pengembangan militer, karena bagi mereka perang adalah jalan utama. Yang ketiga mereka menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan kelangsungan Negara, serta mempunyai sikap skeptisisme terhadap politik internasional. Dengan asumsi dasar seperti ini, dapat dipastikan bahwa untuk mencapai apa yang ia butuhkan, kaum realis rela melakukan segala cara. Cara-cara yang salahitu dapat merubah atau mengganggu dunia internasional. Menurut realis, sistem internasional yang ada berbentuk anarkhi dengan negara sebagai tokoh utama Negara-negara yang ada, baik negara berkembang atau maju, mempunyai kedudukan yang sama. Negara dipandang sebagai pelindung bagi, wilayah, penduduk, dan cara hidup. Yang menjadi dasar untuk berhubungan dengan dunia internasional adalah kepentingan-kepentingan yang ingin dicapai. Kepentingan-kepentingan tersebut diwujudkan melalui kebijakan luar negeri. Kemudian aktor non-negara hanya dianggap sebagai tokoh sampingan dan tidak mempunyai pengaruh yang significant bagi dunia internasional. Menomor sekiankan aktor non-negara ini adalah salah satu kelemahan dari teori ini yang kemudian dikritik oleh banyak ahli, salah satunya Steven Smith. Agenda utama dari perspektif ini adalah mencapai kekuasaan (struggle of power). Menurut Morgenthau, secara alamiah manusia memiliki kecenderungan untuk selalu berkuasa. Menurut realis secara umum, manusia adalah makhluk cemas akan posisinya. Baik keselamatan maupun hubungan dengan para pesaingnya. Semua serba dalam tekanan karena konflik terjadi dimana-mana. Manusia tidak menemukan suatu kondisi yang benar-benar “nyaman”. Keadaan seperti ini kemudian akan melahirkan beragam kesepakatan damai. Namun, kesepakatan damai tersebut hanyalah kedamaian semu. Dikatakan demikian karena kesepakatan hanyalah tinta diatas kertas, kesepakatan akan dilaksanakan jikalau hal tersebut sesuai dengan kepentingannya. Kesepakatan yang terjadi hanyalah sebuah keformalan, bukan suatu kewajiban. Kesepakatan yang terjadi bisa dilanggar tergantung situasi dan kondisi. Hal-hal seperti ini kemudian melahirkan security dilemma, dimana tidak ada satu negara yang percaya dengan negara lain. Seperti yang kita tahu, ada berbagai jenis realisme, mulai dari realisme klasik hingga neo-realisme. Namun ada beberapa esensi yang selalu tetap, beberapa diantaranya antara lain, statism, survival, dan self-help. Statism merupakan focus dari relisme dimana negara sebagai actor utama yang dimana actor lain tidak memiliki signifikansi yang sama dengan state dan kedaulatan negara sebagai komunitas politik mandiri. Dalam statism, negara menjadi aktor utama yang paling dominan dalam dunia internasional dan proses dalam HI. Selain itu statism menyangkut pula pada otoritas yuridis yang membawahi suatu wilayah. Survival adalah tujuan pengorganisasian negara adalah keteraturan dalam mempertahankan kehidupan masyarakat. Survival merupakan yang hakiki dalam dunia internasional dan dalam proses HI, dimana setiap negara harus dapat bertahan ditengah arus dunia internasional. proses survival ini yang sering mendapat tantangan oleh negara lain. Sedangkan Self – help adalah anggapan bahwa tidak ada satu negarapun yang berani menjamin eksistensinya secara struktural baik dibidang domestik maupun internasional. Artinya, tidak ada musuh atau teman yang abadi, yang ada hanya kepentingan nasional negara. Para realis juga menganggap perdamaian akan sulit diwujudkan. Menurut mereka, untuk mencapai perdamaian harus ada kekuasaan yang berimbang (Balance of Power). Balance of Power pernah terjadi saat perang dingin. Saat itu, Rusia dan Amerika Serikat adalah negara adidaya yang saling menebar pengaruh, kemampuannya pun saling mengimbangi. Untuk mengukur Power bisa melalui berbagai aspek, mulai ekonomi, militer hingga kestabilan dalam negeri. Tidak dapat dipungkiri, realisme menjadi salah satu perspektif yang sangat berpengaruh dalam perkembangan Studi Hubungan Internasional selain liberalism Runtuhnya LBB mengakibatkan timbulnya pandangan baru yaitu pandangan realisme yang mengedepankan konflik/pertikaian dalam memperoleh kepentingan. Itu dikarenakan prespektif liberlisme yang selama ini ada dianggap gagal dalam mencapai perdamaian dunia. Salah satu tokoh pengkritik pandangan liberalis adalah E.H Carr, penstudi HI di Inggris. Menurut Carr, Hubungan Internasional pada dasarnya adalah tentang perjuangan antara kepentingan dan keinginan yang bertentangan. Itulah mengapa HI selalu digambarkan sebagai konflik daripada sebagai kerjasama (Jackson & Sorensen 2009, 54). Penganut realisme lainnya yaitu Morgenthau menjelaskan bahwa sifat manusia merupakan dasar Hubungan Internasional tidak lebih dari hubungan manusia lain yang manapun, dan manusia mementingkan diri sendiri serta mengejar kekuasaan, dan itu dapat dengan mudah mengakibatkan agresi (Jackson & Sorensen 2009, 54). Terdapat 2 (dua) teori realisme yang ada di dunia ini, yang pertama adalah teori realisme klasik yang dianut oleh Niccolò Machiavelli, Thucydides, dan Thomas Hobbes. Thucydides berasusmsi bahwa perang merupakan jalan terbaik karena dianggap hal yang paling masuk akal dalam menjaga kelangsungan hidup suatu negara dan tidak ada jalan lain selain mengandalakan politik dan kekuasaan. Bahkan ada istilah yang mengatakan sivis pacem parra bellum yang berarti jika ingin damai maka berperanglah (Wardhani, 2013). Teori realisme yang kedua adalah teori realisme neo-klasik yang dianut oleh Hans Morgenthau. Morgenthau mengatakan “animus dominandi” yang berarti bahwa manusia adalah binatang politik yang haus akan kekuasaan. Morgenthau berusaha menjelaskan bahwa manusia pada dasarnya adalah mahluk yang egois dan akan selalu menghalalakan berbagai macam cara dalam mencapai kepentingannya. Ada istilah lain menyebutkan “homo hominilupus” yang berarti bahwa manusia adalah pemakan manusia yang lain (Wardhani, 2013). Sedangkan Giplin mengatakan bahwa ada dua penekanan utama pada perspektif realis. Yang pertama adalah adanya pemaksaan politis yang didasari oleh egoisme manusia dan yang kedua adalah ketiadaan pemerintahan internasional yang menyebabkan anarki berlaku sehingga kemudian membutuhkan keunggulan power dan keamanan (Gilpin 1987, 305) Ada 4 asumsi dasar dalam relisme terhadap studi Hubungan Internasional. Yang pertama adalah pandangan pesimisme, dimana realisme melihat suatu fenomena berdasarkan sifat dasar manusia. Asumsi yang kedua mengatakan bahwasanya Hubungan Internasional bersifat konfliktual, mengingat manusia adalah mahluk yang selalu haus akan kekuasaan dan tidak pernah puas. Asumsi yang ketiga mengatakan bahwasannya disini aktor dari Hubungan Internasional, yaitu negara ; menjujung tinggi keamanan nasional dan survival state. Asumsi yang terakhir berpendapat bahwasannya kemajuan dalam politik internasional merupakan tujuan yang sebenarnya. Ada 7 hal penting dan utama yang dimiliki realisme sebagai prespektif yang memandang sesuatu fenomena dengan konflik. Yang pertama adalah state system yang berlaku adalah anarki (anarchy), dimana negara merupakan pemilik kekuasaan tertinggi dan tidak ada kekuasan yang lebih tinggi di atas negara, jadi negara bisa dikatan bisa berkendak sesuai kemauannya dalam mencapai national interest mereka (Wardhani, 2013). Yang kedua mengatakan state are the principal actors, dimana dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional, ada banyak aktor yang dipelajari, tetapi bagi realisme, fokus utama aktor Hubungan Internasional adalah negara karena keamanan negara tetaplah menjadi prioritas. Poin yang ketiga adalah state are unitary and rational, Maksudnya unitary adalah segala tatanan negara dan perbedaan pandangan politis diselesaikan menjadi satu suara sedangkan rasional di sini maksudnya adalah negara dapat memperkirakan bagaimana cara mencapai national interest secara baik supaya hasilnya maksimal. Poin selanjutnya menjelaskan bahwasanya “main concern” dari Hubungan Internasional yang dilakukan oleh para aktor didalamnya adalah survival. Contohnya saja, bahwa Indonesia tidak akan membiarkan sejengkal tanah yang dimiliki diklaim atau bahkan direbut oleh Malaysia, karena jika dibiarkan maka kita lama-kelamaan akan kehilangan tanah yang harus kita pertahankan dan disisi lain tanah yang kita miliki merupakan simbol dari kedaulatan (soveregnity) dari negara kita (Wardhani, 2013). Poin selanjutnya mengatakan bahwa dalam pandangan realisme moralitas memiliki tempat terbatas dalam politik internasional. Maksudnya adalah legal bagi negara menggunakan semua cara demi mencapai kepentingan nasionalnya tanpa melihat sisi moralitas. Poin selanjutnya menjelaskan bahwa kaum realis percaya nilai relatif atas keuntungan absolut, maksudnya adalah kaum realis lebih percaya kepada kemengan relatif daripada kemenangan muthlak, karena kemenangan relatif dianggap bisa bertahan lebih lama. Poin terakhir menjelaskan bahwasanya politik internasional yang dilakukan oleh aktor negara lebih penting daripada politik dalam negeri negara itu sendiri. Setidaknya ada tiga tipe pandangan realis, yaitu structural realism, historical realism, dan liberal realism. Structural realism merupakan pandangan tentang konflik yang permanen atau prakiraan konflik di masa mendatang. Structural realism dibagi menjadi dua, structural realism I dan II. Structural realism I lebih menekankan kepada perilaku manusia sebagai strukturnya sedangkan structural realism II menekankan kepada perilaku negara yang bersifat anarki karena otoritas kedaulatan negaranya yang mutlak. Kemudian historical realism yang menggap bahwa realisme merupakan sebuah izin bagi suatu negara untuk melakukan semua hal demi kelangusangan negara tersebut. Yang terakhir adalah liberal realism yang menolak pandang realisme bahwa konflik merupakan jalan satu-satunya dalam menyelesaikan masalah, karena pada dasarnya banyak hal yang lebih bijak dilakukan dalam menyelesaikan masalah selain berkonflik, contohnya saja dengan bernegosiasi. IV. Kesimpulan 1. Masyarakat internasional mengaanggap teori realisme sebagai teori HI satu dimensi yang fokusnya terlalu sempit. 2. Masayarakat internasional mengklaim bahwa realisme gagal menangkap perluasan politik internasional yang merupakan dialog aliran-aliran dan persepektif persepektif HI yang berbeda. Teradisi masyarakat internasional ttidak kritis terhadap aspek-aspek pemikiran kaum realisme , sebaiknya pensetudi masyarakat internasional menggakui bahwa realisme klasik – neo klasik memberikan sudut pandang penting pada politik global/dunia. 3. Para kaum realisme sepakat bahwa ada tekanan dalam sifat manusia yaitu mementingkan diri sendiri dan suka berperang. Mereka meiliki focus dimana Negara dimunculkan secara besar-besaran dan konsepsi hubungan internasional yang anarkis. Mereka sepakat bahwa kekuatan itu penting dan HI secara signifikan terdiri dari politik kekuatan. Mereka sepakat teori internasioanal dalam beberapa hal penting diantaranya teori keamanan dan kelangsungan hidup mereka mengakui bahwa kepentingan nasional merupakan nilai penting dalam politik dunia. 4. Kaum non realisme menganggap bahwa teori realisme tidak mencakup aspek penting HI atau bahkan aspek yang paling penting. Mereka berpendapat bahwa kaum relisme merendahkan, mengabaikan atau mengurangi sendi-sendi penting kehidupan internasional. Realisme memandang rendah tekanan bersifat koopratif dalam sifat manusia. Realisme mengabaikan actor-aktor lain disamping Negara seperti LSM dan manusia. Realism membentuk masyarakat yang anarkis dan Negara- Negara tidak hanya berada dalam konflik. Mereka memilki kepentingan bersama dan mematuhi peraturan bersama yang memberikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbale balik. Realisme menganggap rendah terhadap hubungan –hubungan Negara yang diatur dalam hukum internasional. Realisme menganggap politik internasional bersifat progresif. V. Penututup Demikianlah makalah ini kami paparkan. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Kami sadar masih bayak kekurangan dalam makalah ini saran dan kritik yang konstuktif kami harapkan guna memperbaiki makalah kami selanjutnya Daftar Pustaka: Jackson, R., &. Sorensen, G. (1999) Introduction to International Relations, Oxford University Press.

SURAT GUGATAN Gugatan Class Action (Wanprestasi)

SURAT GUGATAN Semarang, 05 Januari 2013 Nomor : 0351/SG/PRDT/I/2013 Lampiran : 3 Berkas Perihal : Gugatan Class Action (Wanprestasi) Kepada Yang Terhormat, Ketua Pengadilan Negeri Sidoarjo di- Jalan Soedirman Nomor 15 Sidoarjo Jawa Timur Dengan Hormat, Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Sutaat Suratman, SE., SH., MH Pekerjaan : Advokat Tempat, tanggal lahir : Surabaya, 04 Februari 1985 Alamat : Jalan Soekarno-Hatta Nomor 09 Surabaya Berdasarkan Surat Kuasa khusus tanggal 01 Januari 2013(terlampir) adalah Penerima Kuasa, dan karenanya bertindak untuk dan atas nama Pemberi kuasa, yakni: Nama : Drs. Hernandi Kusumadi Pekerjaan : Kepala Desa Jatirejo Porong-Sidoarjo Tempat, tanggal lahir : Sidoarjo, 5 Maret 1972 Alamat : Jalan Jenderal Sudirman Nomor 05 Porong Sidoarjo Yang selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT Dengan ini mengajukan gugatan perdata atas kasus pemberian ganti rugi ysng belum terealisasi terhadap: Nama : Drs. Jakfar Ma’ruf, MSi Pekerjaan : Direktur Utama PT. Lapindo Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 23 April 1967 Alamat : Jalan Panglima Sudirman Nomor 29 Surabaya Selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT Adapun dalam gugatan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Bahwa Presiden RI (Susilo Bambang Yudoyono) telah mendesak PT. Lapindo untuk segera memberikan ganti kerugian kepada seluruh warga yang terkena korban lumpur Lapindo. 2. Bahwa kemudian Lingkungan Hidup (Rachmad Witoelar) telah melayangkan surat kepada PT. Lapindo untuk segera memberikan ganti rugi kepada seluruh warga yang terkena korban lumpur lapindo. 3. Bahwa Gubernur dalam siaran Persnya mendesak Pemerintah Kabupaten Sidoarjo untuk segera bertindak terhadap PT. Lapindo untuk segera memberikan ganti rugi kepada seluruh warga yang terkena korban lumpur lapindo. 4. Bahwa PT. Lapindo atas desakan Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo telah memberikan ganti rugi kepada warga korban lumpur Lapindo sebesar Rp. 2.000.000; (dua juta rupiah) per kepala keluarga. 5. Bahwa masih terdapat 500 (lima ratus) kepala keluarga yang belum mendapat ganti rugi sebagaimana nomor 4. 6. Bahwa PT. Lapindo telah menyatakan akan membayar tuntas segala kerugian masyarakat akibat lumpur Lapindo yakni tanggal 30 desember 2006 7. Bahwa sampai dengan batas yang ditentukan yakni tanggal 30 desember 2006 masih terdapat 300 (tiga ratus) kepala keluarga yang belum menerima uang ganti rugi. 8. Bahwa dengan telatnya pemberian ganti rugi, maka akan berakibat terhadap kerugian dan terlantarnya korban lumpur Lapindo serta tidak jelasnya arah pekerjaan mereka selanjutnya. DALAM PROPOSISI Bahwa Tergugat ternyata ingin melepaskan tanggung jawabnya untuk membayar kewajibannya kepada Penggugat, yang mana dengan tidak dipenuhinya tanggung jawab tersebut oleh Tergugat maka dapat merugikan secara materiil terhadap Penggugat. Oleh sebab itu untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan pengadilan terhadap perkara ini nantinya, maka beralasanlah menurut hukum jika harta kekayaan Tergugat, baik yang berupa barang bergerak maupun tidak bergerak diletakkan dibawah sita jaminan (conservatoir beslag), dan Penggugat memohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Negeri Sidoarjo untuk memerintahkan penyitaan terhadap harta kekayaan Tergugat tersebut. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka dengan ini Penggugat memohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Negeri Sidoarjo untuk memeriksa perkara ini, dan kemudian berkenan kiranya untuk memberikan putusan sebagai berikut: PRIMAIR 1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya. 2. menyatakan sah dan berharga atas sita jaminan (conservatoir beslag) yang dilakukan terhadap harta kekayaan Tergugat. 3. Menghukum Tergugat untuk membayar semua biaya perkara ini. SUBSIDER Atau majelis hakim yang memeriksa perkara ini dapat memberikan putusan yang lain yang seadil-adilnya. Demikian surat gugatan ini kami sampaikan, atas perhatian Majelis Hakim yang terhormat kami ucapkan terima kasih. Hormat Kami Kuasa Hukum Penggugat (Sutaat Suratman, SE.,SH., MH

SURAT KUASA Gugatan Class Action (Wanprestasi)

Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Drs. Hernandi Kusumadi Pekerjaan : Kepala Desa Jatirejo Porong-Sidoarjo Tempat, tanggal lahir : Sidoarjo, 5 Maret 1972 Alamat Alamat : Jalan Jenderal Sudirman Nomor 05 Porong Sidoarjo Mewakili Class Action korban lumpur Lapindo Kelurahan Jatirejo, dengan ini memberikan kuasa kepada: Nama : Sutaat Suratman,SE., SH., MH Pekerjaan : Advokat Tempat, tanggal lahir : Surabaya, 04 Februari 1985 Alamat : Jalan Soekarno-Hatta Nomor 09 Surabaya ------------------------------------------KHUSUS------------------------------------------- Untuk mewakili atau bertndak untuk dan atas nama pemberi kuasa sebagai Penggugat dalam perkara perdata mengenai gugatan Class Action kepada PT. Lapindo terkait wanprestasi pemberian ganti rugi, melawan Tergugat: Nama : Drs. Jakfar Ma’ruf, MSi Pekerjaan : Direktur Utama PT. Lapindo Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 23 April 1967 Alamat : Jalan Panglima Sudirman Nomor 29 Surabaya Untuk itu Si penerima kuasa berhak untuk: o Menjalankan proses beracara pada tingkatan Pengadilan Negeri o Membuat, menandatangani dan mengajukan gugatan o Memberi keterangan atau penjelasan baik tertulis maupun lisan o Mengajukan jawaban dan tanggapan, replik dan duplik dalam konvensi dan rekonvensi, baik lisan maupun tulisan o Mengajukan berbagai macam alat bukti termasuk saksi-saksi dan ahli-ahli Diluar dari ketentuan diatas Si penerima kuasa tidak dapat melakukan upaya hukum tanpa sepengetahuan si pemberi kuasa. Surat kuasa ini berlaku mulai ditandanganinya surat kuasa, dan akan berakhir sampai pada saat persidangan perkara tersebut selesai, serta pihak penerima kuasa akan mendapat imbalan (honor) yang akan dibayar kemudian hari setelah perkara ini selesai. Surabaya, 01 Januari 2013 Penerima Kuasa Pemberi Kuasa (Slamet Sudarmanto, SE.,SH., MH) (Drs. Hernandi Kusumadi)

SENGKETA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK MAHKAMAH KONSTITUSI

I. PENDAHULUAN Ide konstitusionalisme (constitutionalism) adalah gagasan bahwa negara (government) bisa dan harus dibatasi kekuasaannya dengan menetapkan kerangka aturan main dalam suatu bentuk peraturan yang memiliki kasta paling tinggi. Konstitusi atau Undang-Undang Dasar didaulat menjadi aturan tertinggi dalam suatu negara (the supreme law of the land). Konstitusi menjadi dasar acuan utama yang membatasi kekuasaan lembaga-lembaga negara dengan menetapkan kewenangan dan tugas dari tiap-tiap lembaga negara serta mengatur tentang hubungan tata kerja antar lembaga negara tersebut. Dalam konstruksi klasik pembagian kewenangan lembaga negara, maka yang biasa mengemuka adalah teori Trias Politica. Teori yang dicetuskan oleh Montesquieu ini menjadi acuan, atau paling tidak sebagai pembanding, atas penerapan pembagian kekuasaan dan hubungan lembaga negara dalam praktek kenegaraaan di berbagai negara, meskipun sekarang banyak variasi yang muncul dari teori klasik ini. Namun, ide konstitusionalisme tidak lantas diasosiasikan dengan Montesquieu sebagai pencetus awalnya. Tidak ada literatur yang menyebutkan dengan pasti siapa pencetus awal gagasan konstitusionalisme ini. Namun, banyak kalangan menyebut John Locke dan founding fathers Amerika Serikat sebagai mereka yang menggagas dan menerapkan ide konstitusionalisme ini. II. POKOK BAHASAN 1. Bagaimana kaitannya konstitusionalisme dengan Mahkamah Konstitusi (MK) dan konsistensi konstitusional? 2. keterkaitan antara 3 (tiga) konsep tersebut dengan memaparkan mengenai konstitusi Indonesia (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya UUD 1945) 3. fungsi MK sebagai penafsir dan penjaga konstitusi melalui pelaksanaan kewenangan dan kewajibannya dan mekanisme Memutus pembubaran partai politik III. PEMBAHASAN A. Konstitusi, Konstitusionalisme Dan Mahkamah Konstitusi Sejatinya, dalam surat permohonan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) mengajukan topik diskusi dengan judul “Konsistensi Konstitusional untuk Menegakkan Supremasi Hukum dalam Rangka Ketahanan Nasional”. Berangkat dari frasa “konsistensi konstitusional”, tertangkap sebuah konsep besar yang selaras dengan gagasan konstitusionalisme, sebagaimana telah dibahas sedikit dalam pendahuluan. Secara implisit, maksud dari frase “konsistensi konstitusional” yang diajukan oleh Lemhannas ini adalah bahwa peraturan perundang-undangan dan praktek ketatanegaraan haruslah selaras dengan aturan-aturan konstitusi. Setiap lembaga negara, terutama pemerintah, harus dibatasi kekuasaannya dengan menetapkan tugas dan kewenangannya dalam koridor konstitusional. UUD menjadi cermin yang merefleksikan bagaimana susunan dan kedudukan lembaga-lembaga negara itu ditata serta bagaimana ketentuan-ketentuan pada peraturan perundang-undangan taat asas dengan UUD. Konstitusi Indonesia memiliki keunikan tersendiri. Keunikan itu lahir dari uniknya Indonesia yang memiliki karakter Pancasila sebagai jati diri dan cara pandang terhadap bangsa. Konstitusi memegang peranan yang lebih bersifat ideologis dengan mengekspresikan nilai-nilai dan jati diri kebangsaan suatu bangsa, secara tersurat maupun tersirat. Bagi Indonesia, nilai-nilai bersama dan jati diri khusus dari bangsa Indonesia adalah Pancasila. Soekarno mendeskripsikan Pancasila sebagai “… satu Weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat pemersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke hanyalah dapat bersatu padu diatas daras Pancasila itu. …Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, mempunyai karakter sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya, dan lain sebagainya.” (Soekarno, 1958) Perumusan nilai-nilai Pancasila sehingga menjadi ideologi bangsa digali dari pribadi dan jati diri bangsa. Nilai-nilai Pancasila terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan menjiwai seluruh norma yang terdapat dalam batang tubuh konstitusi. Pancasila adalah roh dari konstitusi dan segala peraturan perundang-undangan yang berlaku. UUD 1945, yang didalamnya terkandung nilai-nilai Pancasila, memiliki gagasan konstitusionalisme yang sangat kuat terbaca dalam tiap-tiap pasalnya. Yang paling utama adalah pernyataan eksplisit pada pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Selain itu, Pasal 1 ayat (3) menegaskan ketentuan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Sebelum Perubahan UUD, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Ketentuan konstitusional ini memberi mandat penuh kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk melaksanakan kedaulatan rakyat secara penuh. Dengan demikian, MPR menjelma menjadi super parliamentary body yang menentukan arah kebijakan dan haluan negara. MPR juga diberikan kewenangan untuk menetapkan garis-garis besar haluan negara (GBHN) yang berisikan program kerja pemerintahan dan lembaga negara selama 5 (lima) tahun atau satu periode kekuasaan pemerintah. Secara tidak langsung, MPR dikala itu dapat dikatakan sebagai lembaga yang paling berwenang untuk menafsirkan UUD melalui penetapan GBHN dan ketetapan-ketetapan MPR lainnya. Performa lembaga-lembaga negara diukur dari tingkat efektifitas lembaga tersebut menjalankan GBHN. Bahkan, Penjelasan UUD mengatur secara khusus hubungan antara MPR dengan Presiden dengan menyebutkan bahwa “… Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis.” Perubahan UUD 1945 membawa dampak signifikan bagi rancang-bangun sistem ketatanegaraan Indonesia. Gagasan konstitusionalisme makin kuat terpolakan dalam Perubahan UUD dengan pembatasan kekuasaan pemerintah dan pengaturan pola hubungan antar lembaga negara. Keberadaan model lembaga tertinggi negara tidak lagi dianut sehingga kewenangan MPR terpangkas. Model hubungan kelembagaan yang bersifat “horizontal fungsional” adalah yang dipilih dengan adanya perubahan UUD 1945. Dengan demikian, mekanisme saling mengawasi dan dalam kedudukan yang setimbang (checks and balances mechanism) lebih ditekankan dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan. Masing-masing lembaga negara diberi mandat konstitusional akan tugas dan kewenangannya. Mekanisme saling keterhubungan antar lembaga negara untuk menjalankan mekanisme pengawasan pun diatur lebih rigid. Misalnya, keterhubungan antara DPR dan Presiden dalam pola penyusunan Undang-undang telah diatur sedemikian rupa dalam mekanisme konstitusional yang tercantum dalam pasal-pasal UUD. Lembaga-lembaga negara baru (yaitu: Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah, dan Komisi Yudisial), sebagai imbas dari adanya Perubahan UUD 1945, dibentuk. Keberadaan lembaga-lembaga negara ini adalah untuk mengakomodir penerapan pola sistem ketatanegaraan yang baru. Pembentukan Mahkamah Konstitusi, sendiri, pada awalnya berangkat dari semangat para anggota MPR untuk menyusun proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya (impeachment/pemakzulan) agar melalui forum hukum terlebih dahulu dan tidak hanya dihakimi dalam forum politik, layaknya yang terjadi pada proses pemakzulan sebelum Perubahan UUD 1945 (contoh kasus: pemberhentian Presiden Abdurahman Wahid). Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”. Selain menjadi lembaga yang menghakimi pendapat DPR atas pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden, MK juga diberikan kewenangan lainnya yaitu : (i) menguji Undang-Undang terhadap UUD; (ii) memutus sengketa kewenangan lembaga negara; (iii) memutus pembubaran partai politik; dan (iv) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kewenangan dan kewajiban konstitusional MK tersebut adalah untuk menjaga agar kehidupan ketatanegaraan tidak menyimpang dari norma-norma konstitusi. Berikut ini akan diuraikan satu persatu kewenangan dan kewajiban konstitusional dikaitkan dengan maksud dari pelaksanaan kewenangan dan kewajiban tersebut dengan peranan MK sebagai penjaga Konstitusi (the Guardian of the Constitution). B. Memutus pembubaran partai politik Partai politik dipandang sebagai wahana kontemporer yang paling pas untuk menunjang sistem demokrasi. Namun disisi lain, negara pun harus mengatur kebebasan berserikat dan mengungkapkan pendapat sebagai hak konstitusional partai politik. Ukuran yang diterapkan negara untuk “mengatur” hak dan kebebasan partai politik haruslah dalam porsi yang tepat, sehingga aturan tersebut tidak untuk “menekan” atau tidak pula terlalu “longgar”. Aturan itu harus dibuat dalam ukuran porsi konstitusional sesuai dengan bejana ketentuan Konstitusi. Disinilah peran MK untuk mencari keseimbangan antara hak konstitusional partai politik untuk mengekspresikan kebebasan berserikat dan berkumpul dengan kebijakan negara untuk mengatur sistem kepartaian dan mencari format demokrasi yang baik bagi jalannya roda pemerintahan. Dengan berkembangnya ide konstitusionalisme, konstitusi menjadi sumber utama untuk melihat bagaimana pola rancang-bangun partai politik itu disusun dalam norma-norma konstitusi. Namun, merancang bangun atau mengatur partai politik bukanlah hal yang mudah sebab karakter dasar unik yang dimiliki oleh partai politik. Pencantuman kata “partai politik” atau bahkan pengaturan partai politik secara eksplisit, di konstitusi beberapa negara, telah mengukuhkan pengakuan konstitusional akan peranan dan kedudukan partai politik pada sistem ketatanegaraan. Kedudukan partai politik yang pengaturannya -atau paling tidak hanya peranannya- disebut dalam konstitusi serta peranan idealnya dalam sistem demokrasi menegaskan bahwa partai politik memiliki kedudukan konstitusional yang tinggi dalam sistem ketatanegaraan. Disisi lain, dengan adanya MK sebagai lembaga yang berwenang memutus pembubaran partai politik maka pemerintah tidak dapat secara sepihak atau sewenang-wenang membubarkan partai politik yang merupakan pengejawantahan dari kebebasan berekspresi untuk berserikat dan berkumpul dari setiap warga negara. Namun, hak prerogatif tetap dimiliki oleh pemerintah sebagai satu-satunya pihak yang berhak berlaku sebagai pemohon. Dalam pengajuan permohonan pembubaran partai politik, pemerintah harus menyebutkan secara jelas dalam permohonannya bahwa ideologi, tujuan, asas, program atau kegiatan yang dilakukan oleh partai politik telah melanggar nilai-nilai konstitusi. Bayangkan, bila kran pihak yang berhak menjadi pemohon dibuka sebesar-besarnya maka internal kader partai yang berseteru dapat saja mengajukan pembubaran partai politik ke MK atau juga lawan politik dari partai politik yang saling bersitegang. Dalam pasal 24 C ayat 1 UUD 1945 salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi “mengadili tingkat pertama dan terakhir yang putusan bersifat final untuk memutus pembubaran partai politik” kewenangan yang menjadi perdebatan karena sesunggunhnya partai politik sebagai pilar demokrasi dan menentang prinsip – perinsip HAM serta kebebasan berserikat dan berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Menurut H.A.S Natabaya Hakim Mahkamah Konstitusi pembubaran parpol oleh Mahkamah Konstitusi merupakan tindakan yuridis dalam rangka penegakan demokrasi. Parpol di larang mengembangkan paham atau idiologi Komunisme/ Marxisme, lenisme maka parpol akan di bubarkan oleh Mahkamah Konstitusi dan harus diajukan oleh pemerintah sebagai pemohon kepada Mahkamah Konstitusi. Pembubaran partai politik dalam praktek ada dua alasan mendasar pertama parpol memiliki ideologi yang bertentangan dengan ideologi Negara yang dianggap sebagai idiologi yang membahayakan Negara . PKI , MASYUMI, IV. SIMPULAN Indonesia memiliki jati diri yang unik. Falsafah Pancasila adalah wahana cara pandang bangsa Indonesia untuk melihat bangsa Indonesia kedalam (antara negara dan rakyat) maupun keluar (dengan negara-negara lain). Rumusan Pancasila yang terdapat pada Pembukaan UUD 1945 menjadi ruh dari batang tubuh UUD 1945. Nilai-nilai Pancasila sebagai pemersatu bangsa dipertahankan dan dijalankan dalam aturan konstitusi. Oleh karenanya, penerapan aturan konstitusi secara konsisten bertujuan untuk menjaga dan menciptakan keutuhan bangsa. Bahaya inkonsistensi penerapan aturan konstitusi bisa mengancam keutuhan bangsa. Bila peraturan perundang-undangan diterapkan tidak selaras dengan nilai-nilai konstitusi maka kemungkinan akan terjadi chaos dan ketidakpastian hukum. Bila tidak ada institusi yang memutus perselisihan hasil pemilu, kemungkinan munculnya mobokrasi tidak terelakkan. Ketidakpuasan akan hasil pemilu, terlebih bila pemilu itu diwarnai oleh pelanggaran dan kecurangan, dengan mudahnya akan menyulut api perpecahan terutama di masyarakat Indonesia yang belum dewasa dalam berdemokrasi. Konsep konsistensi konstitusional selaras dengan gagasan konstitusionalisme yang dianut UUD 1945. Ide konstitusionalisme melandasi penyusunan sistem dan mekanisme ketatanegaraan yang dikonstruksikan oleh UUD. Tiap-tiap lembaga negara diberikan mandat konstitusional berupa tugas dan kewenangan yang menjadi peran yang harus dilaksanakannya. MK diberikan kewenangan-kewenangan yang menjadikan dirinya sebagai penjaga dan pengawal konstitusi. Kewenangan dan kewajiban MK adalah dilakukan untuk menjaga aturan konstitusi. Penerapan UU harus tetap dalam koridor konstitusi, bila ada UU yang menyimpang dari nilai konstitusional maka MK menjadi lembaga yang meluruskannya; Perselisihan hasil pemilu harus ditegakkan demi terjaganya nilai-nilai demokrasi konstitusional, MK menjadi lembaga yang memastikan bahwa pelanggaran pemilu diselesaikan dan keadilan pemilu ditegakkan; Pembubaran partai politik harus dilakukan sesuai dengan konstitusi agar tidak melanggar hak konstitusional warga negara dalam menerapkan kebebasan berserikat dan berkumpul; Sengketa kewenangan antar lembaga negara harus diselesaikan dalam koridor konstitusional agar tiap-tiap lembaga negara berperan dan berfungsi sebagaimana diatur oleh konstitusi; Dan terakhir, pendapat DPR mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diputus oleh MK berdasarkan acuan dan ukuran konstitusi sehingga hukum dan konstitusi menjadi pegangan utama dan bukan atas dasar pertimbangan politis semata. Kesemuanya itu dijalankan MK sesuai mandat konstitusi dan dilakukan untuk menjaga konsistensi konstitusional. V. PENUTUP Demikianlah makalah ini kami paparkan. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Kami sadar masih bayak kekurangan dalam makalah ini saran dan kritik yang konstuktif kami harapkan guna memperbaiki makalah kami selanjutnya. DAFTAR PUSTAKA Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Jakarta: Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mkri Cetakan Pertama, Agustus 2010 UUD 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-garis besar daripada haluan negara” UUD 1945 Indonesia, Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, Bagian tentang Sistem Pemerintahan Negara bahagian III. Kekuasaan Negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Die Gezamte Staatgewalt liegi allein bei der Majelis) Stanford Encyclopedia of Philosophy, Constitutionalism, http://plato.stanford.edu/entries/ constitutionalism/#BM5, diunduh pada tanggal 10 Agustus 2011. Lihat juga Douglas H. Ginsburg, On Constitutionalism, Cato Supreme Court Review, http://www.cato.org/pubs/scr/2003/constitutional.pdf, diunduh pada tanggal 10 Agustus 2011.

Rabu, 03 April 2013

NARKOBA DALAM P-ERSPEKTIF DALAM HKUM PIDANA KHUSUS

1.PENDAHULUAN Pengaturan narkotika berdasarkan undang-undang nomor 35 tahun 2009 (UU No.35 tahun 2009), bertujuan untuk menjamin ketersedian guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah penyalahgunaan narkotika, serta pemberantasan peredaran gelap narkotika. Penyalahgunaan narkotika di Indonesia sudah sampai ketingkat yang sangat mengkhawatirkan, fakta dilapangan menunjukan bahwa 50% penghuni LAPAS (lembaga pemasyarakatan) disebabkan oleh kasus narkoba atau narkotika.Berita kriminal di media masa, baik media cetak maupun elektronik dipenuhi oleh berita penyalahgunaan narkotika. Korbannya meluas kesemua lapisan masyarakat dari pelajar, mahasiswa, artis, ibu rumah tangga, pedagang , supir angkot, anak jalanan, pejabat dan lain sebagainya. Narkoba dengan mudahnya dapat diracik sendiri yang sulit didiktesi.Pabrik narkoba secara ilegalpun sudah didapati di Indonesia. Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika telah banyak dilakukan oleh aparat penegakan hukum dan telah banyak mendapatkan putusan hakim di sidang pengadilan. Penegakan hukum ini diharapkan mampu sebagai faktor penangkal terhadap merebaknya peredaran perdagangan narkoba atau narkotika, tapi dalam kenyataan justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat pula peredaran perdagangan narkotika tersebut. Tindak pidana narkoba atau narkotika berdasarkan undang-undang nomor 35 tahun 2009 (UU No.35 tahun 2009), memberikan sangsi pidana cukup berat, di samping dapat dikenakan hukuman badan dan juga dikenakan pidana denda, tapi dalam kenyataanya para pelakunya justru semakin meningkat.Hal ini disebabkan oleh faktor penjatuhan sangsi pidana tidak memberikan dampak atau deterrent effect terhadap para pelakunya. Gejala atau fenomena terhadap penyalahgunan narkotika dan upaya penanggulangannya saat ini sedang mencuat dnan menjadi perdebatan para ahli hukum. Penyalahgunaan narkoba atau narkotika sudah mendekati pada suatu tindakan yang sangat membahayakan, tidak hanya menggunakan obat-obatan saja, tetapi sudah meningkat kepada pemakaian jarum suntik yang pada akhirnya akan menularkan HIV. Perkembangan kejahatan narkotika pada saat ini telah menakutkan kehidupan masyarakat. Dibeberapa negara, termasuk indonesia , telah berupaya untuk meningkatkan program pencegahan dari tingkat penyuluhan hukum sampai kepada program pengurangan pasokan narkoba atau narkotika Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan permasalahannya sebagai berikut: II.Pokok Bahasan a.Apa pengertian narkotika serta jenis-jenis Narkotika? bBagaimanakah kebijakan hukum pidana yang tertuang dalam Undang- Undang Narkotika (UU No. c.Siapa saja yang dapat disebut sebagai pelaku perbuatan pidana narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ? d.Bagaimana sangsi hukum pidana bagi pelaku tindak pidana narkotika? III.PEMBAHASASAN APengertian Narkotika dan Jenis-Jenis Narkotika Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sitensis maupun semi sitensis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.[1] Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu.Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional. Yang dimakud narkotika dalam UU No. 35/2009 adalah tanaman papever, opium mentah, opium masak, seperti candu, jicing, jicingko, opium obat, morfina, tanaman koka, daun koka, kokaina mentah, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, damar ganja, garam-garam atau turunannya dari morfin dan kokaina. Bahan lain, baik alamiah, atau sitensis maupun semi sitensis yang belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti morfina atau kokaina yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan, dan campuran- campuran atau sediaan-sediaan yang mengandung garam-garam atau turunan-turunan dari morfina dan kokaina, atau bahan-bahan lain yang alamiah atau olahan yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika.[2] Berdasarkan rumusan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 diatas, penulis dapat menarik kesimpulan, bahwa tanaman atau barang ditetapkan sebagai narkoba atau bukan setelah melalui uji klinis dan labotarium oleh Depertemen Kesehatan. Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika membagi narkotika menjadi tiga golongan, sesuai dengan pasal 6 ayat 1 : 1. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. 2. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. 3. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/ atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. 2. Sanksi-Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika (berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika) Mengingat betapa besar bahaya penyalahgunaan Narkotika ini, maka perlu diingat beberapa dasar hukum yang diterapkan menghadapi pelaku tindak pidana narkotika berikut ini: 1. Undang-undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP 2. Undang-undang RI No. 7 tahun 1997 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Illicit Traffic in Naarcotic Drug and Pshychotriphic Suybstances 19 88 ( Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap narkotika dan Psikotrapika, 1988) 3. Undang-undang RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika sebagai pengganti UU RI No. 22 tahun 1997. Untuk pelaku penyalahgunaan Narkotika dapat dikenakan Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, hal ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut :[3] 1. Sebagai pengguna Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 116 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun. 2. Sebagai pengedar Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 81 dan 82 Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang narkotika, dengan ancaman hukuman paling lama 15 + denda. 3. Sebagai produsen Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 113 Undang-undang No. 35 tahun 2009, dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun/ seumur hidup/ mati + denda. Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama – sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional. Berdasarkan hal tersebut guna peningkatan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Narkotika perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.Hal ini juga untuk mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam Undang-Undang ini diatur juga mengenai Prekursor Narkotika karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam Undang-Undang ini dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika.Selain itu, diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika. Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN tersebut didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. BNN tersebut merupakan lembaga non struktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang hanya mempunyai tugas dan fungsi melakukan koordinasi.Dalam Undang-Undang ini, BNN tersebut ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) dan diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan.BNN berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Selain itu, BNN juga mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai instansi vertikal, yakni BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota. Untuk lebih memperkuat kelembagaan, diatur pula mengenai seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dan upaya rehabilitasi medis dan sosial. Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih, dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun internasional. Dalam Undang-Undang ini diatur juga peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.Penghargaan tersebut diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Namun demikian, dalam tataran implementasi, sanksi yang dikenakan tidak sampai pada kategori maksimal.Hal ini setidaknya disebabkan oleh dua hal.Pertama, kasus yang diproses memang ringan, sehingga hakim memutuskan dengan sanksi yang ringan pula.Kedua, tuntutan yang diajukan relatif ringan, atau bahkan pihak hakim sendiri yang tidak memiliki ketegasan sikap. Sehingga berpengaruh terhadap putusan yang dikeluarkan 3. Penegakan Hukum Pidana Dalam Tindak Pidana Narkotika Berbicara mengenai penegakan hukum pidana, dapat dilihat dari cara penegakan hukum pidana yang dikenal dengan sistem penegakan hukum atau criminal law enforcement sebagai bagian dari criminal policy atau kebijakan penanggulangan kejahatan. Dalam penanggulangan kejahatan dibutuhkan dua sarana yakni menggunakan penal atau sanksi pidana, dan menggunakan sarana non penal yaitu penegakan hukum tanpa menggunakan sanksi pidana (penal). Penegakan hukum dengan mempunyai sasaran agar orang taat kepada hukum. Ketaatan masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga hal yakni: a) takut berbuat dosa; b) takut karena kekuasaan dari pihak penguasa berkaitan dengan sifat hukum yang bersifat imperatif; c) takut karena malu berbuat jahat. Penegakan hukum dengan sarana non penal mempunyai sasaran dan tujuan untuk kepentingan internalisasi.[4] Keberadaan Undang-Undang Narkotika merupakan suatu upaya politik hukum pemerintah Indonesia terhadap penanggulangan tindak pidana narkotika dan psikotropika.Dengan demikian, diharapkan dengan dirumuskanya undang-undang tersebut dapat menanggulangi peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, serta menjadi acuan dan pedoman kepada pengadilan dan para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan yang menerapkan undang-undang, khususnya hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap kejahatan yang terjadi. Dalam penelitian ini, penulis akan mencoba meneliti tentang kebijakan hukum pidana yang tertuang dalam Undang-Undang Psikotropika dan Undang-Undang Narkotika serta implementasinya dalam penangulangan tindak pidana narkotika dan psikotropika penegakan hukum salah satunya dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat menghambat berjalannya proses penegakan hukum itu sendiri. Adapun faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut:[5] 1. Faktor hukumnya sendiri, yang dalam hal ini dibatasi pada undangundang aja; 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membuat atau membentuk maupun yang menerapkan hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan, hal ini disebabkan esensi dari penegakan hukum itu sendiri serta sebagai tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan UU No.35 tahun 2009 tentang Narkotika pasal 1.Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan Dalam UU No. 35/2009 jenis-jenis narkotika adalah tanaman papever, opium mentah, opium masak, seperti candu, jicing, jicingko, opium obat, morfina, tanaman koka, daun koka, kokaina mentah, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, damar ganja, garam-garam atau turunannya dari morfin dan kokaina. Bahan lain, baik alamiah, atau sitensis maupun semi sitensis yang belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti morfina atau kokaina yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan, dan campuran- campuran atau sediaan-sediaan yang mengandung garam-garam atau turunan-turunan dari morfina dan kokaina, atau bahan-bahan lain yang alamiah atau olahan yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial 1. SARAN Penanggulangan dan pencegahan terhadap penyalahgunaan NARKOTIKA merupakan tanggung jawab bangsa Indonesia secara keseluruhan, bukan hanya berada pada pundak kepolisian ataupun pemerintah saja.Namun, seluruh komponen masyarakat diharapkan ikut perperan dalam upaya penanggulangan tersebut. Setidaknya, itulah yang telah diamanatkan dalam pelbagai perundang-undangan negara, termasuk UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika pandangan Agama narkoba adalah barang yang merusak akal pikiran, ingatan, hati, jiwa, mental dan kesehatan fisik seperti halnya khomar. Oleh karena itu maka Narkoba juga termasuk dalam kategori yang diharamkan Allah SWT. DAFTAR PUSTAKA Mardani.2007.Penyalahgunaan Narkoba. Jakarta:Rajawali Pers. Sunarso, siswantoro.2004.Penegakan Hukum Psikotropika. Jakarta:Rajawali Pers. Makarao, taufik, et.al.2003 Tindak Pidana Narkotika. Jakarta: Ghalia Indonesia. Sunarso, Siswantoro. 2004. Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis.Jakarta: Raja Grafindo Persada. Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan hukum. Jakarta: CV. Rajawali http://ahmadtholabi.wordpress.com/28 O3 2013//-13:56 WIB ________________________________________ [1] Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang narkotika pasal 1 [2] Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang narkotika [4] Siswantoro Sunarso. 2004. Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis.Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal. 142.D [5] Soerjono Soekanto. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan hukum. Jakarta: CV. Rajawali. Hal. 5.