Minggu, 24 April 2011

ASAS- ASAS DAN SISTEM HUKUM PERDATA

Makalah ini akan membahas mengenai Hukum Perdata Internasional dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pembahasannya. Diantaranya adalah defenisi, sejarah, seumber-sumber Hukum Perdata Internasional dan beberapa hal lagi yang akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan. Pada hakekatnya setiap negara yang berdaulat, memiliki hukum atau aturan yang kokoh dan mengikat pada seluruh perangkat yang ada didalamnya. Seperti pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki mainstream Hukum Positif untuk mengatur warga negaranya. Salah satu hukum positif yang ada di Indonesia adalah Hukum Perdata Internasional yang nantinya akan dibahas lebih detail.
Permasalahan mengenai keperdataan yang mengkaitkan antara unsur-unsur internasional pada era globalisasi saat sekarang ini cukup berkembang pesat. Aktor non-negara dan aktor individu mempunyai peran yang sangat dominan. Pada saat sekarang ini berbagai perusahaan-perusahaan multi nasional (Multi National Corporation) baik yang berorientasi pada keuntungan atau yang tidak berorientasi pada keuntungan hilir mudik melintasi batas territorial suatu negara untuk melakukan transaksi perdagangan, kerjasama, memecahkan permasalahan, riset dan berbagai kegiatan lainnya.
Begitu juga dengan aktor individu, mereka-mereka yang mempunyai uang lebih atau ingin mencari uang lebih keluar masuk dari satu negara ke negara lain dengan proses yang begitu cepat. Terjadinya perkawinan dua warga negara yang berbeda, mempunyai keturunan disuatu negara, mempunyai harta warisan dan lain sebagainya. Inilah sebuah konsekwensi dari sebuah globalisasi, tak bisa dihindari, akan tetapi inilah sebuah kebutuhan dan merupakan sifat dasar umat manusia. Masalah-masalah keperdataan diatas diperlukan sebuah wadah untuk dapat menjadi acuan dan rujukan bertindak dari aktor-aktor tersebut. Wadah tersebut diperlukan agar dunia yang ditempati ini tidak didasari dengan hukum rimba, yang kuat menang dan yang lemah akan tersingkir, secara arti luas yang kaya akan menjadi semakin kaya dan yang miskin akan bertambah miskin. Keperluan-keperuan akan suatu hal untuk mengatur permaslahan-permasalahan diataslah menjadikan hukum tentang keperdataan perlu diatur dalam sutau kerangka kerangka hukum positif.
B. Rumusan Masalah
Penulisan makalah ini diarahkan untuk mendapatkan pemahaman mengenai beberapa hal yang menjadi fokus penulisan makalah, yaitu:
1. Apakah yang dimaksud dengan Hukum Perdata Internasional
2. Apa saja pembahasan penting yang berkaitan dengan Hukum Perdata Internasional

II. Pembahasan
A. Sejarah Perkembangan Hukup Perdata Internasional
Pada tahap I dikenal istilah Pretor Peregrinis, yaitu peradilan bagi warga romawi dengan orang luar dan orang luar romawi dengan orang romawi. Hukum yang digunakan adalah Ius Civile, yaitu hukum yang berlaku bagi warga Romawi, yang sudah disesuaikan untuk kepentingan orang luar atau dikenal dengan Ius Gentium. Yang dimaksud dengan Ius Gentium adalah hukum yang berlaku antara orang Romawi dan bukan Romawi. Ius Gentium kemudian berkembang lagi menjadi Ius Publicum dan Ius Privatum. Ius Publicum inilah yang berkembang sekarang ini menjadi Hukum Internasional, sedangkan Ius Privatum berkembang menjadi Hukum Perdata Internasional (HPI). Tahap II pertumbuhan asas personal HPI (abad 6-10 sesudah masehi), pada masa ini merupakan masa dimana kekaisaran romawi ditaklukkan oleh orang “barbar”, sehingga ius civile tidak berguna, yang dipergunakan adalah asas personal dan hukum agama (tribal laws). Kemudian pada masa ini juga tumbuh beberapa kaedah HPI yang didasarkan pada asas personal yang diuraikan sebagai berikut:
1) Dalam sengketa hukum: hukum pihak tergugat
2) Dalam perjanjian: huku personal masing-masing pihak
3) Pewarisan: hukum dari transferor (yang mewariskan)
4) Peralihan hak milik: hukum dari transferor
5) Perbuatan melawan hukum: hukum dari pihak yang melanggar hukum
6) Perkawinan: hukum suami
Tahap III sejarah perkembangan HPI adalah tahap pertumbuhan asas teritorial (abad 11-12 sesudah masehi). Setelah mealui masa 300 tahun pertumbuhan asas personal semakin sulit dipertahankan mengingat terjadinya transformasi dalam masyarakat sehingga keterikatan lebih didasarkan pada kesamaan wilayah tempat tinggal (teritorial). Proses transformasi terjadi di dua kawasan Eropa dengan perbedaan yang mencolok. Di Eropa Utara (Jerman, Perancis, Inggri), masyarakata berada di bawah kekuasaan tuan tanah (feodalistik) dan tidak terdapat tempat bagi pengakuan terhadap kaidah hukum asing (HPI). Sedangkan di Eropa Selatan (Italia, Milan, Bologna), merupakan kota perdagangan dan perselisihan yang ada di antara pedagang yang berasal dari luar diselesaikan dengan kaedah HPI.
Kemudian masih pada tahap III ini, diletakkan dasar bagi HPI modern dengan prinsip teritorial. Lex Rei Sitae (Lex Situs), yaitu perkara tentang benda tidak bergerak dimana hukum yang digunakan adalah hukum dimaan benda tersebut berada. Lex Dominicili, mengatur tentang hak dan kewajiban dimana hukum yang digunakan adalah hukum dari tempat seorang berkediaman. Lex Contractus, mengatur tentang perjanjian-perjanjian hukum yang berlaku yaitu hukum dari tempat perbuatan perjanjian
Tahap IV, pada tahap ini terjadi pertumbuahn Teori Statuta (abad 13-15 sesudah masehi). Tingginya intensitas perdagangan di italia menimbulkan persoalan tentang pengakuan hak asing dalam wilayah suatu kota. Asas teritorial tidak dapat menjawab semua masalah yang timbul, sehingga dibutuhkan adanya ketentuan hukum (statuta). Pencetus Teori Statuta adalah Bartlus (Bapak HPI), yang menyatakan bahwa upaya yang dilakukan menetapakan asas-asas untuk menentukan wilayah berlaku setiap aturan hukum (statuta). Dalam teori statuta terdapat istilah Statuta personalia, yaitu mengenai kedudukan hukum/ status personal orang. Berlaku terhadap warga kota yang berkediaman tetap, melekat dan berlaku atas mereka dimanapun mereka berada. Kemudian juga dikenal istilah Statuta Realia yang berlaku di dalam wilayah kekuasaan penguasa koa yang memberlakukannya dan terhadap siapapun yang datang ke kota tersebut. Selain itu juga ada Statuta Mixta yang berlaku di dalam wilayah kekuasaan penguasa kota yang memberlakukannya dan terhadap siapapun yang datang ke kota tersebut.
B. Defenisi Hukum Perdata Internasional
Menurut Van Brakel dalam buku “Grond en beginselen van nederland internationaal privatrecht” menyatakan bahwa internationaal privatrecht is a national recht voor internationale recht verhouding geschreven. Maksudnya bahwa HPI adalah hukum nasional yang ditulis (diadakan) untuk hubungan-hubungan hukum internasional. Sedangkan menurut Prof. DR. S. Gautama. S.H. HPI adalah keseluruhan peraturan atau keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku, atau apakah yang merupakan hukum jika hubungan-hubungan atau peristiwa antar warga negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah dari dua atau lebih negara yang berbeda dalam lingkungan kuasa, tempat, pribadi dan soal-soal.
Berdasarkan pendapat kedua ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa HPI adalah hukum nasional, bukanlah hukum internasional. Sumber hukum HPI adalah hukum nasional dan yang internasional adalah hubungan-hubungan atau peristiwa-peristiwanya. Contohnya adalah kasus pernikahan antar warga negara satu dengan warga negara lain. Masalah-masalah pokok yang dibahas dalam HPI adalah sebagai berikut:
1) Hakim/ badan hukum peradilan manakah yang berwenang menyelesaikan perkara-perkara hukum yang mengandung unsur asing. (chioce of yuridiction) merupakan hukum acara dalam HPI
2) Hukum manakah yang akan dipergunakan untuk menyelesaikan maasalah HPI (the appropriate legal system)
3) Sejauh mana suatu peradilan harus memperahatikan dan mengakui putusan hukum asing (recognition of foreign judgements)
C. Sumber-sumber Hukum Perdata Internasional
Sumber hukum terbagi atas sumber hukum materil dan formil. Sumber hukum materil, dalam pengertian dasar berlakunya hukum apa atau sebabnya hukum mengikat dan biasanya terletak di luar bidang hukum. Sedangkan sumber hukum formil, dalam pengertian dimana terdapatnya ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang persoalan yang konkrit dalam bentuk tertulis.
Di Indonesia HPI belum terkodifikasi, karena itu masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan sebagai berikut: Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia, Undang-undang pokok Agraria, Undang-undang penanaman modal asing, dan Undang-undang penanaman modal dalam negeri. Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia no.62 tahun 1958, diatur dalam pasal 1 undang-undang kewarganegaraan bahwa kewarganegaraan
diperoleh dengan kelahiran, yaitu:
1) Karena kelahiran dari seseorang warga negara Indonesia, jadi berdasarkan keturunan (pasal 1 ayat a, c, e)
2) Berdasarkan kelahiran di wilayah Republik Indonesia jika masih dipenuhi syarat-syarat (pasal 1 ayat f, g, h)Dalam undang-undang juga diatur siapa saja yang menjadi warganegara:
1) Mereka yang menjadi Warga Negara Indonesia berdasarkan undang-unadng/ peraturan/ perjanjian yang terlebih dahulu berlaku
2) Menentukan syarat-syarat tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang
a. Pada waktu lahir, mempunyai hubungan kekeluargaan dengans eorang warga negara Indonesia
b. Lahir dalam waktu 200 hari setelah ayahnya meninggal dunia dan ayahnya adalah warga negara Indonesia
c. Lahir dalam wilayah Republik Indonesia selama orang tua tidak diketahui
d. Memperoleh kewarganegaraan menurut undang-undang no. 62 tahun 1958
Undang-undang pokok agraria (undang-undang no. 5 tahun 1960), diatur dalam pasal 1 undang-undang pokok agraria, yaitu seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bengsa Indonesia. Pasal 9, hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa. Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa: Hak milik atas tanah, hanya warganegara Indonesia yang boleh memiliki milik atas tanah sedangkan orang asing tidak diperbolehkan mempunyai hak milik atas tanah. Hak pasal 55:2, badan hukum asing hanya dapat memperoleh hak guna usaha dan hak guna bangunan jika diperbolehkan oleh undang-undang yang mengatur pembangunan nasional.
Undang-undang penanaman modal asing (undang-undang no.1 tahun 1967), diatur dalam pasal 2 undang-undang modal asing dapat berupa:
1) Milik orang asing, modal asing sebagai milik orang asing, merupakan milik warga negara asing yang dimasikkan dari luar negeri kedalam wilayah Indonesia
2) Dapat merupakan milik badan hukum asing yang menjadikan modal badan hukum Indonesia, maksud badan hukum Indonesia:
a. Badan hukum menurut hukum Indonesia
b. Berkedudukan di Indonesia
Dalam undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) unsur asing juga diperhatikan sehingga undang-undang ini juga merupakan sumber HPI. Undang-undang penanaman modal dalam negeri (undang-undang no. 6 tahun 1968), diatur dalam pasal 1 undang-undang PMDN yaitu“Modal dalam negeri adalah bagian dari pada kekayaan masyaraka tIndonesia termasuk hak hak dan benda-benda, baik yang dimiliki negara atau swasta nasional atau swasta asing berdomisili di Indonesia yang digunakan untuk menjalankan suatu usaha...” ]
1) Pasal (2): pihak swasta yang memiliki modal dalam negeri terdirid dari perorangand an badan hukum yang berlaku di Indonesia
2) Dalam undang-undang PMDN unsur asing juga diperhatikan sehingga undang-undang ini juga merupakan sumbar HPI
D. Hubungan Hukum Perdata Internasional dengan Bidang Hukum Lain
Hubungan HPI dengan hukum antar golongan (HAG), adalah bahwa hukum mana yang digunakan terhadap peristiwa antar warga negara pada waktu tertentu yang berbeda golongan. HAG tidak banyak terdapat di negara-negara yang sudah merdeka, hanya pada negara jajahan dan bekas jajahan. Istilah golongan menunjukkan adanya perbedaan hukum karena golongan rakyat yang berbeda, pribadi yang berbeda, orang dan golongan yang berbeda. Ruang lingkup HAG pada masa penjajahan bersifat nasional mengatur hukum antar ras, antar suku bangsa, dan antar golongan etnis. Kemudian, pada alam kemerdekaan sifat nasional berganti menjadi internasional. Persoalan HAG bergeser menjadi persoalan HPI dengan ruang lingkup hubungan warganegara antar negara. Selain itu, hubungan HPI dengan Hukum Internsional adalah sebagai berikut:
1) HPI akan berkembang sesuai dan sejalan dengan ramainya pergaulan internasional terutama dibidang pergaulan internasioanl. Karena itu kaedah-kaedah HPI tidak boleh bertentangan dengan kaedah hukum internasional yang berlaku
2) Oleh karena itu HPI menyangkut pergaulan internasional maka bentuk dan isi kaedah-kaedahnya akan terpengaruh oleh corak dan kebutuhan masyarakat internasional dari masa-kemasa
3) Akibat lain dari keharusan HPI untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan suasana masyarakat internasional adalah adanya keharusan kerjasama internasional melalui organisasi internasional
4) Adanya kebutuhan kerjasama yang lebih erat antara bangsa sedunia, mengaibatkan banyaknya perjanian internasional sehingga kaedah HPI juga semakin banyak
5) Peran pemerintahdalam kehidupan pribadi, sehingga yang merupakan privat berlaku dalam hukum publik. Misal: berlakunya asas hukum perdata rebus sic stantibus dalam hukum publik internasional
6) Hukum internsional membutuhkan HPI agar kaedah-kaedahnya benar-benar berlaku dan ditegaskan dalam lingkungan kekuasaan negara-negara nasional
Hubungan HPI dengan perbandingan hukum dapat dilihat dari bagan berikut:
E. Titik Pertalian/ Titik Taut
Pengertian mengenai titik taut ini berbeda di beberapa negara, misalnya Belanda: Connecting Factor, point of contact, test of factor. Perancis: Points de Rettachment. Dan Jerman: Anknupfunspunkte. Hal atau keadaan yang menyebabkan berlakunya stelsel hukum atau fakta di dalam suatu peristiwa HPI yang menunjukkan pertautan antara perkara itu dengan suatu negara tertentu. Titik taut terbagi menjadi dua yaitu: Primer, merupakan alat perantara untuk mengetahui apakah sesuatu perselisihan hukum merupakan soal HPI atau tidak. Sekunder, merupakan faktor yang menentukan hukum yang dipilih dari stelsel hukum yang dipertautkan.
Banyak sekali yang merupakan titik pertalian sekunder, berikut akan dilihat secara keseluruhan titik pertalian sekunder (TPP) dan titik pertalian sekunder (TPS dan Titik pertalian lain, sekaligus daapt dilihat bahwa ada faktor-faktor dan hal-hal yang sekaligus dapat merupakan TPP dan TPS.
Titik pertalian yang lain adalah sebagai berikut:
1) Tempat letaknya benda
2) Tempat dilangsungkan perbuatan hukum (lex Loci Actus)
3) Tempat dilaksanakan perjanjian (lex loci solutionis)
4) Tempat terjadinya perbuatan melawan hukum
5) Maksud para pihak
6) Tempat diajukan proses perkara
Titik pertalian primer merupakan alat pertama bagi hakim untuk mengetahui suatu persoalan hukum merupakan suatu HATAH hal ini kita lihat dalam HAG TPP disebut juga titik taut pembeda.
1) Kewarganegaraan, kewarganegaraan para pihak dapat, merupakan faktor yang melahirkan HPI. Contoh: seorang warga negra indonesia menikah dengan warga negara amerika serikat, adlam hal ini kewarganegaraan pihak yang bersangkutan merupakan faktor bahwa stelsel Hukum negara tertentu dipertautkan.
2) Bendera kapal, dianggap sebagai kewarganegaraan pada seseorang. Dapat menimbulkan persoalan HPI, contoh: sebuah kapal berbendera indonesia, sedangkan nahkodanya berkewarganegaraan amerika seriakt, maka segala tindakan hukum diatas kapal tersebut menggunakan hukum indonesia
3) Domisili/ tempat kejadian, dapat merupakan faktor yang menimbulkan persoalan HPI. Contoh: warga negara inggris (a) berdomisili di negara x, menikah dengan warga negara Inggris (b) berdomisili di negara y, karena domisilinya berbeda maka menimbulkan masalah HPI
4) Tempat kedudukan, tempat kedudukan juga sangat penting untuk suatu badan hukum karena tempat kedudukan badan hukum ini juga melahirkankaidah hukum
5) Pilihan Hukum, pilihan hukum dapat menciptakan hubungan HPI. Contoh: seorang pedagang warga negara indonesia dan pedagang jepang menetapkan dalam perjanjian mereka bahwa dalam perjanjian dagang, mereka bahwa Hukum Indonesia yang akan berlaku.
Perincian titik pertalian lebih lanjut adalah sebagai berikut:
1) Titik pertalian kumulatif
a. Kumulatif hukum sendiri dan hukum asing
b. Kumulatif dari dua stelsel hukum yang kebetulan
2) Titik pertalian alternatif
3) Titik pertalian pengganti
4) Titik pertalian tambahan
5) Titik pertalian accesoir (lebih lanjut)
Pertama, titik pertalian Kumulasi, terdapat kumulasi (penumpukan) daripada titik pertalian yaitu kumulasi adri pada hukum sendiri dan hukum asing, dan kumulasi dari dua stelsel hukum yang kebetulan. Kedua, titik pertalian Alternatif, terdapat lebih dari satu titik pertalian yang dapat menentukan hukum yang berlaku. Salah satu daripada dua atau lebih faktor ini daapt merupakan faktor yang berlaku. Karena itu disebut titik pertalian alternatif. Ketiga, titik pertalain pengganti, titik taut yang digunakan bila titik taut yang sebenarnya tidak terdapat terkait dengan titik pertalian alternatif. Keempat, titik pertalian accesoir, perincian lebih jauh adalah yang dinamakan titik pertalian accesoir. Penempatan suatu hubungan hukum dibawah satu stelsel hukum yang sudah berlaku yang lebih utama. Contoh: perjanjian reasuransi ditentukan oleh hukum yang mengatur asuransi pokok.
F. Prinsip Domisili/Kewarganegaraan
Untuk menentukan status personil seseorang, negara-negara di dunia menganut dua prinsip. Pertama, Prinsip kewarganegaraan. Yaitu status personil orang (baik warganegara maupun asing) ditentukan oleh hukum nasional mereka. Kedua, Prinsip domisili. Yaitu status personil seseorang ditentukan oleh hukum yang berlaku di domisilinya. Dalam hal ini terdapat istilah Pro kewarganegaraan, yang akan diterangkan sebagai berikut:
1) Prinsip ini cocok untuk perasaan hukum nasional dari warganegara tertentu , lebih cocok lagi bagi warga negara yang bersangkutan
2) Lebih permanen dari hukum domisili, karena prinsip kewarganegaraan lebih tetap dari pada prinsip domisili dimana kewarganegaraan tidak demikian mudah diubah-ubah seperti domiili, sedangkan status personil memerlukan stabilitas sebanyak mungkin
3) Prinsip kewarganegaraan membawa kepastian lebih banyak:
a. pengertian kewarganegaraan lebih mudah diketahuidaripada domisili seseorang, arena adanya peraturan tentang kewarganegaraan yang lebih pasti adri negara yang bersangkutan
b. Ditetapkan cara-cara memperoleh kewarganegaraan suatu negara
Selain itu, juga terdapat istilah Pro domisili. Hukum domisili adalah hukum yang bersangkutan sesungguhnya hidup, dimana seseorang sehari-hari sesungguhnya hidup, sudah sewajarnya jika hukum dari tempat itulah yang dipakai untuk menentukan status personilnya. Prinsip kewarganegaraan seringkali emerlukan bantuan domisili. Seringkali ternyata prinsip kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan dengan baik tanpa dibantu prinsip-prinsip domisili. Contoh: apabila terdapat perbedaan kewarganegaraan dalam satu keluarga dimana suami istri berbeda, kewaganegaraan anak-anak bisa punya kewarganegaraan berbeda tergantung domisili (terutama setelah perceraian). Hukum domisili seringkali sama dengan hukum sang hakim. Dalam banyak hal, hukum domisili ini juga bersamaan adanya dengan hukum sang hakim. Cocok dengan negara dengan pluralisme hukum. Hukum domisili adalah satu-satunya yang dapat dipergunakan dengan baik dalam negara yang struktr hkumnya tidak mengeal persatuan hukum..

III. Kesimpulan
Sejarah Perkembangan Hukup Perdata Internasional terbagi menjadi empat tahap. Pada tahap I dikenal istilah Pretor Peregrinis, yaitu peradilan bagi warga romawi dengan orang luar dan orang luar romawi dengan orang romawi. Tahap II pertumbuhan asas personal HPI (abad 6-10 sesudah masehi). Tahap III sejarah perkembangan HPI adalah tahap pertumbuhan asas teritorial (abad 11-12 sesudah masehi). Dan Tahap IV, pada tahap ini terjadi pertumbuahn Teori Statuta (abad 13-15 sesudah masehi). HPI adalah hukum nasional, bukanlah hukum internasional. Sumber hukum HPI adalah hukum nasional dan yang internasional adalah hubungan-hubungan atau peristiwa-peristiwanya. Sumber hukum terbagi atas sumber hukum materil dan formil. Di Indonesia HPI belum terkodifikasi, karena itu masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan
Hubungan HPI dengan hukum antar golongan (HAG), adalah bahwa hukum mana yang digunakan terhadap peristiwa antar warga negara pada waktu tertentu yang berbeda golongan. Titik Taut adalah hal atau keadaan yang menyebabkan berlakunya stelsel hukum atau fakta di dalam suatu peristiwa HPI yang menunjukkan pertautan antara perkara itu dengan suatu negara tertentu. Titik taut terbagi menjadi dua yaitu: Primer, merupakan alat perantara untuk mengetahui apakah sesuatu perselisihan hukum merupakan soal HPI atau tidak. Sekunder, merupakan faktor yang menentukan hukum yang dipilih dari stelsel hukum yang dipertautkan. Untuk menentukan status personil seseorang, negara-negara di dunia menganut dua prinsip. Pertama, Prinsip kewarganegaraan. Yaitu status personil orang (baik warganegara maupun asing) ditentukan oleh hukum nasional mereka. Kedua, Prinsip domisili. Yaitu status personil seseorang ditentukan oleh hukum yang berlaku di domisilinya.

IV. Penutup
Demikianlah makalah ini kami paparkan. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Kami sadar masih bayak kekurangan dalam makalah ini saran dan kritik yang konstuktif kami harapkan guna memperbaiki makalah kami selanjutnya.

ASAS- ASAS DAN SISTEM HUKUM PERDATA

Makalah ini akan membahas mengenai Hukum Perdata Internasional dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pembahasannya. Diantaranya adalah defenisi, sejarah, seumber-sumber Hukum Perdata Internasional dan beberapa hal lagi yang akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan. Pada hakekatnya setiap negara yang berdaulat, memiliki hukum atau aturan yang kokoh dan mengikat pada seluruh perangkat yang ada didalamnya. Seperti pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki mainstream Hukum Positif untuk mengatur warga negaranya. Salah satu hukum positif yang ada di Indonesia adalah Hukum Perdata Internasional yang nantinya akan dibahas lebih detail.
Permasalahan mengenai keperdataan yang mengkaitkan antara unsur-unsur internasional pada era globalisasi saat sekarang ini cukup berkembang pesat. Aktor non-negara dan aktor individu mempunyai peran yang sangat dominan. Pada saat sekarang ini berbagai perusahaan-perusahaan multi nasional (Multi National Corporation) baik yang berorientasi pada keuntungan atau yang tidak berorientasi pada keuntungan hilir mudik melintasi batas territorial suatu negara untuk melakukan transaksi perdagangan, kerjasama, memecahkan permasalahan, riset dan berbagai kegiatan lainnya.
Begitu juga dengan aktor individu, mereka-mereka yang mempunyai uang lebih atau ingin mencari uang lebih keluar masuk dari satu negara ke negara lain dengan proses yang begitu cepat. Terjadinya perkawinan dua warga negara yang berbeda, mempunyai keturunan disuatu negara, mempunyai harta warisan dan lain sebagainya. Inilah sebuah konsekwensi dari sebuah globalisasi, tak bisa dihindari, akan tetapi inilah sebuah kebutuhan dan merupakan sifat dasar umat manusia. Masalah-masalah keperdataan diatas diperlukan sebuah wadah untuk dapat menjadi acuan dan rujukan bertindak dari aktor-aktor tersebut. Wadah tersebut diperlukan agar dunia yang ditempati ini tidak didasari dengan hukum rimba, yang kuat menang dan yang lemah akan tersingkir, secara arti luas yang kaya akan menjadi semakin kaya dan yang miskin akan bertambah miskin. Keperluan-keperuan akan suatu hal untuk mengatur permaslahan-permasalahan diataslah menjadikan hukum tentang keperdataan perlu diatur dalam sutau kerangka kerangka hukum positif.
B. Rumusan Masalah
Penulisan makalah ini diarahkan untuk mendapatkan pemahaman mengenai beberapa hal yang menjadi fokus penulisan makalah, yaitu:
1. Apakah yang dimaksud dengan Hukum Perdata Internasional
2. Apa saja pembahasan penting yang berkaitan dengan Hukum Perdata Internasional

II. Pembahasan
A. Sejarah Perkembangan Hukup Perdata Internasional
Pada tahap I dikenal istilah Pretor Peregrinis, yaitu peradilan bagi warga romawi dengan orang luar dan orang luar romawi dengan orang romawi. Hukum yang digunakan adalah Ius Civile, yaitu hukum yang berlaku bagi warga Romawi, yang sudah disesuaikan untuk kepentingan orang luar atau dikenal dengan Ius Gentium. Yang dimaksud dengan Ius Gentium adalah hukum yang berlaku antara orang Romawi dan bukan Romawi. Ius Gentium kemudian berkembang lagi menjadi Ius Publicum dan Ius Privatum. Ius Publicum inilah yang berkembang sekarang ini menjadi Hukum Internasional, sedangkan Ius Privatum berkembang menjadi Hukum Perdata Internasional (HPI). Tahap II pertumbuhan asas personal HPI (abad 6-10 sesudah masehi), pada masa ini merupakan masa dimana kekaisaran romawi ditaklukkan oleh orang “barbar”, sehingga ius civile tidak berguna, yang dipergunakan adalah asas personal dan hukum agama (tribal laws). Kemudian pada masa ini juga tumbuh beberapa kaedah HPI yang didasarkan pada asas personal yang diuraikan sebagai berikut:
1) Dalam sengketa hukum: hukum pihak tergugat
2) Dalam perjanjian: huku personal masing-masing pihak
3) Pewarisan: hukum dari transferor (yang mewariskan)
4) Peralihan hak milik: hukum dari transferor
5) Perbuatan melawan hukum: hukum dari pihak yang melanggar hukum
6) Perkawinan: hukum suami
Tahap III sejarah perkembangan HPI adalah tahap pertumbuhan asas teritorial (abad 11-12 sesudah masehi). Setelah mealui masa 300 tahun pertumbuhan asas personal semakin sulit dipertahankan mengingat terjadinya transformasi dalam masyarakat sehingga keterikatan lebih didasarkan pada kesamaan wilayah tempat tinggal (teritorial). Proses transformasi terjadi di dua kawasan Eropa dengan perbedaan yang mencolok. Di Eropa Utara (Jerman, Perancis, Inggri), masyarakata berada di bawah kekuasaan tuan tanah (feodalistik) dan tidak terdapat tempat bagi pengakuan terhadap kaidah hukum asing (HPI). Sedangkan di Eropa Selatan (Italia, Milan, Bologna), merupakan kota perdagangan dan perselisihan yang ada di antara pedagang yang berasal dari luar diselesaikan dengan kaedah HPI.
Kemudian masih pada tahap III ini, diletakkan dasar bagi HPI modern dengan prinsip teritorial. Lex Rei Sitae (Lex Situs), yaitu perkara tentang benda tidak bergerak dimana hukum yang digunakan adalah hukum dimaan benda tersebut berada. Lex Dominicili, mengatur tentang hak dan kewajiban dimana hukum yang digunakan adalah hukum dari tempat seorang berkediaman. Lex Contractus, mengatur tentang perjanjian-perjanjian hukum yang berlaku yaitu hukum dari tempat perbuatan perjanjian
Tahap IV, pada tahap ini terjadi pertumbuahn Teori Statuta (abad 13-15 sesudah masehi). Tingginya intensitas perdagangan di italia menimbulkan persoalan tentang pengakuan hak asing dalam wilayah suatu kota. Asas teritorial tidak dapat menjawab semua masalah yang timbul, sehingga dibutuhkan adanya ketentuan hukum (statuta). Pencetus Teori Statuta adalah Bartlus (Bapak HPI), yang menyatakan bahwa upaya yang dilakukan menetapakan asas-asas untuk menentukan wilayah berlaku setiap aturan hukum (statuta). Dalam teori statuta terdapat istilah Statuta personalia, yaitu mengenai kedudukan hukum/ status personal orang. Berlaku terhadap warga kota yang berkediaman tetap, melekat dan berlaku atas mereka dimanapun mereka berada. Kemudian juga dikenal istilah Statuta Realia yang berlaku di dalam wilayah kekuasaan penguasa koa yang memberlakukannya dan terhadap siapapun yang datang ke kota tersebut. Selain itu juga ada Statuta Mixta yang berlaku di dalam wilayah kekuasaan penguasa kota yang memberlakukannya dan terhadap siapapun yang datang ke kota tersebut.
B. Defenisi Hukum Perdata Internasional
Menurut Van Brakel dalam buku “Grond en beginselen van nederland internationaal privatrecht” menyatakan bahwa internationaal privatrecht is a national recht voor internationale recht verhouding geschreven. Maksudnya bahwa HPI adalah hukum nasional yang ditulis (diadakan) untuk hubungan-hubungan hukum internasional. Sedangkan menurut Prof. DR. S. Gautama. S.H. HPI adalah keseluruhan peraturan atau keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku, atau apakah yang merupakan hukum jika hubungan-hubungan atau peristiwa antar warga negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah dari dua atau lebih negara yang berbeda dalam lingkungan kuasa, tempat, pribadi dan soal-soal.
Berdasarkan pendapat kedua ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa HPI adalah hukum nasional, bukanlah hukum internasional. Sumber hukum HPI adalah hukum nasional dan yang internasional adalah hubungan-hubungan atau peristiwa-peristiwanya. Contohnya adalah kasus pernikahan antar warga negara satu dengan warga negara lain. Masalah-masalah pokok yang dibahas dalam HPI adalah sebagai berikut:
1) Hakim/ badan hukum peradilan manakah yang berwenang menyelesaikan perkara-perkara hukum yang mengandung unsur asing. (chioce of yuridiction) merupakan hukum acara dalam HPI
2) Hukum manakah yang akan dipergunakan untuk menyelesaikan maasalah HPI (the appropriate legal system)
3) Sejauh mana suatu peradilan harus memperahatikan dan mengakui putusan hukum asing (recognition of foreign judgements)
C. Sumber-sumber Hukum Perdata Internasional
Sumber hukum terbagi atas sumber hukum materil dan formil. Sumber hukum materil, dalam pengertian dasar berlakunya hukum apa atau sebabnya hukum mengikat dan biasanya terletak di luar bidang hukum. Sedangkan sumber hukum formil, dalam pengertian dimana terdapatnya ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang persoalan yang konkrit dalam bentuk tertulis.
Di Indonesia HPI belum terkodifikasi, karena itu masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan sebagai berikut: Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia, Undang-undang pokok Agraria, Undang-undang penanaman modal asing, dan Undang-undang penanaman modal dalam negeri. Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia no.62 tahun 1958, diatur dalam pasal 1 undang-undang kewarganegaraan bahwa kewarganegaraan
diperoleh dengan kelahiran, yaitu:
1) Karena kelahiran dari seseorang warga negara Indonesia, jadi berdasarkan keturunan (pasal 1 ayat a, c, e)
2) Berdasarkan kelahiran di wilayah Republik Indonesia jika masih dipenuhi syarat-syarat (pasal 1 ayat f, g, h)Dalam undang-undang juga diatur siapa saja yang menjadi warganegara:
1) Mereka yang menjadi Warga Negara Indonesia berdasarkan undang-unadng/ peraturan/ perjanjian yang terlebih dahulu berlaku
2) Menentukan syarat-syarat tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang
a. Pada waktu lahir, mempunyai hubungan kekeluargaan dengans eorang warga negara Indonesia
b. Lahir dalam waktu 200 hari setelah ayahnya meninggal dunia dan ayahnya adalah warga negara Indonesia
c. Lahir dalam wilayah Republik Indonesia selama orang tua tidak diketahui
d. Memperoleh kewarganegaraan menurut undang-undang no. 62 tahun 1958
Undang-undang pokok agraria (undang-undang no. 5 tahun 1960), diatur dalam pasal 1 undang-undang pokok agraria, yaitu seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bengsa Indonesia. Pasal 9, hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa. Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa: Hak milik atas tanah, hanya warganegara Indonesia yang boleh memiliki milik atas tanah sedangkan orang asing tidak diperbolehkan mempunyai hak milik atas tanah. Hak pasal 55:2, badan hukum asing hanya dapat memperoleh hak guna usaha dan hak guna bangunan jika diperbolehkan oleh undang-undang yang mengatur pembangunan nasional.
Undang-undang penanaman modal asing (undang-undang no.1 tahun 1967), diatur dalam pasal 2 undang-undang modal asing dapat berupa:
1) Milik orang asing, modal asing sebagai milik orang asing, merupakan milik warga negara asing yang dimasikkan dari luar negeri kedalam wilayah Indonesia
2) Dapat merupakan milik badan hukum asing yang menjadikan modal badan hukum Indonesia, maksud badan hukum Indonesia:
a. Badan hukum menurut hukum Indonesia
b. Berkedudukan di Indonesia
Dalam undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) unsur asing juga diperhatikan sehingga undang-undang ini juga merupakan sumber HPI. Undang-undang penanaman modal dalam negeri (undang-undang no. 6 tahun 1968), diatur dalam pasal 1 undang-undang PMDN yaitu“Modal dalam negeri adalah bagian dari pada kekayaan masyaraka tIndonesia termasuk hak hak dan benda-benda, baik yang dimiliki negara atau swasta nasional atau swasta asing berdomisili di Indonesia yang digunakan untuk menjalankan suatu usaha...” ]
1) Pasal (2): pihak swasta yang memiliki modal dalam negeri terdirid dari perorangand an badan hukum yang berlaku di Indonesia
2) Dalam undang-undang PMDN unsur asing juga diperhatikan sehingga undang-undang ini juga merupakan sumbar HPI
D. Hubungan Hukum Perdata Internasional dengan Bidang Hukum Lain
Hubungan HPI dengan hukum antar golongan (HAG), adalah bahwa hukum mana yang digunakan terhadap peristiwa antar warga negara pada waktu tertentu yang berbeda golongan. HAG tidak banyak terdapat di negara-negara yang sudah merdeka, hanya pada negara jajahan dan bekas jajahan. Istilah golongan menunjukkan adanya perbedaan hukum karena golongan rakyat yang berbeda, pribadi yang berbeda, orang dan golongan yang berbeda. Ruang lingkup HAG pada masa penjajahan bersifat nasional mengatur hukum antar ras, antar suku bangsa, dan antar golongan etnis. Kemudian, pada alam kemerdekaan sifat nasional berganti menjadi internasional. Persoalan HAG bergeser menjadi persoalan HPI dengan ruang lingkup hubungan warganegara antar negara. Selain itu, hubungan HPI dengan Hukum Internsional adalah sebagai berikut:
1) HPI akan berkembang sesuai dan sejalan dengan ramainya pergaulan internasional terutama dibidang pergaulan internasioanl. Karena itu kaedah-kaedah HPI tidak boleh bertentangan dengan kaedah hukum internasional yang berlaku
2) Oleh karena itu HPI menyangkut pergaulan internasional maka bentuk dan isi kaedah-kaedahnya akan terpengaruh oleh corak dan kebutuhan masyarakat internasional dari masa-kemasa
3) Akibat lain dari keharusan HPI untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan suasana masyarakat internasional adalah adanya keharusan kerjasama internasional melalui organisasi internasional
4) Adanya kebutuhan kerjasama yang lebih erat antara bangsa sedunia, mengaibatkan banyaknya perjanian internasional sehingga kaedah HPI juga semakin banyak
5) Peran pemerintahdalam kehidupan pribadi, sehingga yang merupakan privat berlaku dalam hukum publik. Misal: berlakunya asas hukum perdata rebus sic stantibus dalam hukum publik internasional
6) Hukum internsional membutuhkan HPI agar kaedah-kaedahnya benar-benar berlaku dan ditegaskan dalam lingkungan kekuasaan negara-negara nasional
Hubungan HPI dengan perbandingan hukum dapat dilihat dari bagan berikut:
E. Titik Pertalian/ Titik Taut
Pengertian mengenai titik taut ini berbeda di beberapa negara, misalnya Belanda: Connecting Factor, point of contact, test of factor. Perancis: Points de Rettachment. Dan Jerman: Anknupfunspunkte. Hal atau keadaan yang menyebabkan berlakunya stelsel hukum atau fakta di dalam suatu peristiwa HPI yang menunjukkan pertautan antara perkara itu dengan suatu negara tertentu. Titik taut terbagi menjadi dua yaitu: Primer, merupakan alat perantara untuk mengetahui apakah sesuatu perselisihan hukum merupakan soal HPI atau tidak. Sekunder, merupakan faktor yang menentukan hukum yang dipilih dari stelsel hukum yang dipertautkan.
Banyak sekali yang merupakan titik pertalian sekunder, berikut akan dilihat secara keseluruhan titik pertalian sekunder (TPP) dan titik pertalian sekunder (TPS dan Titik pertalian lain, sekaligus daapt dilihat bahwa ada faktor-faktor dan hal-hal yang sekaligus dapat merupakan TPP dan TPS.
Titik pertalian yang lain adalah sebagai berikut:
1) Tempat letaknya benda
2) Tempat dilangsungkan perbuatan hukum (lex Loci Actus)
3) Tempat dilaksanakan perjanjian (lex loci solutionis)
4) Tempat terjadinya perbuatan melawan hukum
5) Maksud para pihak
6) Tempat diajukan proses perkara
Titik pertalian primer merupakan alat pertama bagi hakim untuk mengetahui suatu persoalan hukum merupakan suatu HATAH hal ini kita lihat dalam HAG TPP disebut juga titik taut pembeda.
1) Kewarganegaraan, kewarganegaraan para pihak dapat, merupakan faktor yang melahirkan HPI. Contoh: seorang warga negra indonesia menikah dengan warga negara amerika serikat, adlam hal ini kewarganegaraan pihak yang bersangkutan merupakan faktor bahwa stelsel Hukum negara tertentu dipertautkan.
2) Bendera kapal, dianggap sebagai kewarganegaraan pada seseorang. Dapat menimbulkan persoalan HPI, contoh: sebuah kapal berbendera indonesia, sedangkan nahkodanya berkewarganegaraan amerika seriakt, maka segala tindakan hukum diatas kapal tersebut menggunakan hukum indonesia
3) Domisili/ tempat kejadian, dapat merupakan faktor yang menimbulkan persoalan HPI. Contoh: warga negara inggris (a) berdomisili di negara x, menikah dengan warga negara Inggris (b) berdomisili di negara y, karena domisilinya berbeda maka menimbulkan masalah HPI
4) Tempat kedudukan, tempat kedudukan juga sangat penting untuk suatu badan hukum karena tempat kedudukan badan hukum ini juga melahirkankaidah hukum
5) Pilihan Hukum, pilihan hukum dapat menciptakan hubungan HPI. Contoh: seorang pedagang warga negara indonesia dan pedagang jepang menetapkan dalam perjanjian mereka bahwa dalam perjanjian dagang, mereka bahwa Hukum Indonesia yang akan berlaku.
Perincian titik pertalian lebih lanjut adalah sebagai berikut:
1) Titik pertalian kumulatif
a. Kumulatif hukum sendiri dan hukum asing
b. Kumulatif dari dua stelsel hukum yang kebetulan
2) Titik pertalian alternatif
3) Titik pertalian pengganti
4) Titik pertalian tambahan
5) Titik pertalian accesoir (lebih lanjut)
Pertama, titik pertalian Kumulasi, terdapat kumulasi (penumpukan) daripada titik pertalian yaitu kumulasi adri pada hukum sendiri dan hukum asing, dan kumulasi dari dua stelsel hukum yang kebetulan. Kedua, titik pertalian Alternatif, terdapat lebih dari satu titik pertalian yang dapat menentukan hukum yang berlaku. Salah satu daripada dua atau lebih faktor ini daapt merupakan faktor yang berlaku. Karena itu disebut titik pertalian alternatif. Ketiga, titik pertalain pengganti, titik taut yang digunakan bila titik taut yang sebenarnya tidak terdapat terkait dengan titik pertalian alternatif. Keempat, titik pertalian accesoir, perincian lebih jauh adalah yang dinamakan titik pertalian accesoir. Penempatan suatu hubungan hukum dibawah satu stelsel hukum yang sudah berlaku yang lebih utama. Contoh: perjanjian reasuransi ditentukan oleh hukum yang mengatur asuransi pokok.
F. Prinsip Domisili/Kewarganegaraan
Untuk menentukan status personil seseorang, negara-negara di dunia menganut dua prinsip. Pertama, Prinsip kewarganegaraan. Yaitu status personil orang (baik warganegara maupun asing) ditentukan oleh hukum nasional mereka. Kedua, Prinsip domisili. Yaitu status personil seseorang ditentukan oleh hukum yang berlaku di domisilinya. Dalam hal ini terdapat istilah Pro kewarganegaraan, yang akan diterangkan sebagai berikut:
1) Prinsip ini cocok untuk perasaan hukum nasional dari warganegara tertentu , lebih cocok lagi bagi warga negara yang bersangkutan
2) Lebih permanen dari hukum domisili, karena prinsip kewarganegaraan lebih tetap dari pada prinsip domisili dimana kewarganegaraan tidak demikian mudah diubah-ubah seperti domiili, sedangkan status personil memerlukan stabilitas sebanyak mungkin
3) Prinsip kewarganegaraan membawa kepastian lebih banyak:
a. pengertian kewarganegaraan lebih mudah diketahuidaripada domisili seseorang, arena adanya peraturan tentang kewarganegaraan yang lebih pasti adri negara yang bersangkutan
b. Ditetapkan cara-cara memperoleh kewarganegaraan suatu negara
Selain itu, juga terdapat istilah Pro domisili. Hukum domisili adalah hukum yang bersangkutan sesungguhnya hidup, dimana seseorang sehari-hari sesungguhnya hidup, sudah sewajarnya jika hukum dari tempat itulah yang dipakai untuk menentukan status personilnya. Prinsip kewarganegaraan seringkali emerlukan bantuan domisili. Seringkali ternyata prinsip kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan dengan baik tanpa dibantu prinsip-prinsip domisili. Contoh: apabila terdapat perbedaan kewarganegaraan dalam satu keluarga dimana suami istri berbeda, kewaganegaraan anak-anak bisa punya kewarganegaraan berbeda tergantung domisili (terutama setelah perceraian). Hukum domisili seringkali sama dengan hukum sang hakim. Dalam banyak hal, hukum domisili ini juga bersamaan adanya dengan hukum sang hakim. Cocok dengan negara dengan pluralisme hukum. Hukum domisili adalah satu-satunya yang dapat dipergunakan dengan baik dalam negara yang struktr hkumnya tidak mengeal persatuan hukum..

III. Kesimpulan
Sejarah Perkembangan Hukup Perdata Internasional terbagi menjadi empat tahap. Pada tahap I dikenal istilah Pretor Peregrinis, yaitu peradilan bagi warga romawi dengan orang luar dan orang luar romawi dengan orang romawi. Tahap II pertumbuhan asas personal HPI (abad 6-10 sesudah masehi). Tahap III sejarah perkembangan HPI adalah tahap pertumbuhan asas teritorial (abad 11-12 sesudah masehi). Dan Tahap IV, pada tahap ini terjadi pertumbuahn Teori Statuta (abad 13-15 sesudah masehi). HPI adalah hukum nasional, bukanlah hukum internasional. Sumber hukum HPI adalah hukum nasional dan yang internasional adalah hubungan-hubungan atau peristiwa-peristiwanya. Sumber hukum terbagi atas sumber hukum materil dan formil. Di Indonesia HPI belum terkodifikasi, karena itu masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan
Hubungan HPI dengan hukum antar golongan (HAG), adalah bahwa hukum mana yang digunakan terhadap peristiwa antar warga negara pada waktu tertentu yang berbeda golongan. Titik Taut adalah hal atau keadaan yang menyebabkan berlakunya stelsel hukum atau fakta di dalam suatu peristiwa HPI yang menunjukkan pertautan antara perkara itu dengan suatu negara tertentu. Titik taut terbagi menjadi dua yaitu: Primer, merupakan alat perantara untuk mengetahui apakah sesuatu perselisihan hukum merupakan soal HPI atau tidak. Sekunder, merupakan faktor yang menentukan hukum yang dipilih dari stelsel hukum yang dipertautkan. Untuk menentukan status personil seseorang, negara-negara di dunia menganut dua prinsip. Pertama, Prinsip kewarganegaraan. Yaitu status personil orang (baik warganegara maupun asing) ditentukan oleh hukum nasional mereka. Kedua, Prinsip domisili. Yaitu status personil seseorang ditentukan oleh hukum yang berlaku di domisilinya.

IV. Penutup
Demikianlah makalah ini kami paparkan. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Kami sadar masih bayak kekurangan dalam makalah ini saran dan kritik yang konstuktif kami harapkan guna memperbaiki makalah kami selanjutnya.

IBADAH MAHDAH dan GHAIRU MAHDAH

Jangan terburu-buru menilai orang! Apalagi menilai amalan orang! apakah kita sudah bisa jadi orang yang benar-benar ikhlas? Atau hanya karena iri (riya) karena tidak bisa lantas memojokkan seseorang?
Beribadah, hanya diri sendiri dan Allah yang tahu apakah ikhlas atau karena riya? Ibadah sendiri secara umum dapat dipahami sebagai wujud penghambaan diri seorang makhluk kepada Sang Khaliq. Penghambaan itu lebih didasari pada perasaan syukur atas semua nikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah padanya serta untuk memperoleh keridhaanNya dengan menjalankan titahNya sebagai Rabbul ‘Alamin.
Namun demikian, ada pula yang menjalankan ibadah hanya sebatas usaha untuk menggugurkan kewajiban, tidak lebih dari itu. Misalnya, saat ini banyak umat islam yang tidak berjamaah ke masjid kecuali shalat jum’at. Bahkan ada pula yang tidak sholat kecuali pada hari raya. Islmanya hanya ada di kartu identitas.
PERMASALAHAN
Apa pengertian ibadah mahdah dan ghairu mahdah?
Bagaimana hakikat ibadah itu?
Apa saja syarat-syarat diterimanya ibadah?
PEMBAHASAN
Pengertian Ibadah
Ibadah secara etimologis berasal dari bahasa arab yaitu عبد يعبد عبادة yang artinya melayani patuh, tunduk. Sedangkan menurut terminologis ialah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai allah azza wa jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya;
Ibadah Mahdah
Ibadah mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang apa saja yang telah ditetpkan Allah akan tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya. Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah :
Wudhu,
Tayammum
Mandi hadats
Shalat
Shiyam ( Puasa )
Haji
Umrah
‘Ibadah bentuk ini memiliki 4 prinsip:
a. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
b. Tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasul saw. Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah adalah untuk memberi contoh:

وماارسلنا من رسول الا ليطاع باذن الله … النسآء 64

Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk ditaati dengan izin Allah…(QS. 64)
وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا…

Dan apa saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka tinggalkanlah…( QS. 59: 7).
c. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
d. Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi.
Rumus Ibadah Mahdhah adalah
“KA + SS”
Ibadah Ghairu Mahdah
Ibadah ghairu mahdhah atau umum ialah segala amalan yang diizinkan oleh Allah. misalnya ibadaha ghairu mahdhah ialah belajar, dzikir, tolong menolong dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4:
Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diseleng garakan.
Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebut nya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadah mahdhah disebut bid’ah dhalalah.
Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
Rumus Ibadah Ghairu Mahdhah
“BB + KA”
Hakikat Ibadah
Sebenarnya dalam ibadah itu terdapat hakikatnya, yaitu :

خُضُوعُ الرُّوْحِ يَنْشَا ُعَنِ اسْتِشْعَارِالقلبِ بمحبة ِالمعبودِ وعظَمتهِ اعتقادا بان للعالم سلطا نا لايدْرِكُهُ العقلُ حقيقَتَهُ

“ ketundukan jiwa yang timbul dari karena hati (jiwa) merasakan cinta akan Tuhan yang ma’bud dan merasakan kebesaran-Nya, lantaran beri;tiqad bahwa bagi alam ini ada kekuasaan yang akal tak dapat mengetahui hakikatnya".
Adapun seorang arif juga mengatakan bahwa hakikat ibadah yaitu :

اصل العبادةِ ان ترضى لله مد براومختارا, وترضى عنه قاسما ومعطيا ومانعا وترضاه اِلهًا ومعبودا

“ pokok ibadah itu, ialah engkau meridhoi Allah selaku pengendali urusan; selaku orang yang memilih; engkau meridhai Allah selaku pembagi, pemberi penghalang (penahan), dan engkau meridhai Allah menjadi sembahan engkau dan pujaan (engkau sembah)
Didalam ibadah itu terdapat berbagai macam penghalang ibadah. Penghalangnya yaitu :
Rezeki dan keinginan memilikinya
Bisikan-bisikan dan keinginan meraih tujuan
Qadha; dan pelbagai problematika
Kesusahan dan berbagai musibah
Syarat-Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah perkara taufiqiyyah, yaitu tidak ada suatu ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah. Apa yang tidak di syari’atkan berarti bid’ah mardudah ( bid’ah yang ditolak ), hal ini berdasarkan sabda Nabi :

مَنْ عَمَِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدُّ.

“ Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntutan dari Kami, maka amalan tersebut tertolak.”
Ibadah-ibadah itu bersangkut penerimaannya kepada dua faktor yang penting, yang menjadi syarat bagi diterimanya. Syarat-syarat diterimanya suatu amal (ibadah) ada dua macam yaitu:
Ikhlas

قل انى امرت ان اعبد الله مخلصا له الدين. وامرت لان اكون اول المسلمين (الزمر:11-12)

“Katakan olehmu, bahwasannya aku diperintahkan menyembah Allah (beribadah kepada-Nya) seraya mengikhlaskan ta’at kepada-Nya; yang diperintahkan aku supaya aku merupakan orang pertama yang menyerahkan diri kepada-Nya.”
Dilakukan secara sah yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah

........فمن كان يرجوالقاءربه فليعمل عملاصالحاولايشرك بعبادةربه احدا (الكهف:110)

“Barang siapa mengharap supaya menjumpai Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang sholeh, dan janganlah ia mensyarikatkan seseorang dengan tuhannya dalam ibadahnya itu”
Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajib-nya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.
Ulama’ ahli bijak berkata: inti dari sekian banyak ibadah itu ada 4, yaitu:

الوفاء بالعهدود والمحافطة على الحدودوالصبر على المفقو والرضا بالموجود

Melakasanakan kewajiban-kewajiban Allah
Memelihara diri dari semua yang diharamkan Allah
Sabar terhadap rizki yang luput darinya
Rela dengan rizki yang diterimanya.
KESIMPULAN
Ibadah merupakan suatu uasaha kita untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah dalam islam itu ada dua macam yaitu ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah. Hakikat ibadah itu adalah melaksanakan apa yang Allah cintai dan ridhai dengan penuh ketundukan dan perendahan diri kepada Allah. seorang hamba yang ibadahnya ingin dikabulkan hendaklah haruis memenuhi 2 syarat yaitu ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah.
PENUTUP
Alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah, yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan waktu yng telah ditentukan. Harapan saya semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya sendiri dan para pembaca sekalian. Kami memohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam penulisan dalam materi yang disuguhkan dalam makalah ini. Terakhir kami sampaikan selamat membaca.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
al Bantani, Imam Nawawi, Nashaihul Ibad. Toha Putra : Semarang.
al Ghazali, Abu Hamid, 2007. Minhaj al Abidin Ila al Jannah. Jogjakarta: Diva Press.
ash Shiddieqy, Hasbi, 1991. Kuliah Ibadah. Yogyakarta: Bulan Bintang.
Syukur, Prof. Amin MA, 2003. Pengantar Studi Islam. Semarang :CV. Bima Sakti
Alim, Drs. Muhammad, 2006. Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Perlindungan HAM dalam hukum pidana Islam

Bagi umat Islam setiap hak harus dikembalikan kepada dua sumber rujukannya yaitu Al Qur'an dan As Sunnah. Jadi hak asasi manusia menemukan landasan yang kuat dalam hukum Islam.

Dalam Islam, semakin manusia tunduk kepada Tuhan dan hanya mengabdi kepada-Nya, semakin bebas ia dari penghambaan kepada manusia lain atau makhluk Tuhan lainnya. Dengan mengatakan Allahu Akbar (Allah Maha Besar) ia menutup pintu dari semua penghambaan. Ini berarti menyatakan dan menegaskan bahwa pada dasarnya dirinya adalah bebas.

Boisard, dalam kaitan ini menyatakan "God's omnipotence leads to man's freedom from man. His exclusive adoration, direct and without intermediary, asserts the believer's greatness and guarantees his need not fear being the slave of any but God."[1]

Hukum Islam patut dicontoh dalam mempertahankan bahwa hak-hak fundamental tidak dapat diciptakan oleh manusia tetapi hanya dapat dia buat menjadi terang. Hak-hak tersebut diturunkan secara tidak langsung dari nilai dasarnya, bahwa ia adalah hamba Tuhan, dengan demikian tidak menghamba kepada yang lain, ia bebas.

Meskipun tidak menempati posisi utama secara khusus, adalah keliru menyimpulkan bahwa tidak cukup perlindungan hukum terhadap human rights ini, karena semua hukum yang berdasarkan Al Qur'an secara prinsip sama penting. Literatur hukum Islam biasanya tidak menjadikan human rights sebagai satu kelompok khusus, tetapi mengkaitkannya dalam konteks berbagai subyek seperti hukum perkawinan, hukum pidana, hukum ekonomi dan sebagainya.

Sama dengan pendekatan tersebut, Islam juga mengenal bahwa hak apapun juga (termasuk human rights), hanya dapat dijamin jika seluruh sistem hukum di dalam kondisi dan keteraturan yang baik, dimana bahwa tujuan yang mulia dari keadilan tadi dapat dicapai sebagai hasil dari suatu sistem yang komprehensif dan adil.

Sejak lebih dari 1400 tahun yang lalu, hak-hak tertentu telah mendapat jaminan berdasarkan Al Qur'an, yaitu (Bassiouni, 1982:23; Hofmann, 1993:129-130):

v Hak hidup

v Keamanan diri

v Kemerdekaan

v Perlakuan yang sama (non diskriminasi)

v Kemerdekaan berpikir, berekspresi, keyakinan dan beribadah

v Perkawinan

v Kemerdekaan hukum

v Asas praduga tak bersalah

v Nulla paena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang sebelum perbuatan itu)

v Perlindungan dari kekejaman

v Suaka

v Kebebasan berserikat dan berkumpul

v Berprofesi dan bekerja

v Hak memilih, memperoleh dan menentukan hak milik

Al Qur'an memberi tekanan pada persamaan di antara manusia. Semua manusia adalah sama dalam hal asal spiritual mereka, karena telah diciptakan oleh pencipta yang sama, dan mereka sama dalam asal fisik mereka karena berasal dari spesies yang sama. Tiada ruang bagi klaim superioritas karena asal atau nenek moyang.

Islam tidak mengakui keutamaan atas dasar kelahiran, kebangsaan atau faktor-faktor lain. Kemuliaan yang sesungguhnya terletak pada ketakwaan semata-mata. Rasulullah bersabda: "Semua manusia adalah sama seperti gigi sisir. Bangsa Arab tidak lebih tinggi dibanding bangsa non Arab kecuali dalam hal ketakwaan."

Persamaan antara pria dan wanita pada kenyataannya merupakan akibat wajar atau penerapan dari doktrin persamaan. Satu dari prinsip-prinsip umum syariah Islam adalah bahwa hak-hak dan tugas-tugas wanita adalah sama dengan pria. Sebagaimana pria mempunyai tertentu yang harus dipenuhi terhadap wanita, wanitapun memiliki kewajiban tertentu terhadap pria. [2] (Audah, 1987:27)

Kebebasan

Jauh dari sikap fanatik dan memaksa umat lain menjadi seorang muslim, umat Islam (sebagaimana dituntun oleh Qur'an) menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Apabila anda melihat negara-negara muslim, mulai dari Arab Saudi, Iran, Turki dan negara-negara muslim lainnya yang telah menganut Islam selama 14 abad, tetap ada masyarakat non muslim, seperti contoh : ada penganut Sikh, Hindu, Kristen yang telah hidup di sana berabad-abad lamanya. Maka jika ada paksaan untuk beralih Islam, maka selama berabad-abad itu mereka telah berganti agama, menjadi pemeluk Islam. Umat Islam tidak memaksa individu-individu untuk menerima keimanannya, dan dengan demikian siapapun yang mengatakan bahwa anda harus memotong leher untuk membuat orang menerima Islam, bukan berasal dari Islam dan tidak ada justifikasi apapun juga untuk itu.[3] Kita dapat menemukan ketentuan-ketentuan Al Qur'an mengenai hal ini :

"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Q.S. 2:256)

Dengan memberikan jaminan kepada kebebasan dalam keyakinan kepada semua penduduk, baik muslim dan non muslim, syariah telah menunjukkan tingkatan tertinggi dari kesempurnaannya. Ia memberikan kepada orang-orang non muslim hak untuk mengekspresikan keyakinannya, menjaga tempat ibadahnya dan sekolah-sekolah untuk mengajarkan agamanya. [4]

Di samping itu, Islam juga menjamin kebebasan berpikir dan berbicara. Al Qur'an mengajarkan kepada kaum muslimin untuk berpikir dan merenung, banyak sekali ayat-ayat Al Qur'an yang menjelaskan prinsip kebebasan berpikir ini dan menekankan penggunaan akal.

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air itu. Dia hidupkan hidup sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan." (Q.S. 2:264)

Al Qur'an memperingatkan orang-orang yang tidak menggunakan akalnya, menjadikan akalnya tidak bekerja dan mengikuti sesuatu yang tidak jelas, ia juga memperingatkan untuk tidak mengikuti takhayul dan mitos serta tunduk membabi buta pada tradisi dan kebiasaan.

Manusia boleh memikirkan apa saja dan mengambil setiap model pemikiran yang dia pilih. Dia tidak dapat dicela karena pemikirannya, bahkan bila berpikir tentang sesuatu yang dilarang syariah; karena syariah tidak mencela akal pikiran dan memerintahkan setiap orang untuk menghitung pemikiran dari suatu kata yang terlarang telah diucapkan atau suatu perbuatan yang dilarang sudah dilakukannya.[5]

Meskipun setiap individu memiliki hak berbicara atau menggunakan penanya untuk membela keyakinannya, tetapi hak ini bukan merupakan kebebasan tanpa batas. Orang dapat menggunakan hak ini hanya dalam batas-batas kepantasan sosial, moralitas, dan pada kondisi yang tidak mengotori ketentuan-ketentuan syariah.

Hak untuk Hidup, Merdeka dan Keamanan Diri

Islam, seperti halnya sistem lain melindungi hak-hak ini. Ia melarang bunuh diri (Q.S. 4:30), dan juga pembunuhan. Dalam Islam pembunuhan terhadap seorang manusia tanpa alasan yang benar bagaikan membunuh manusia seluruhnya. Sebaliknya barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia maka seolah-olah ia memelihara manusia seluruhnya.(Q.S. 5:32)

Islam, secara keliru dianggap menyetujui dan melestarikan perbudakan. Pada kenyataannya Islamlah yang menyelamatkan nasib para budak. Dalil syariah maupun fakta sejarah menunjukkan hal ini. Dalam zaman pra-Islam, perbudakan telah berkembang tanpa kontrol dan kebanyakan budak mengalami nasib yang sangat menyedihkan. Pemilik budak memiliki dan menggunakan kekuasaan atas hidup dan matinya si budak.

Islam melarang perbuatan demikian. Sikap Nabi Muhammad SAW sendiri terhadap perbudakan sangat terkenal. Beliau membagikan banyak harta kepada fakir miskin, membebaskan para budak, bersikap bijaksana dan manusiawi kepada mereka. Sikap ini dicontoh oleh sahabat-sahabat nabi dan terus berlanjut hingga hapusnya perbudakan. Sepanjang hidupnya, Nabi Muhammad SAW tidak memiliki seorang budakpun, karena lembaga perbudakan dan segala yang berbau dengan itu tidak pantas bagi beliau.[6]

Tetapi kondisi kehidupan pada masa itu (awal abad ke-7) tidak memungkinkan penghapusan secara total lembaga ini karena perbudakan sudah ada selama berabad-abad. Rasulullah SAW telah melakukan usaha untuk melindungi para budak. Beliau tidak saja menegaskan perlakuan manusiawi kepada budak, tetapi juga memungkinkan bagi mereka meraih kemerdekaan. Perbuatan baik kepada budak dipandang sebagai perbuatan yang sangat mulia. [7]

Dalam Al Qur'an ditegaskan bahwa perbuatan baik kepada budak adalah perbuatan yang sangat mulia:

"…….dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapa, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat atau jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya …."(Q.S. 4:36)

Masalah Hukuman Terhadap Pelaku Kejahatan

Pasal 5 dari Universal Declaration of Human Rights bertujuan menghapuskan perlakuan atau hukuman yang menganiaya, kejam, tidak manusiawi atau merendahkan. Sejauh perhatian ditujukan pada masalah perlakuan, Islam tidak mengenal suatu dasar bagi perlakuan diskriminatif. Semua orang berhak atas perlakuan yang adil dan sama. Perilaku dan sikap yang bermartabat serta penghargaan terhadap martabat orang lain menjadi karakter yang terkemuka dari masyarakat Islam bahkan selama apa mungkin bisa disebut periode penurunan sekalipun.

Nabi Muhammad SAW melarang kekejaman dan penyiksaan. Beliau bersabda : "Tidak seorangpun boleh dijatuhi hukuman dengan api," dan juga memperingatkan untuk tidak memukul siapapun pada wajahnya.

Di bidang hukum pidana, beberapa hukuman mungkin terlihat berat atau bahkan keras. Beratnya hukuman yang diancamkan bagi beberapa kejahatan seperti perzinahan, akan lebih mudah dimengerti bila diingat bahwa menjaga nilai-nilai dan standard moral merupakan perhatian utama dari agama.

Akan tetapi, pengertian seperti itu, tidak mudah muncul dari masyarakat modern dimana hubungan seksual sebelum atau diluar nikah tidak lagi dipandang bertentangan dengan moral [8], atau masyarakat yang memandang hubungan seksual sesama jenis sebagai normal dan hak setiap pribadi yang tidak bisa diganggu gugat.

Setiap masyarakat memiliki dan mengikuti standardnya sendiri. Islam memandang kejahatan tersebut sebagai kejahatan yang keji dan konsekuensinya sangat menyakitkan. Contoh kejahatan lainnya adalah pencurian yang dikategorikan dalam hukuman hudud. Hukuman bagi kejahatan ini adalah dipotong tangan. Hal ini terdengar sangat berat, tetapi ada kriteria-kriteria tertentu sehingga pencurian itu bisa dijatuhi hukuman seperti ini. Kalau kita ingat bahwa di Inggris, pencurian benda yang berharga tidak lebih dari satu shilling sudah diklasifikasikan sebagai kejahatan berat dan, sebagaimana kejahatan berat lainnya, dihukum dengan hukuman mati. Hal itu berlangsung hingga akhir 1861.[9]

Kesamaan di Hadapan Hukum

Islam menanamkan dan memegang teguh prinsip kesamaan di hadapan hukum dan perlindungan hukum tanpa diskriminasi dengan begitu jelas dan tegas. Para hakim ditugaskan untuk menjalankan tugasnya dengan adil dan tidak berpihak.

Umar bin khatab ra, Khalifah kedua, pernah tercatat sebagai tergugat dalam suatu kasus. Saat ia hadir di depan sidang, hakim yang menangani kasus itu berdiri menghormat. Umar ra memandang bahwa ia datang bukan dalam kapasitas sebagai khalifah, tetapi sebagai warga negara biasa dimana adalah tidak konsisten bagi hakim untuk menunjukkan rasa hormat kepadanya yang tidak berlaku bagi setiap warga negara lainnya yang muncul di pengadilan. Dia berpendapat bahwa hakim tersebut, dengan perbuatannya itu, telah melanggar tugas untuk tidak berpihak terhadap para pihak dan tidak lagi cakap untuk melaksanakan fungsi-fungsi judicial.[10]

Kisah lainnya adalah mengenai Ali bin Abi Thalib ra, Khalifah keempat dan menantu Rasulullah SAW. Ali ra pada suatu ketika muncul di pengadilan sebagai penggugat melawan seorang yahudi. Untuk mendukung gugatannya, sebagai tambahan bagi keterangannya sendiri, Ali mengajukan putranya Hasan ra sebagai seorang saksi. Hakim perkara berpendapat bahwa hubungan yang sangat dekat antara penggugat dan saksi, kesaksian yang diberikan tidak dapat diakui dan dia menolak gugatan tersebut. Si tergugat sangat terkesan menyaksikan hal tersebut dan pada akhirnya dia mengakui klaim tersebut dan melepaskannya. [11]

Harus dicatat bahwa apapun perbedaan yang ada dalam sistem hukum Islam antara muslim dan non muslim bukanlah sikap diskriminasi, melainkan suatu pelaksanaan peradilan yang oleh Bassiounni (1982) disebut sebagai a separate paralel equal application of justice. Hal ini didasarkan pada perbedaan kriteria untuk merespon maksud dan tujuan yang berlainan.

Dalam konteks pertanyaan yang lebih luas tentang peradilan pidana Islam dan perlindungan hak-hak asasi manusia, ada pertanyaan mengenai tempat bagi individu, dan hak-haknya yang diambil dari hubungan konseptual antara individu dan negara. Berbeda dengan filosofi dan persepsi barat tentang keterpisahan antara individu dengan negara, konsep sosial Islam tidak membuat perbedaan seperti itu. Individu tidak berdiri sendiri dalam posisi sebagai lawan dari negara tetapi adalah bagian integral darinya.

Aspek Perlindungan HAM Dalam Hukum Pidana Islam[12]

Agama dengan ketiga rukunnya yakni Iman, Islam dan Ihsan atau Akidah, Syariah dan Akhlak adalah murni diperuntukkan kepada umat manusia. Tidak ada sedikitpun kepentingan Tuhan yang menurunkannya., karena Allah SWT memang tidak punya kepentingan sekecil apapun. Karena itu, setiap ketentuan agama, termasuk hukum pidananya akan bertumpu pada pemenuhan serta perlindungan hak dan kepentingan manusia. Di kalangan para ulama dikenal apa yang disebut Maqoshid al Syariah yaitu tujuan hukum Islam yang mencakup perlindungan terhadap lima hal yang menjadi tonggak keberadaan manusia yakni agama (akidah), nyawa, asal nasab atau harga diri, dan harta benda.

Dengan demikian pertanyaan tentang sejauh mana hukum pidana Islam dapat melindungi hak-hak asasi manusia sebenarnya tidak perlu muncul di tengah umat yang meyakini kebenaran agama tersebut. Namun akhirnya pertanyaan tersebut menemukan relevansinya karena didukung oleh beberapa faktor di antaranya yang terpenting adalah (1) perbedaan pandangan antara agama dan pandangan umum yang berkembang dalam melihat HAM serta filosofinya, dan (2) perhatian terhadap Islam yang menitikberatkan pada hukum pidananya. Kedua faktor ini bukan saja melahirkan tanda tanya bagi sementara orang tentang kaitan hukum pidana Islam dengan HAM, tetapi bahkan telah melahirkan sikap apriori terhadap hukum Islam secara keseluruhan dari sebagian umat Islam sendiri.

Bahwa Islam secara eksplisit menyatakan sangat menghormati harkat manusia adalah sesuatu yang teramat jelas. Namun, dalam melihat manusia, Al Qur'an telah menggabungkan dua sisi dari makhluk ini yang bertolak belakang. Manusia dianggap sebagai makhluk yang sangat mulia tetapi pada saat yang sama ia juga dianggap sebagai makhluk yang sangat hina.

Bila kita mendengarkan, misalnya kisah Al Qur'an tentang malaikat yang bersujud di hadapan Adam as, maka kita tahu betapa mulianya makhluk ini. Tetapi bila kita mendengarkan Al Qur'an berkali-kali, mengingatkan kita pada asal usul manusia, kita tahu betapa tidak berharganya makhluk ini karena berasal dari air yang memancar dari tulang rusuk. Kedua sisi yang bertolak belakang ini diperintahkan agar terpelihara secara seimbang. Manusia bisa menjadi besar dan sombong kalau tidak melihat sisi kehinaannya dan sebaliknya bisa kerdil dan tidak berdaya kalau tidak ingat akan sisi kemuliaannya. Karena itu Al Qur'an tidak hanya mengutuk Fir'aun yang sombong tetapi juga mengutuk kaumnya yang lemah dan tidak punya keberanian untuk melawannya.

Kedua sisi manusia yang bertolak belakang itu juga diterjemahkan oleh agama melalui tatanan hukumnya. Ketika seorang manusia tidak bersalah maka hak dan martabatnya dianggap suci dan harus dilindungi secara penuh, sebaliknya ketika kesalahan seseorang sampai kepada kejahatan qishos atau hudud, maka satu per satu dari sendi-sendi kemuliaannya itu runtuh untuk kemudian diperlakukan oleh hukum berdasarkan sisi kehinaannya. Ia tidak lagi dipandang sebagai anggota masyarakat yang berguna, tetapi sebaliknya ia bagaikan anggota tubuh yang terpaksa harus diamputasi demi keselamatan tubuh itu sendiri. Karena itu, Al Qur'an melarang kita menaruh rasa iba kepada pezina yang dijatuhi hukuman cambuk (QS 24:2) karena ia memang tidak lagi berhak mendapatkan rasa iba.

Dengan demikian anggapan bahwa sanksi dan hukuman pidana Islam (hukuman mati, potong tangan, cambuk) adalah kejam atau tidak manusiawi, berarti karena tidak adanya keyakinan akan sisi kehinaan manusia sehingga ia dipandang sebagai makhluk mulia selamanya dan dalam keadaan apa saja.

Dengan menggabungkan dua sisi manusia yang bertolak belakang itu, maka hukuman pidana Islam dapat dikatakan keras dan berat, tetapi kekerasan itu dijatuhkan kepada seseorang yang sebenarya telah dilucuti martabat kemanusiaannya sehingga penerapannya tidak dapat dikatakan bertentangan dengan perlindungan HAM.

Uraian di atas barangkali akan mengundang pertanyaan, yakni dengan ukuran apa pelaku tindak pidana qishos atau hudud dianggap telah runtuh martabat kemanusiannya? Di sinilah dapat dilihat tolok ukur yang berbeda antara hukum Islam dengan hukum yang lain. Hukum Islam menetapkan beberapa parameter untuk mengukur sempurna atau tidaknya martabat hukum seseorang, di antaranya adalah parameter akidah dan harga diri. Dua hal ini dalam pandangan di luar Islam tidak termasuk kebutuhan vital bagi manusia dimana seseorang boleh beradab, percaya kepada Tuhan atau tidak, boleh mempermainkan akidah dengan menyatakan keluar dari akidah yang benar dan begitu juga boleh mempertahankan harga dirinya atau tidak, bahkan boleh menjual harga dirinya sekalipun.

Sementara hukum Islam mempunyai pandangan yang berbeda. Menurut hukum Islam, akidah yang benar adalah kebutuhan yang sangat vital, melebihi kebutuhan terhadap makanan dan minuman karena dengan akidah seseorang bisa hidup secara rohani sementara makanan hanya dapat membuatnya secara jasmani saja (QS. 6:123). Akidah bagaikan mata air yang dibutuhkan setiap orang, harus diberi kebebasan mengalir dan tidak seorang pun boleh menyumbatnya atau mencemarinya. Adapun setelah mengalir lantas ada orang-orang yang tidak mau meminumnya maka hal itu akan menjadi hak mereka.

Akidah Islam tidak pernah dan tidak boleh dipaksakan kepada siapapun, tetapi pada saat yang sama tidak ada seorang pun yang boleh menghalanginya atau mencemari dan mempermainkannya. Oleh karena itu, orang-orang yang menghalangi perjalanan akidah dianggap telah gugur harkat kemanusiaannya dan disyariatkan jihad untuk melawan mereka.

Dalam hal harga diri, hukum Islam menganggapnya juga sebagai sesuatu yang mutlak dibutuhkan sebab ia merupakan inti perbedaan antara manusia dan binatang sehingga perusakan harga diri akan berakibat sama dengan perusakan kaidah atau kebutuhan pokok yang lain. Karena itu, perbuatan zina sekalipun dilakukan secara suka demi suka dianggap telah menodai harkat manusia dan pelakunya dikenai pidana yang berat yakni seratus kali cambukan.

Tolok ukur seperti di atas juga dapat mengundang pertanyaan baru yaitu kenapa mesti demikain? Bukankah tanpa akidah dan harga diri, hak asasi manusia dapat dilindungi? Islam memandang manusia bukanlah tuan dari dirinya sendiri yang berhak menetukan apa saja yang dikehendakinya. Manusia adalah tuan dari makhluk-makhluk lain di dunia, sementara dirinya adalah hamba yang dipertuan Tuhan dan hak sasinya pun diperoleh dari pemberian Tuhan. Tuhanlah yang menentukan apa saja Hak Asasi Manusia dan bagaimana cara melindunginya. Karena itu ketika Al Qur'an mewajibkan hukuman qishos, kewajiban ini dikahiri dengan kata-kata "agar kalian tertawa" (QS 2:179). Maka apabila hukum pidana umum hanya bertujuan untuk menciptakan rasa aman dalam masyarakat, hukum

Selasa, 19 April 2011

PERKEMBANGAN HUKUM (PIDANA/ACARA PIDANA) DAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN
Van Vollenhoven (penemu hukum adat Indonesia) :
Ketika Jan Pieter Zoon Coen menjatuhkan sauhnya pertama kali di Sundakelapa (Jakarta), pada tahun 1602 Indonesia yang waktu itu disebut Hindia Timur (Oost Indie), tidaklah sunyi dari lembaga tatanegara dan tatahukum. Kemudian Van Vollenhoven menemukan ada 19 wilayah persekutuan di Indonesia, wilayah yang beraneka ragam hukum adatnya. Perbedaan itu diwarnai dengan adanya tiga garis keturunan, yaitu garis keturunan patrilineal (garis bapak), seperti suku Batak, garis keturunan matrilineal (garis Ibu) yaitu suku Minangkabau, garis keturunan patrilineal (garis keturunan ibu/bapak), seperti orang Jawa, Sunda, Banjar, Bugis/Makassar dll. Garis keturunan ini sangat penting dalam hukum perdata, misalnya hukum perkawinan dan hukum waris.
Hukum adat ini berkembang juga sesuai dengan perkembangan zaman. Misalnya, dalam hukum waris di wilayah yang menganut garis keturunan patrilineal (ibu/bapak) seperti Jawa, yang semula pembagian antara lelaki dan perempuan dua banding satu dikenal istilah sapikul-sagendong (lelaki memikul jadi dua bagian sedangkan perempuan menggendong, berarti satu bagian). Di daerah Bugis dikenal istilah ma;jujung-ma.lempa (menjunjung-memikul) yang maksudnya sama dengan di Jawa yang perempuan menggendong, sedangkan di dareah Bugis perempuan menjunjung barang di atas kepala, yang berarti bagiannya haknya satu, sedangkan lelaki memikul barang muka-belakang, berarti lelaki dapat dua bagian.
Hal ini sesuai dengan keadaan pada zaman itu, yang perempuan (isteri) tinggal di rumah, sedangkan lelaki (suami) sejak subuh sampai petang bekerja di sawah, kena panas dan hujan. Kemudian, akibat pendidikan yang mulai meningkat, isteri pun ada yang bekerja di samping suami. Jadi, adagium sapikul sagendong atau ma’junjung-ma’lempa tidak dapat dipertahankan. Terjadi emansipasi, bahkan, ada perempuan menjadi direktur, sedangkan suami ada yang menjadi supir isterinya, bahkan ada perempuan menjadi presiden, menteri, hakim, jaksa, polisi, advokat sedangkan ada suami menjadi pengangguran atau pensiunan. Menurut saya, dalam keadaan khusus seperti itu, jika terjadi perceraian tanpa turunan, maka gono-gini mestinya terbalik, mantan isteri mendapat lebih banyak sesuai dengan pendapatannya.
II. PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA DAN ACARA PIDANA.
Mula-mula, setiap wilayah persekutuan hukum melaksanakan hukum pidana sendiri-sendiri dengan peradilan adat dan swapraja. Pidana pun berbeda-beda, umumnya ada pidana mati, ada dengan cara digantung, ada dengan cara dicekik, ada di daerah Bugis dengan cara ditusuk keris, ada yang ditenggelamkan di laut (misalnya orang Bali yang menyetubuhi hewan, ditenggelamkan di laut hidup-hidup dengan hewannya sekalian). Begitu pula orang biasa di daerah Bugis yang menghamili puteri raja, ditenggelamkan di laut hidup-hidup. Pendeknya, tidak ada pidana penjara. Yang ada, selain pidana mati, ada pidana denda dan pidana fisik. Pencuri di daerah Bugis, dipidana dipikul seperti babi dan diarak keliling pasar.
Di Eropa pun dahulu kala, tidak ada pidana penjara. Umumnya, dikenal pidana mati dengan cara pelaksanaan sangat kejam, seperti dibakar hidup-hidup, ditarik kakinya oleh dua ekor kuda ke arah berlainan, dipancung, ditenggalamkan di laut dan pidana fisik yang lain seperti di Greenland sampai kini orang yang memperkosa, dipidana dikebiri. Pidana denda adalah umum.
Setelah VOC berkuasa di Jakarta, mulai diatur hukum pidana dengan cara plakat-plakat, berupa pengumuman. Pidana mati tetap ada. Pidana penjara yang modern belum dikenal, yang dikenal ialah pengurungan seperti Pangeran Diponegoro di samping pidana pembuangan sampai ke Afrika Selatan seperti Syech Yusuf.
Setelah terbentuk Hindia Belanda (Ned. Indie) pada tahun 1800, disusunlah dua macam KUHP, satu untuk pribumi (inlander) dan Timur Asing, satu untuk golongan Eropa. Pada tahun 1886 mulailah berlaku Nederlandse Wetboek van Strafrecht (KUHP Belanda) di Nederland, yang dasarnya individualistic-liberal. Tidak ada pidana mati (sudah dicabut sejak tahun 1870).
Berdasarkan asas konkordansi (corcordantie beginsel) atau asas persamaan yaitu undang-undang yang berlaku di Indonesia, sedapat mungkin sama dengan yang di Nederland. Pada tahun 1915 Het Wetboek van Strafrecht voor Ned. Indie (KUHP untuk Hindia Belanda) dan mulai berlaku sejak 1 Januari 1918, yang melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 dinyatakan berlaku untuk wilayah Republik Indonesia dengan nama KUHP atau WvS (Wetboek van Straftrecht). KUHP yang bersumber pada Ned. WvS (KUHP Belanda) tahun 1886 itu ada pasal yang dibuat khusus bagi orang Indonesia, misalnya haatzaai artikelen, yaitu rasa permusuhan kepada pemerintah (colonial). Inilah yang merupakan pasal kolonial. Yang dibedakan juga ancaman pidana mati diperkenalkan padahal di Nederland sudah lama dihapus. Alasannya, Indonesia terdiri atas ribuan pulau, ratusan suku bangsa yang berbeda adat, agama, bahasa dan budayanya. Sulit penegakan hukum, tenaga polisi kurang. Rata-rata pidana penjara lebih berat di Indonesia daripada di Nederland.
KUHP Indonesia yang sekarang berlaku berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1946 dan UU Nomor 78 Tahun 1958, yang bersumber dari KUHP Belanda yang sudah berumur 126 tahun itu sudah sangat ketinggalan zaman.
1. Banyak kejahatan baru tidak tercakup di dalamnya, seperti kejahatan di bidang lingkungan hidup, kejahatan komputer dan cyber, penyadapan, perekaman tanpa izin, kerjasama internasional dan regional.
2. Pidana denda yang justru menjadi primadona di Negara maju, tidak pernah diterapkan karena terlalu amat rendah di makan inflasi. Legislatif kita (Pemerintah dan DPR) sangat lalai dalam hal ini. Dengan satu pasal saja perubahan dapat dilakukan : “semua pidana denda yang tercantum di dalam KUHP dinaikkan 10.000 kali”. Jadi, pencurian yang dendanya sekarang maksimal Rp. 900,- mestinya menjadi maksimal 9 juta rupiah.
3. Tidak diperkenalkan penyelesaian di luar pengadilan. Di Rusia dengan KUHP nya baru, semua delik yang ancaman pidananya 10 tahun ke bawah dapat diselesaikan di luar pengadilan ((afdoening buiten proces) jika motifnya ringan dan sedang, dengan mengganti kerugian kepada korban. Di Nederland, delik yang ancaman pidana penjaranya enam tahun ke bawah dapat diselesaikan di luar pengadilan. Di Perancis, yang ancaman pidana penjaranya lima tahun ke bawah. Dalam Rancangan KUHAP : empat tahun ke bawah, kecuali tersangka yang berumur 70 tahun ke atas : lima tahun ke bawah.
4. Tidak diperkenankan submissie, yang sudah diperkenalkan di Rusia, Nederland dll, yaitu terdakwa sebelum sidang, dapat memohon hakim langsung menerapkan pidana tanpa sidang dengan mengakui seluruh dakwaan. Dengan persetujuan PU (bisa melalui telepon), langsung hakim tunggal menerapkan pidana tidak boleh lebih dari 2/3 dari maksimum. Tidak ada pengacara, tidak ada banding, tidak ada kasasi. Semua ini bermaksud mempercepat proses.
5. Banyak pasal yang sudah diubah di Nederland, KUHP kita tetap kuno. Misalnya, perusakan barang (Pasal 406 KUHP), yang dilakukan dengan sengaja, sudah ditambah di Nederland “karena kelalaiannya barang orang lain rusak”. Delik penipuan sudah ditambah dengan penipuan komputer.
III. HUKUM PIDANA DAN HAK ASASI MANUSIA.
Judul ini sangat kontras, karena hukum pidana itu langsung berhadapan dengan hak asasi manusia. Hak asasi manusia yang tertinggi ialah hak untuk hidup, hukum pidana mengenal pidana mati. Ada hak asasi untuk bebas bergerak, hukum pidana mengenal pidana penjara dan sistem penahanan yang merampas kebebasan bergerak. Ada hak asasi untuk memiliki, ada pidana perampasan, dst.
Untuk menghilangkan pengenaan pidana yang semena-mena, karena langsung menyentuh hak asasi manusia, diperkenalkan beberapa asas. Akibat revolusi Perancis yang meletus karena pengenaan pidana semena-mena dan tidak adil, maka muncul asas legalitas yang diperkenalkan oleh sarjana Anselmus von Feuerbach yang bahasa latinnya : “Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali” (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ada sebelumnya). Asas ini muncul di negara-negara Eropa Kontinental, seperti Perancis dan Belanda, tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Ned. WvS, dan kemudian Pasal 1 ayat (1) KUHP Indonesia. Rumus ini kemudian berkembang lagi yang lebih manusiawi, menjadi “nullum crimen sine lege stricta” (tidak ada delik tanpa undang-undang yang tegas sebelumnya). Hal ini berarti tidak cukup ada undang-undang sebelum perbuatan, jika undang-undang itu rumusannya bersifat karet dapat ditafsirkan bermacam-macam. Maksudnya : rumusan delik itu harus berupa definisi. Demikianlah, sehingga jika dibaca dengan teliti rumusan delik dalam KUHP, semuanya bersifat definisi. Delik pencurian misalnya (Pasal 362 KUHP) berbunyi : “mengambil suatu barang (enig goed), seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud memilikinya dengan melawan hukum”. Jadi, mencuri barang sendiri misalnya baju di tukang jahit dengan maksud tidak membayar ongkos jahit, bukanlah pencurian. Begitu pula mencuri mobil orang lain sekedar coba-coba dan mengembalikan ke tempat semula, bukanlah pencurian. Lain halnya dengan KUHP negara-negara Anglo-Saxon dan bekas jajahannya seperti Malaysia yang tidak mengenal asas legalitas, dikatakan “barangsiapa mencuri barang milik orang lain” yang berarti walaupun tidak ada maksud untuk memiliki dipidana sebagai pencurian. Di Inggris yang diutamakan hakim yang jujur, bijaksana, cakap, berwawasan luas, memakai hati nurani, bukan bunyi undang-undang yang muluk-muluk.
Pada tahun 1994 bahkan keharusan undang-undang yang strict dicantumkan dalam Code Penal (KUHP Perancis). Asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP bermakna :
- Aturan pidana harus tertulis.
- Undang-undang pidana tidak boleh berlaku surut.
- Dilarang penerapan analogi.
Ada dua macam analogi : Gesetzes analogie (analogi undang-undang) dan Rechtsanalogie (analogi hukum). Analogi undang-undang berarti : jika suatu perbuatan tidak diatur dalam KUHP tetapi masyarakat memandang perlu dipidana, maka diterapkan pasal yang paling mirip secara analogis dalam KUHP. Ini dianut dalam KUHP RRC. Misalnya, dukun cabul dalam mengobati pasien menyetubuhi pasien itu, tanpa paksaan. Jika masyarakat memandang perlu dipidana, sedangkan tidak diatur dalam KUHP, maka diterapkan pasal yang paling mirip secara analogis dalam KUHP, yaitu Pasal 286, “menyetubuhi perempuan itu dalam keadaan sadar. Yang paling pantang ialah penerapan analogi hukum, artinya sama sekali tidak tercantum dalam KUHP yang mirip pun tidak ada, maka di Rusia zaman Stalin, dipidana berdasarkan “perbuatan itu membahayakan social” (socially dangerous), maksudnya semua perbuatan yang cenderung menentang Stalin.
Dalam hukum (pidana) Islam, dikenal juga asas legalitas. Kejahatan dibagi tiga, yaitu hudud, quesas dan takzir. Hudud ialah kejahatan yang tercantum dalam Al Qur’an yang diterapkan asas legalitas. Artinya tidak boleh memakai analogi. Quesas ialah kejahatan terhadap badan yang tercantum juga dalam Al Qur’an, yang dibolehkan secara terbatas analogi. Yang ketiga takzir ialah hukum positif yang diciptakan oleh negara, dibolehkan penerapan analogie.
Asas legalitas dalam hukum pidana materiel (KUHP) memakai istilah perundang-undangan pidana (wettelijk strafbepaling). Jadi, seseorang dapat dipidana berdasarkan undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan daerah. (Di Nederland : undang-undang, dekrit raja dan peraturan kotapraja (gemeente). Jadi, sesuai dengan asas legalitas ini, kanun di Aceh dibolehkan mencantumkan aturan pidana. Cuma harus diingat, tidak boleh bertentangan dengan asas-asas hukum pidana, misalnya adanya pidana di luar yang tercantum di dalam KUHP, seperti pidana cambuk. Juga ancaman pidananya mestinya hanya kurungan atau denda.
Lain halnya asas legalitas dalam hukum acara pidana (KUHAP), pelaksanaan acara pidana harus dengan undang-undang, tidak boleh dengan PP atau PERDA. Tidak boleh orang ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili berdasarkan PERDA.
Jadi, sama sekali kanun di Aceh tidak boleh memuat aturan tentang penyidikan, penuntutan, penangkapan penahanan dan seterusnya.
IV. Hak Asasi Manusia dalam Hukum Acara Pidana.
Dalam KUHAP 1981 sebenarnya sudah banyak ketentuan menyangkut HAM seperti hak-hak tersangka/terdakwa yang jelas dan terinci. Pemeriksaan pendahuluan yang bersifat inquisitoir menurut HIP artinya tersangka menjadi obyke pemeriksaan diganti dengan system accusatoir, sejak pemeriksaan pendahuluan tersangka sudah dapat didampingi penasihat hukum. Akan tetapi sistem pemeriksaan sidang pengadilan masih memakai sistem hakim aktif memimpin sidang dan masih memeriksa berdasarkan berita acara pemeriksaan pendahuluan oleh penyidik.
Dalam system adversarial, hakim memimpin sidang dan kedua pihak penuntut umum dan terdakwa yang didampingi oleh penasihat hukum berada pada kedudukan berimbang. Masing-masing pihak mengajukan bukti dan dilakukan tanya jawab silang (cross examination). Tidak ada berita acara dipegang oleh hakim, berita acara dari penyidik hanya untuk penuntut umum.
Pada tahun 1989, Italia yang semula menganut sistem Perancis, yang sama dengan Belanda dan Indonesia yang hakim aktif memimpin sidang dan melakukan pertanyaan berdasarkan berita acara penyidik, mengganti dengan system adversarial murni. Tidak ada berita acara pada hakim, yang dipegang hakim hanya surat dakwaan penuntut umum, surat penahanan dan daftar saksi.
Meskipun banyak sekali ketentuan mengenai hak-hak terdakwa dalam KUHAP 1981, namun sistem penahanan masih sama dengan sistem HIR. Penyidik dapat melakukan penahanan 20 hari, diperpanjang oleh penuntut umum 40 hari, penuntut umum dapat melakukan penahanan selama 20 hari. Jadi, penahanan dapat dilakukan selama 80 hari tanpa setahu hakim sama sekali. Ketika hal ini dibaca oleh Prof. Thaman, ahli perbandingan hukum acara pidana dari Amerika Serikat, dia sangat kaget. Dia mengatakan, berdasarkan International Covenant on Civil and Political Right (ICCP) yang sudah diratifikasi Indonesia, Pasal 9 mengatakan apabila seseorang ditangkap, maka promptly (seketika) harus dibawa secara fisik ke hakim untuk dilakukan penahanan. Promptly diartikan di Perancis, Belanda dan semua negara Eropa dan Amerika Serikat maksimum dua kali dua puluh empat jam. Pengecualiannya hanya untuk teroris, satu hari penangkapan dan lima hari penahanan oleh penyidik/penuntut umum (enam hari). Di Malaysia sendiri penyidik hanya boleh melakukan penahanan selama satu kali dua puluh empat jam dan selanjutnya harus dibawa ke hakim. Di Thailand ada hakim bergiliran piket dua puluh empat jam untuk menandatangani surat perintah penahanan. Di Perancis dibentuk hakim khusus yang namanya juge des liberte et de la detention (hakim pembebasan dan penahanan). Tersangka dibawa oleh penyidik (polisi) secara fisik ke depan hakim khusus itu, yang umumnya dalam keadaan diborgol disertai oleh Penuntut Umum dan boleh dihadiri oleh penasihat hukum untuk memohon agar tidak dilakukan penahanan berdasarkan permohonan penuntut umum. Publik boleh menyaksikan adegan tersebut, walaupun ruangan juge des liberte et de la detention tidak lebih empat kali empat meter yang perabotnya satu meja dan satu kursi untuk hakim, empat kursi lain. Umumnya yang hadir berdiri.
Kami Tim Penyusun KUHAP baru, berdebat sengit dengan Prof. Thaman dan Mr. Robert Strang, Jaksa Amerika yang khusus ditempatkan di Indonesia untuk memonitor perkembangan hukum yang menyangkut tugas jaksa. Kedua orang ini pernah ditempatkan di Moskow pada saat Rusia menyusun rancangan KUHAP lima tahun lalu. Kami berargumen tidak mungkin penahanan hanya dua kali dua puluh empat jam oleh Penyidik, karena Indonesia terdiri atas ribuan pulau hubungan sulit. Mereka berpendapat, untuk kota-kota seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Makassar alasan itu tidak dapat diterima. Untuk daerah terpencil toleransi lima kali dua puluh empat jam (lima hari). Perjalanan dari suatu pulai terpencil tempat penangkapan dilakukan ke kantor polisi tidak dihitung. Hal ini sama dengan Malaysia, waktu perjalanan dari tempat penangkapan ke kantor polisi tidak dihitung.
Dengan alasan batas antara kota dan luar kota sulit ditentukan, misalnya Situ Gintung masuk Provinsi Banten, beberapa meter dari situ masuk DKI, maka sebaliknya untuk semua wilayah dipatok lima hari penahanan dapat dilakukan oleh penyidik (perjalanan dari tempat penangkapan di daerah terpencil tidak dihitung). Demikianlah sehingga dalam rancangan KUHAP ditentukan penahanan lima hari oleh penyidik yang dapat diperpanjang oleh hakim komisaris selama 25 hari, kemudian hakim tiga kali 30 hari. Jadi, jika sekarang penahanan dalam pemeriksaan pendahuluan 110 hari, dalam rancangan 120 hari. Agar lancar, penyidik membawa tersangka, penuntut umum mengisi formulir surat penahanan yang langsung ditandatangani oleh hakim komisaris. Hakim komisaris duduk di kantor setiap hari kerja menunggu penyidik dan penuntut umum membawa tersangka yang penasihat hukum boleh hadir.
Mengapa dibentuk hakim komisaris ? Sangat merepotkan hakim pengadilan negeri jika setiap hari harus menandatangani surat perintah penahan di samping tugasnya yang lain. Hakim komisaris pun berkantor di RUTAN, yang jika telah ditandatangani surat perintah penahanan, tersangka langsung masuk tahanan di tempat itu juga. Apalagi penasihat hukum boleh hadir memohon dengan alasan tertentu agar hakim komisaris menolak menandatangani perintah penahanan. Publik pun boleh menonton, yang semua ini menyangkut hak asasi manusia. Artinya penahanan itu sifatnya perampasan hak bergerak seseorang. Dengan alasan ini juga dibentuk juge des liberte et de la detention di Perancis. Jadi, hakim komisaris dalam Rancangan sama sekali lain dari Rechter Commissaris di Nederland atau juge d’instruction di Perancis.
V. KESIMPULAN.
Hukum pidana dan hukum acara pidana akan tetap berhadapan dengan hak asasi manusia. Sarjana Perancis mengatakan : “C’est eternal conflict entre des liberte et de authorite” (ada pertentangan abadi antara kebebasan dan kekuasaan). Ada adagium presumption of innocence (Inggris), presumption d’innocence (Perancis), presumptie van ontschuldig (Belanda), praduga tak bersalah (Indonesia), yang artinya semua orang dianggap tak bersalah sampai ada putusan tetap bahwa dia bersalah. Akan tetapi bagaimana penyidik dapat menangkap seseorang tanpa diduga keras telah melakukan delik ? Orang yang ditangkap, ditahan dan disidik adalah orang yang diduga keras telah melakukan delik (tindak pidana).
Jadi, semua orang dianggap tak bersalah artinya bukan benar-benar dianggap tak bersalah, akan tetapi semua hak-haknya masih tetap ada sebagai orang tak bersalah. Misalnya, pidana lima tahun adalah alasan isteri/suami minta cerai. Dalam hal ini orang-orang ditangkap, ditahan, disidik, yang ancaman pidananya lima tahun atau lebih, tidak dapat menjadi alasan isteri/suami minta cerai. Dia harus menunggu sampai ada putusan yang menjadi tetap, yang suami/isteri dipidana lima tahun penjara atau lebih.
Jakarta, 14 Mei 2009
PROF. Dr. A. HAMZAH, SH
(Makalah disampaikan pada; Pelaithan Peradilan HAM bagi aparat Kejaksaan di Hotel Gran Mahakam Jakarta 1-2 Juni 2009)
PERLINDUNGAN HAM DALAM HUKUM  PIDANA ISLAM
Bagi umat Islam setiap hak harus dikembalikan kepada dua sumber rujukannya yaitu Al Qur'an dan As Sunnah. Jadi hak asasi manusia menemukan landasan yang kuat dalam hukum Islam.
Dalam Islam, semakin manusia tunduk kepada Tuhan dan hanya mengabdi kepada-Nya, semakin bebas ia dari penghambaan kepada manusia lain atau makhluk Tuhan lainnya. Dengan mengatakan Allahu Akbar (Allah Maha Besar) ia menutup pintu dari semua penghambaan. Ini berarti menyatakan dan menegaskan bahwa pada dasarnya dirinya adalah bebas.
Boisard, dalam kaitan ini menyatakan "God's omnipotence leads to man's freedom from man. His exclusive adoration, direct and without intermediary, asserts the believer's greatness and guarantees his need not fear being the slave of any but God."[1]
Hukum Islam patut dicontoh dalam mempertahankan bahwa hak-hak fundamental tidak dapat diciptakan oleh manusia tetapi hanya dapat dia buat menjadi terang. Hak-hak tersebut diturunkan secara tidak langsung dari nilai dasarnya, bahwa ia adalah hamba Tuhan, dengan demikian tidak menghamba kepada yang lain, ia bebas.
Meskipun tidak menempati posisi utama secara khusus, adalah keliru menyimpulkan bahwa tidak cukup perlindungan hukum terhadap human rights ini, karena semua hukum yang berdasarkan Al Qur'an secara prinsip sama penting. Literatur hukum Islam biasanya tidak menjadikan human rights sebagai satu kelompok khusus, tetapi mengkaitkannya dalam konteks berbagai subyek seperti hukum perkawinan, hukum pidana, hukum ekonomi dan sebagainya.
Sama dengan pendekatan tersebut, Islam juga mengenal bahwa hak apapun juga (termasuk human rights), hanya dapat dijamin jika seluruh sistem hukum di dalam kondisi dan keteraturan yang baik, dimana bahwa tujuan yang mulia dari keadilan tadi dapat dicapai sebagai hasil dari suatu sistem yang komprehensif dan adil.
Sejak lebih dari 1400 tahun yang lalu, hak-hak tertentu telah mendapat jaminan berdasarkan Al Qur'an, yaitu (Bassiouni, 1982:23; Hofmann, 1993:129-130):
• Hak hidup
• Keamanan diri
• Kemerdekaan
• Perlakuan yang sama (non diskriminasi)
• Kemerdekaan berpikir, berekspresi, keyakinan dan beribadah
• Perkawinan
• Kemerdekaan hukum
• Asas praduga tak bersalah
• Nulla paena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang sebelum perbuatan itu)
• Perlindungan dari kekejaman
• Suaka
• Kebebasan berserikat dan berkumpul
• Berprofesi dan bekerja
• Hak memilih, memperoleh dan menentukan hak milik
• Dsb
Al Qur'an memberi tekanan pada persamaan di antara manusia. Semua manusia adalah sama dalam hal asal spiritual mereka, karena telah diciptakan oleh pencipta yang sama, dan mereka sama dalam asal fisik mereka karena berasal dari spesies yang sama. Tiada ruang bagi klaim superioritas karena asal atau nenek moyang.
Islam tidak mengakui keutamaan atas dasar kelahiran, kebangsaan atau faktor-faktor lain. Kemuliaan yang sesungguhnya terletak pada ketakwaan semata-mata. Rasulullah bersabda: "Semua manusia adalah sama seperti gigi sisir. Bangsa Arab tidak lebih tinggi dibanding bangsa non Arab kecuali dalam hal ketakwaan."
Persamaan antara pria dan wanita pada kenyataannya merupakan akibat wajar atau penerapan dari doktrin persamaan. Satu dari prinsip-prinsip umum syariah Islam adalah bahwa hak-hak dan tugas-tugas wanita adalah sama dengan pria. Sebagaimana pria mempunyai tertentu yang harus dipenuhi terhadap wanita, wanitapun memiliki kewajiban tertentu terhadap pria. [2] (Audah, 1987:27)
Kebebasan
Jauh dari sikap fanatik dan memaksa umat lain menjadi seorang muslim, umat Islam (sebagaimana dituntun oleh Qur'an) menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Apabila anda melihat negara-negara muslim, mulai dari Arab Saudi, Iran, Turki dan negara-negara muslim lainnya yang telah menganut Islam selama 14 abad, tetap ada masyarakat non muslim, seperti contoh : ada penganut Sikh, Hindu, Kristen yang telah hidup di sana berabad-abad lamanya. Maka jika ada paksaan untuk beralih Islam, maka selama berabad-abad itu mereka telah berganti agama, menjadi pemeluk Islam. Umat Islam tidak memaksa individu-individu untuk menerima keimanannya, dan dengan demikian siapapun yang mengatakan bahwa anda harus memotong leher untuk membuat orang menerima Islam, bukan berasal dari Islam dan tidak ada justifikasi apapun juga untuk itu.[3] Kita dapat menemukan ketentuan-ketentuan Al Qur'an mengenai hal ini :
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Q.S. 2:256)
Dengan memberikan jaminan kepada kebebasan dalam keyakinan kepada semua penduduk, baik muslim dan non muslim, syariah telah menunjukkan tingkatan tertinggi dari kesempurnaannya. Ia memberikan kepada orang-orang non muslim hak untuk mengekspresikan keyakinannya, menjaga tempat ibadahnya dan sekolah-sekolah untuk mengajarkan agamanya. [4]
Di samping itu, Islam juga menjamin kebebasan berpikir dan berbicara. Al Qur'an mengajarkan kepada kaum muslimin untuk berpikir dan merenung, banyak sekali ayat-ayat Al Qur'an yang menjelaskan prinsip kebebasan berpikir ini dan menekankan penggunaan akal.
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air itu. Dia hidupkan hidup sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan." (Q.S. 2:264)
Al Qur'an memperingatkan orang-orang yang tidak menggunakan akalnya, menjadikan akalnya tidak bekerja dan mengikuti sesuatu yang tidak jelas, ia juga memperingatkan untuk tidak mengikuti takhayul dan mitos serta tunduk membabi buta pada tradisi dan kebiasaan.
Manusia boleh memikirkan apa saja dan mengambil setiap model pemikiran yang dia pilih. Dia tidak dapat dicela karena pemikirannya, bahkan bila berpikir tentang sesuatu yang dilarang syariah; karena syariah tidak mencela akal pikiran dan memerintahkan setiap orang untuk menghitung pemikiran dari suatu kata yang terlarang telah diucapkan atau suatu perbuatan yang dilarang sudah dilakukannya.[5]
Meskipun setiap individu memiliki hak berbicara atau menggunakan penanya untuk membela keyakinannya, tetapi hak ini bukan merupakan kebebasan tanpa batas. Orang dapat menggunakan hak ini hanya dalam batas-batas kepantasan sosial, moralitas, dan pada kondisi yang tidak mengotori ketentuan-ketentuan syariah.
Hak untuk Hidup, Merdeka dan Keamanan Diri
Islam, seperti halnya sistem lain melindungi hak-hak ini. Ia melarang bunuh diri (Q.S. 4:30), dan juga pembunuhan. Dalam Islam pembunuhan terhadap seorang manusia tanpa alasan yang benar bagaikan membunuh manusia seluruhnya. Sebaliknya barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia maka seolah-olah ia memelihara manusia seluruhnya.(Q.S. 5:32)
Islam, secara keliru dianggap menyetujui dan melestarikan perbudakan. Pada kenyataannya Islamlah yang menyelamatkan nasib para budak. Dalil syariah maupun fakta sejarah menunjukkan hal ini. Dalam zaman pra-Islam, perbudakan telah berkembang tanpa kontrol dan kebanyakan budak mengalami nasib yang sangat menyedihkan. Pemilik budak memiliki dan menggunakan kekuasaan atas hidup dan matinya si budak.
Islam melarang perbuatan demikian. Sikap Nabi Muhammad SAW sendiri terhadap perbudakan sangat terkenal. Beliau membagikan banyak harta kepada fakir miskin, membebaskan para budak, bersikap bijaksana dan manusiawi kepada mereka. Sikap ini dicontoh oleh sahabat-sahabat nabi dan terus berlanjut hingga hapusnya perbudakan. Sepanjang hidupnya, Nabi Muhammad SAW tidak memiliki seorang budakpun, karena lembaga perbudakan dan segala yang berbau dengan itu tidak pantas bagi beliau.[6]
Tetapi kondisi kehidupan pada masa itu (awal abad ke-7) tidak memungkinkan penghapusan secara total lembaga ini karena perbudakan sudah ada selama berabad-abad. Rasulullah SAW telah melakukan usaha untuk melindungi para budak. Beliau tidak saja menegaskan perlakuan manusiawi kepada budak, tetapi juga memungkinkan bagi mereka meraih kemerdekaan. Perbuatan baik kepada budak dipandang sebagai perbuatan yang sangat mulia. [7]
Dalam Al Qur'an ditegaskan bahwa perbuatan baik kepada budak adalah perbuatan yang sangat mulia:
"…….dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapa, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat atau jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya …."(Q.S. 4:36)
Masalah Hukuman Terhadap Pelaku Kejahatan
Pasal 5 dari Universal Declaration of Human Rights bertujuan menghapuskan perlakuan atau hukuman yang menganiaya, kejam, tidak manusiawi atau merendahkan. Sejauh perhatian ditujukan pada masalah perlakuan, Islam tidak mengenal suatu dasar bagi perlakuan diskriminatif. Semua orang berhak atas perlakuan yang adil dan sama. Perilaku dan sikap yang bermartabat serta penghargaan terhadap martabat orang lain menjadi karakter yang terkemuka dari masyarakat Islam bahkan selama apa mungkin bisa disebut periode penurunan sekalipun.
Nabi Muhammad SAW melarang kekejaman dan penyiksaan. Beliau bersabda : "Tidak seorangpun boleh dijatuhi hukuman dengan api," dan juga memperingatkan untuk tidak memukul siapapun pada wajahnya.
Di bidang hukum pidana, beberapa hukuman mungkin terlihat berat atau bahkan keras. Beratnya hukuman yang diancamkan bagi beberapa kejahatan seperti perzinahan, akan lebih mudah dimengerti bila diingat bahwa menjaga nilai-nilai dan standard moral merupakan perhatian utama dari agama.
Akan tetapi, pengertian seperti itu, tidak mudah muncul dari masyarakat modern dimana hubungan seksual sebelum atau diluar nikah tidak lagi dipandang bertentangan dengan moral [8], atau masyarakat yang memandang hubungan seksual sesama jenis sebagai normal dan hak setiap pribadi yang tidak bisa diganggu gugat.
Setiap masyarakat memiliki dan mengikuti standardnya sendiri. Islam memandang kejahatan tersebut sebagai kejahatan yang keji dan konsekuensinya sangat menyakitkan. Contoh kejahatan lainnya adalah pencurian yang dikategorikan dalam hukuman hudud. Hukuman bagi kejahatan ini adalah dipotong tangan. Hal ini terdengar sangat berat, tetapi ada kriteria-kriteria tertentu sehingga pencurian itu bisa dijatuhi hukuman seperti ini. Kalau kita ingat bahwa di Inggris, pencurian benda yang berharga tidak lebih dari satu shilling sudah diklasifikasikan sebagai kejahatan berat dan, sebagaimana kejahatan berat lainnya, dihukum dengan hukuman mati. Hal itu berlangsung hingga akhir 1861.[9]
Kesamaan di Hadapan Hukum
Islam menanamkan dan memegang teguh prinsip kesamaan di hadapan hukum dan perlindungan hukum tanpa diskriminasi dengan begitu jelas dan tegas. Para hakim ditugaskan untuk menjalankan tugasnya dengan adil dan tidak berpihak.
Umar bin khatab ra, Khalifah kedua, pernah tercatat sebagai tergugat dalam suatu kasus. Saat ia hadir di depan sidang, hakim yang menangani kasus itu berdiri menghormat. Umar ra memandang bahwa ia datang bukan dalam kapasitas sebagai khalifah, tetapi sebagai warga negara biasa dimana adalah tidak konsisten bagi hakim untuk menunjukkan rasa hormat kepadanya yang tidak berlaku bagi setiap warga negara lainnya yang muncul di pengadilan. Dia berpendapat bahwa hakim tersebut, dengan perbuatannya itu, telah melanggar tugas untuk tidak berpihak terhadap para pihak dan tidak lagi cakap untuk melaksanakan fungsi-fungsi judicial.[10]
Kisah lainnya adalah mengenai Ali bin Abi Thalib ra, Khalifah keempat dan menantu Rasulullah SAW. Ali ra pada suatu ketika muncul di pengadilan sebagai penggugat melawan seorang yahudi. Untuk mendukung gugatannya, sebagai tambahan bagi keterangannya sendiri, Ali mengajukan putranya Hasan ra sebagai seorang saksi. Hakim perkara berpendapat bahwa hubungan yang sangat dekat antara penggugat dan saksi, kesaksian yang diberikan tidak dapat diakui dan dia menolak gugatan tersebut. Si tergugat sangat terkesan menyaksikan hal tersebut dan pada akhirnya dia mengakui klaim tersebut dan melepaskannya. [11]
Harus dicatat bahwa apapun perbedaan yang ada dalam sistem hukum Islam antara muslim dan non muslim bukanlah sikap diskriminasi, melainkan suatu pelaksanaan peradilan yang oleh Bassiounni (1982) disebut sebagai a separate paralel equal application of justice. Hal ini didasarkan pada perbedaan kriteria untuk merespon maksud dan tujuan yang berlainan.
Dalam konteks pertanyaan yang lebih luas tentang peradilan pidana Islam dan perlindungan hak-hak asasi manusia, ada pertanyaan mengenai tempat bagi individu, dan hak-haknya yang diambil dari hubungan konseptual antara individu dan negara. Berbeda dengan filosofi dan persepsi barat tentang keterpisahan antara individu dengan negara, konsep sosial Islam tidak membuat perbedaan seperti itu. Individu tidak berdiri sendiri dalam posisi sebagai lawan dari negara tetapi adalah bagian integral darinya.
Aspek Perlindungan HAM Dalam Hukum Pidana Islam[12]
Agama dengan ketiga rukunnya yakni Iman, Islam dan Ihsan atau Akidah, Syariah dan Akhlak adalah murni diperuntukkan kepada umat manusia. Tidak ada sedikitpun kepentingan Tuhan yang menurunkannya., karena Allah SWT memang tidak punya kepentingan sekecil apapun. Karena itu, setiap ketentuan agama, termasuk hukum pidananya akan bertumpu pada pemenuhan serta perlindungan hak dan kepentingan manusia. Di kalangan para ulama dikenal apa yang disebut Maqoshid al Syariah yaitu tujuan hukum Islam yang mencakup perlindungan terhadap lima hal yang menjadi tonggak keberadaan manusia yakni agama (akidah), nyawa, asal nasab atau harga diri, dan harta benda.
Dengan demikian pertanyaan tentang sejauh mana hukum pidana Islam dapat melindungi hak-hak asasi manusia sebenarnya tidak perlu muncul di tengah umat yang meyakini kebenaran agama tersebut. Namun akhirnya pertanyaan tersebut menemukan relevansinya karena didukung oleh beberapa faktor di antaranya yang terpenting adalah (1) perbedaan pandangan antara agama dan pandangan umum yang berkembang dalam melihat HAM serta filosofinya, dan (2) perhatian terhadap Islam yang menitikberatkan pada hukum pidananya. Kedua faktor ini bukan saja melahirkan tanda tanya bagi sementara orang tentang kaitan hukum pidana Islam dengan HAM, tetapi bahkan telah melahirkan sikap apriori terhadap hukum Islam secara keseluruhan dari sebagian umat Islam sendiri.
Bahwa Islam secara eksplisit menyatakan sangat menghormati harkat manusia adalah sesuatu yang teramat jelas. Namun, dalam melihat manusia, Al Qur'an telah menggabungkan dua sisi dari makhluk ini yang bertolak belakang. Manusia dianggap sebagai makhluk yang sangat mulia tetapi pada saat yang sama ia juga dianggap sebagai makhluk yang sangat hina.
Bila kita mendengarkan, misalnya kisah Al Qur'an tentang malaikat yang bersujud di hadapan Adam as, maka kita tahu betapa mulianya makhluk ini. Tetapi bila kita mendengarkan Al Qur'an berkali-kali, mengingatkan kita pada asal usul manusia, kita tahu betapa tidak berharganya makhluk ini karena berasal dari air yang memancar dari tulang rusuk. Kedua sisi yang bertolak belakang ini diperintahkan agar terpelihara secara seimbang. Manusia bisa menjadi besar dan sombong kalau tidak melihat sisi kehinaannya dan sebaliknya bisa kerdil dan tidak berdaya kalau tidak ingat akan sisi kemuliaannya. Karena itu Al Qur'an tidak hanya mengutuk Fir'aun yang sombong tetapi juga mengutuk kaumnya yang lemah dan tidak punya keberanian untuk melawannya.
Kedua sisi manusia yang bertolak belakang itu juga diterjemahkan oleh agama melalui tatanan hukumnya. Ketika seorang manusia tidak bersalah maka hak dan martabatnya dianggap suci dan harus dilindungi secara penuh, sebaliknya ketika kesalahan seseorang sampai kepada kejahatan qishos atau hudud, maka satu per satu dari sendi-sendi kemuliaannya itu runtuh untuk kemudian diperlakukan oleh hukum berdasarkan sisi kehinaannya. Ia tidak lagi dipandang sebagai anggota masyarakat yang berguna, tetapi sebaliknya ia bagaikan anggota tubuh yang terpaksa harus diamputasi demi keselamatan tubuh itu sendiri. Karena itu, Al Qur'an melarang kita menaruh rasa iba kepada pezina yang dijatuhi hukuman cambuk (QS 24:2) karena ia memang tidak lagi berhak mendapatkan rasa iba.
Dengan demikian anggapan bahwa sanksi dan hukuman pidana Islam (hukuman mati, potong tangan, cambuk) adalah kejam atau tidak manusiawi, berarti karena tidak adanya keyakinan akan sisi kehinaan manusia sehingga ia dipandang sebagai makhluk mulia selamanya dan dalam keadaan apa saja.
Dengan menggabungkan dua sisi manusia yang bertolak belakang itu, maka hukuman pidana Islam dapat dikatakan keras dan berat, tetapi kekerasan itu dijatuhkan kepada seseorang yang sebenarya telah dilucuti martabat kemanusiaannya sehingga penerapannya tidak dapat dikatakan bertentangan dengan perlindungan HAM.
Uraian di atas barangkali akan mengundang pertanyaan, yakni dengan ukuran apa pelaku tindak pidana qishos atau hudud dianggap telah runtuh martabat kemanusiannya? Di sinilah dapat dilihat tolok ukur yang berbeda antara hukum Islam dengan hukum yang lain. Hukum Islam menetapkan beberapa parameter untuk mengukur sempurna atau tidaknya martabat hukum seseorang, di antaranya adalah parameter akidah dan harga diri. Dua hal ini dalam pandangan di luar Islam tidak termasuk kebutuhan vital bagi manusia dimana seseorang boleh beradab, percaya kepada Tuhan atau tidak, boleh mempermainkan akidah dengan menyatakan keluar dari akidah yang benar dan begitu juga boleh mempertahankan harga dirinya atau tidak, bahkan boleh menjual harga dirinya sekalipun.
Sementara hukum Islam mempunyai pandangan yang berbeda. Menurut hukum Islam, akidah yang benar adalah kebutuhan yang sangat vital, melebihi kebutuhan terhadap makanan dan minuman karena dengan akidah seseorang bisa hidup secara rohani sementara makanan hanya dapat membuatnya secara jasmani saja (QS. 6:123). Akidah bagaikan mata air yang dibutuhkan setiap orang, harus diberi kebebasan mengalir dan tidak seorang pun boleh menyumbatnya atau mencemarinya. Adapun setelah mengalir lantas ada orang-orang yang tidak mau meminumnya maka hal itu akan menjadi hak mereka.
Akidah Islam tidak pernah dan tidak boleh dipaksakan kepada siapapun, tetapi pada saat yang sama tidak ada seorang pun yang boleh menghalanginya atau mencemari dan mempermainkannya. Oleh karena itu, orang-orang yang menghalangi perjalanan akidah dianggap telah gugur harkat kemanusiaannya dan disyariatkan jihad untuk melawan mereka.
Dalam hal harga diri, hukum Islam menganggapnya juga sebagai sesuatu yang mutlak dibutuhkan sebab ia merupakan inti perbedaan antara manusia dan binatang sehingga perusakan harga diri akan berakibat sama dengan perusakan kaidah atau kebutuhan pokok yang lain. Karena itu, perbuatan zina sekalipun dilakukan secara suka demi suka dianggap telah menodai harkat manusia dan pelakunya dikenai pidana yang berat yakni seratus kali cambukan.
Tolok ukur seperti di atas juga dapat mengundang pertanyaan baru yaitu kenapa mesti demikain? Bukankah tanpa akidah dan harga diri, hak asasi manusia dapat dilindungi? Islam memandang manusia bukanlah tuan dari dirinya sendiri yang berhak menetukan apa saja yang dikehendakinya. Manusia adalah tuan dari makhluk-makhluk lain di dunia, sementara dirinya adalah hamba yang dipertuan Tuhan dan hak sasinya pun diperoleh dari pemberian Tuhan. Tuhanlah yang menentukan apa saja Hak Asasi Manusia dan bagaimana cara melindunginya. Karena itu ketika Al Qur'an mewajibkan hukuman qishos, kewajiban ini dikahiri dengan kata-kata "agar kalian tertawa" (QS 2:179). Maka apabila hukum pidana umum hanya bertujuan untuk menciptakan rasa aman dalam masyarakat, hukum